Cara Urban Farming Memanfaatkan Pekarangan Minimalis dengan Hasil Fantastis

Cara Urban Farming Memanfaatkan Pekarangan Minimalis dengan Hasil Fantastis

Banyak yang saya dapat dari Bandung Agri Market (BAM). Dapat bibit pisang cavendish, bibit stevia, dan bibit sayuran lainnya ditambah telur puyuh dan ikan hias yang sangat menggembirakan anak. Yang lebih berharga dan bahagia lagi tentu saja saya bisa dapat banyak ilmu baru dan pemahaman baru terkait BAM yang diresmikan Kang Emil, walikota Bandung terkait pemanfaatan lahan minimalis dengan hasil kebun atau tanaman yang fantastis.

Saya orang kampung. Identik dengan sawah dan kebun. Mirisnya meski orang kampung asli ((asli)) eh, minim sekali pengetahuan dalam teknik berkebun. Kasihan bukan?

Kalau lihat teman-teman di Indonesia Berkebun suka maksimal ingin punya kebun yang kekinian (urban farming) tapi karena ilmunya nol ya keinginan hanya sebatas keinginan saja. Tanpa action.

Sering dengar istilah hidroponik, tapi kan modalnya gak hanya cuma niat saja. Itu peralatan buat instalasi nya beli dimana saja tidak tahu. Padahal sayuran hidroponik kece-kece bingit. Yang tidak punya halaman (tanah) bukan alasan lagi tidak punya kebun. Karena dengan teknik dari hidroponik tidak lagi memerlukan tanah sebagai media menanam.

Ah beruntung saja saya dapat info jauh-jauh hari sebelumnya dari Bu Maria G. Sumitro kalau Bandung Agri Market di Jalan Sukarno, Kota Bandung, akan digelar Minggu (8/10/2017). Kebetulan lagi suami ada perlu ke Bandung untuk urusan kerja. Akhirnya kami memilih batal ikut naik gunung bareng Mbak Alaika dan Teh Nchie Hani ke Burangrang, hari Minggu lalu itu lalu melipir ke acara BAM ini.

Woro-woro ada pembagian pohon produktif gratis oleh Dinas Pangan dan Pertaniàn (Dispangtan) Kota Bandung sebagai program unggulan yang digelar ini buat kami kepincut. Jujur kami mupeng sama bibit pohon pisang Cavendish nya, hehehe!

BAM 2017 kali ini diselenggarakan sebagai rangkaian memperingati hari jadi Kota Bandung ke-207. Ada sekitar 30 stand yang diisi oleh kelompok kampung berkebun dari RW terpilih se-Kota Bandung menampilkan keunggulan produk dan ide cemerlang berkebunnya.

Saat acara berlangsung diiringi musik dan hiburan dari panggung utama dibagikan kepada pengunjung secara gratis berbagai jenis bibit tanaman. Saya selaku pengunjung mendapat tawaran bibit pisang, seledri atau strawbery, dan langsung saya pilih bibit pisang. Hanya dengan antri sebentar, isi daftar hadir maka oleh-oleh bibit pohon pisang gratis ini bisa saya bawa pulang. Mohon doanya tumbuh subur dan cepat berbuah ya… amin.

Lihat di infonya sih yang dibagikan itu ada 207 bibit strawberry, 207 bibit pisang cavendish, 207 bibit seledri, 207 benih ikan, 207 cup telur puyuh, 207 cup minuman sehat dan 207 botol pestisida nabati. Jumlahnya semua angka cantik hari jadi Bandung.

Belum lagi kalau kita belanja di stand minimal Rp.25.000 akan mendapatkan satu bibit tanaman produtif bebas pilih. Jambu, durian, lengkeng, sirsak, nangka, dll. Saya dan suami skip soal bibit buah yang ini. Bukan tidak mau, tapi masalah kami bingung gimana bawanya nanti ke kampung secara datang kami hanya naik roda dua. Itu pun sudah rempong abis dengan perbekalan anak. Sementara bibit buah itu besar-besar dan berat-berat.

