Jadi Babu Modal Bahagiakan Ibu

Jadi Babu Modal Bahagiakan Ibu

Satu-satunya keputusan nekat selama seumur hidup yang dianggap gila dan tidak mungkin tetapi kini sangat disyukuri karena ternyata membawa keberuntungan dan rezeki (yang insya Allah berkah) adalah menjadi buruh migran selepasnya pengumuman kelulusan sekolah diumumkan.

Saat usia labil penuh dengan gelora jiwa anak muda, bukannya belajar tekun dan melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi demi bisa meraih cita-cita, yang ada dilanda bingung dan tanggung jawab sebagai anak pertama yang menjadi tulang punggung keluarga setelah bapak tiada.

Kesadaran diri berasal dari keluarga yang serba tiada, jangankan untuk biaya sekolah, untuk makan ibu dan adik saja entah harus pinjam lagi ke siapa.  Setiap hari saat krisis ekonomi melanda semua harga sembako naik tinggi dan semakin meninggi. Sementara penghasilan tiada, pengangguran tidak bekerja.

Bukan malas atau gengsi tapi memang tidak ada pekerjaan layak yang bisa dilakukan oleh seorang perempuan desa seperti saya. Jangankan mengirimkan lamaran kerja, saat itu yang sudah bekerja saja malah banyak yang diputus hubungan kerja. Krisis ekonomi dan suasana dalam negeri khususnya di wilayah ibukota yang tidak stabil membuat perekonomian tidak menentu. Dolar naik melambung membuat perusahaan dalam negeri banyak yang gulung tikar.

Dolar jadi primadona. Haruskah bekerja ke luar negeri? Sementara berita WNI yang dihukum pancung kian santer terdengar. Penganiayaan pekerja oleh majikan jadi berita biasa karena terlalu sering setiap harinya. Resikonya jadi TKI tahun dua ribuan masih membuat bergidik dan ngilu perasaan. Yakin mau memburu dolar dengan segala keburukan dan penyiksaan?

Nekat. Saya nekat. Keputusan nekat seumur hidup saya pilih ketika melihat adik yang terancam tidak makan juga tidak sekolah. Lebih nekat saya ambil keputusan ketika memikirkan ibu dan masa depannya. Masa depan keluarga.

Berasal dari keluarga kekurangan membuat aku menampar diri supaya sadar bahwa hanya aku di keluarga yang jadi tulang punggung mereka. Di kampung tidak ada pekerjaan yang upahnya bisa memenuhi semua kebutuhan keluarga, di kota susah mendapat pekerjaan karena berbanding terbalik dengan lapangan kerja dan syarat utama. Maka nekat aku memilih tidak ada salahnya mencoba peruntungan menjadi TKI.

Tidak ada kata gengsi karena yang ada hanya pikiran bagaimana cara supaya keluarga tetap utuh. Tidak ada kata sakit atau takut demi bisa mendapat rezeki halal dan barokah. Yang ada hanya keinginan yang menggebu ingin membahagiakan ibu. Ibu… Ibu…

Alhamdulillah tidak lama belajar dan sosialisasi saya terbang ke Singapura. Bisa beli hewan korban dan mengkhususkannya kepada orang tercinta menjadi awal sebuah keberhasilan yang saya capai. Termasuk mengukir senyum ibu manakala rumah panggung bisa diringui dengan pondasi bata.

Dunia ternyata tidak sekejam dalam berita. Pergaulan memang keras. Tantangan hidup memang rumit namun jika kita melewatinya dengan optimis dibarengi doa serta usaha niscaya akan jumpa juga buahnya.

Hong Kong memberikan banyak pelajaran dan tempaan. Belajar ikhkas saat hati jengkel, belajar berlapang dada manakala harapan dan cita tidak semua dapat tercipta. Sekaligus memberikan pelajaran dan bekal keterampilan yang bisa dilakukan sepanjang masa, hingga masa berubah dan peradaban manusia semakin melesat jauh.

Menginjakkan kaki di Taiwan ibarat saatnya berjumpa dengan orang-orang yang telah meniti karier dengan berbagai cara dan kesempatkan gratis belajar kepadanya. Tidak ingin menyia- nyiakan atas apa yang sudah jadi ketentuan, maka berkeluarga besar dengan orang-orang hebat yang terpilih itu banyak memberikan ilmu yang tidak ternilai harganya.

Hasilnya?

Sukses itu relatif. Tapi paling tidak saya tidak ndeso meski saya asli orang kampung. Pelosok malah. Saya bisa menginjakkan kaki di bagian bumi Allah lainnya selain kampung halaman sementara teman saya yang anak lurah dan kini punya titel sarjana malah tidak pernah kemana-mana selain ke Depok tempat kampung halaman suaminya.

Saya kini bisa bangga dengan sebutan momblogger, workingmom, dan sebagainya meski saya tetap ibu rumah tangga yang berdaster dan ngulek sambal.

Saya memang tidak kaya tapi paling tidak cita-cita saya bisa menyediakan rumah layak buat ibu dan adik laksana itu sudah merupakan pencapaian yang luar biasa. Saya ingin menjadi seorang anak yang berguna (pada akhirnya) dan semoga Allah meridhoinya. Amin.

Saya punya modal dan keberanian. Yang lain belum tentu. Jangankan ke luar negeri buat ngebabu, naik gunung saja pada tidak mampu.

Andai saya tidak memilih jadi TKI, dulu… entah apa jadinya saya kini…

 

 

11 thoughts on “Jadi Babu Modal Bahagiakan Ibu”

  1. Setiap jalan hidup yang kita pilih pasti banyak lika likunya ya teh. Dan selama itu dalam ridha Allah dan orang tua, insyaallah kebaikanlah yang kita tuju. Saya salut banget sama perempuan seperti tehokti dan buruh migran lainnya.

    Reply
  2. Entah harus komentar apa ini, teh..
    Yang pasti, saya selalu salut dengan daya juang teteh untuk keluarga.

    Saya saat seumuran teteh..hanya memikirkan bagaimana cara menghabiskan uang orangtua.

    *maafin saya yaa, Ibu..Bapak…

    Reply
  3. Masya Allah keren teeeh… sejak jaman sekolah sy mulai akrab dg sebutan pahlawan devisa negara.. nuhun..

    duh aku belum kesampaian bikinin rumah buat ortu..

    Reply
  4. Mb, aku dari dulu suka banget sama cerita perjuangan para buruh migran. Bener-bener inspiratif. Sosok pejuang keluarga sesungguhnya

    Salut buat teh Okti

    Reply

Leave a Comment

Verified by ExactMetrics