BAM yang akan datang sepertinya harus siap bawa mobil pengangkut kalau mau borong bibit buah berkualitasnya. Hehehe…

BAM dibuka langsung oleh Wali Kota Bandung Ridwan Kamil yang berharap warga Kota Bandung gemar menanam pohon, agar halaman warga berwarna hijau dan warga semakin mencintai pepohonan. Meski bukan (lagi) warga Bandung saya sih nyerap banget ilmunya. Tetap.


Meski kenyataannya di kampung sendiri saya nanam kangkung malah habis dilalap ikan dan ayam. Nanam cabe paling banter cuma sekali panen. Dan sedihnya nanam tomat malah sama sekali gak berbuah. Haha! Jadi harus gimana nanam yang benarnya?

Berbagai masalah dan pertanyaan tersebut direspons oleh pemerintah kota Bandung. Setidaknya oleh Kang Emil, pencetus Indonesia Berkebun.

BAM yang pertama kali diselenggarakan pada 25 Mei 2014 ini bertujuan supaya para pegiat urban farming saling bertemu dan “curhat” tentang semua masalah terkait tanaman dan kebun, termasuk bebas curhat dengan instansi Dinas Pertanian.

Mengunjungi BAM saya jadi tahu tanaman apa saja yang bisa ditanam di area urban farming. Ada tanaman lokal, tanaman obat, sampai tanaman impor.
Sebagai penggemar tanaman dan hehejoan tentu saja saya betah berkeliling. Bisa melihat banyak hasil tanaman unik, buah super, dan sayuran berkualitas. Satu persatu stand saya kunjungi tidak hanya untuk mengagumi hasil panen atau tanaman dalam pot yang boleh dibeli dengan harga murah. Tapi sekaligus bertanya dan minta ilmu pengalamannya.

Banyak stand hidroponik dan akuaponik yang saya datangi saya jadi tahu bagaimana instalasinya, yang mana rockwoll, beda pot khusus tanaman hidroponik dan pot biasa sampai soal nutrisi dan gizinya. Juga bibit yang beraneka ragam. Lengkap.

Ada juga “alat” untuk membuat pupuk organik rumahan yang sangat sederhana. Cukup buat sendiri dari kaleng atau paralon diameter agak besar, lalu beri tutup yang rapat. Pada bagian bawah buat lubang kecil untuk selang yang gunanya untuk membuang cairan. Selang ini pakai penutup juga supaya tidak mengeluarkan bau. Kalau ada sampah sayuran (tulang dan daging kecuali ya, itu mah bagian si empus saja) masukan dan tutup rapat. Beberapa minggu setelah air keluar (dibuang) pupuk organik sudah bisa kita taburkan di pot tanaman. Mudah!

 


Hilir mudik sambil panas-panasan merasa tidak sia-sia dengan ilmu dan wawasan yang didapat di BAM. Tidak hanya soal bibit dan tanaman, kuliner dan minuman juga tersedia di BAM ini. Ada yang gratis ada yang bayar. Termasuk minuman sehat berbahan herbal. Mau minum langsung di tempat atau beli ramuan nya nanti seduh di rumah juga ada.

Semakin tertarik ketika tahu pelaku urban farming selalu berkreasi. Jadi banyak ide yang sepertinya tidak mungkin jadi mungkin. Seperti tidak bermanfaat tapi bisa berguna. Itu tanaman selada, seledri, dan lainnya ditanam dengan menggunakan bekas botol plastik bukan hanya memanfaatkan sampah, tapi juga supaya tanaman sahutnya bisa tumbuh tegak. Hasilnya jadi makin kece, kan?

Sesuai harapan Kang Emil, harusnya event seperti ini diselenggarakan secara periodik (kalau enggak sering-sering), agar pelaku urban farming sama-sama mendapat keuntungan.

Mungkin kalau sering “curhat” masalah kegagalan dlsb bisa ditemukan dan dicari jalan keluar. Kalau sering dan pengunjung banyak tidak menutup kemungkinan praktek berkebun yang baik dan benar akan semakin meluas.

Kalau sudah gitu kan lumayan setiap keluarga bisa memenuhi kebutuhan tanaman sayur dan atau obat keluarga pribadinya. Sekali mau nyambel cabe tinggal metik di pot, sekali mau masak mie, sayuran hijau tinggal ambil di instalasi hidroponik atau kebun pekarangan. Butuh lemon, jahe, kencur, dan sebagainya tidak harus beli di luar. Membayangkannya saja sudah tampak indah…

Meski budaya urban farming ini “warisan” urang Bandung, warisan Kang Emil lima tahun jadi walikota nya namun bukan berarti warga lain tidak bisa mencontoh dan belajar. Siapapun bisa menunjukkan bahwa orang kota pun bisa menjadi petani, dan orang kampung bisa bertani dengan teknologi terkini. Semua bisa menanam, memproduksi minimal untuk sendiri.

Bukankah masalah ketahanan pangan merupakan hal yang terpenting dari hidup matinya sebuah bangsa? Soal kuliner dan obat tradisional adalah hal yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan. Jika hilang ketahanan pangannya maka lambat laun bangsa itu akan hancur.

Karenanya urusan pangan harus dipastikan baik dari segi kualitas, harga maupun distribusi. Makin mantap kalau ketahanan pangan tersedia dan terjangkau dalam arti masyarakat miskin pun bisa membeli.
Hemat seribu dua ribu rupiah kan lumayan banget buat ibu rumah tangga mah. Daripada beli daun salam mending nanam sendiri di pekarangan. Segar dan bikin betah burung dengan buahnya yang rabun. (Hati-hati ini ada unsur iklannya).

Sepulangnya dari BAM, sesampainya di rumah saya langsung ngecek kebun ala-ala yang berserakan di halaman. Tidak lupa juga segera memindahkan bibit pisang Cavendish dan melihat bibit stevia. Tidak sabar rasanya ingin mencoba pemanis alami dari si cantik Stevia ini. Semoga semu tanamannya tumbuh subur…

15 thoughts on “Cara Urban Farming Memanfaatkan Pekarangan Minimalis dengan Hasil Fantastis”

  1. Keren, Teh. Udah nyoba hidroponik, skala kecil sih. Pas panen bahagianya bukan main. Meski hidroponik in terbilang lebih gampang tapi tetap butuh konsistensi…

    Reply
  2. Di Malassar sini, ada komunitas Makassar Berkebun yang juga aktif menyebarkan tentang urban farminh. Sesekali kecipratan rejeki dapat sayuran gratis yanh baru dipetik hehehhe

    Reply
  3. Oh, ternyata penyebab batalnya ikut hiking ke Burangrang itu ini, toh? Etapi, ini memang menarik banget, ya, Teh? Aku sendiri udah lama banget pengin punya kebut minimalis ala2 hydrophonic gini, Mba, tapi ya itu, ilmunya belum ada, euy!
    Hm, kapan2 lagi kalo ada info event seperti ini colek aku ya, Teh. Nuhun… 🙂

    Reply
  4. Ih tanemannya cakep2 ya, keliatan seger semua, bikin seger mata juga. Lumayan yaa dapet bibit buah gratis, semoga segera menghasilkan yaa mba

    Reply
  5. Aku tuh udah beberapa kali nyoba nanem dan sukses gagal! Cuma berhasil tumbuh 3 cm kemudian mati perlahan. Sedih deh aku. Tapi blom mau menyerah kok. Kemarin sudah mencoba beli bibit lagi. Biar kalau mau masak sayur tinggal metik.
    Cuma belimbing yang subuh di rumah aku.

    Reply
  6. Wah..keren ini mbak. Jadi di rumah pun bisa dimanfaatkan untuk tempat bertanam ya. Bisa lebih hemat juga beli sayurnya nih.

    Reply
  7. Ini jawaban buat yg tinggal di perkotaan. Walah lahan sempit masih bisa menanam tanaman utk bahan pangan kalau emang niat hehe. Aku jd pengen praktek jg teh, kebayang metik kangkung dari tanah sendiri 😀

    Reply

Leave a Comment

Verified by ExactMetrics