Nyari Syukur Melipir Kemping

Nyari Syukur? Melipirlah dengan Kemping

 

Sahabat saya yang masih di Taiwan cerita kalau ia sudah capek dan ingin segera menyusul saya untuk hidup di kampung tinggal di tanah air dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Hanya ia masih mengeluhkan terkait rumah. Ya, katanya ia belum punya tempat tinggal sendiri. Itu yang buat dia menjadi bimbang untuk pulang.

Kemarin saat blogwalking ke rumah maya Mbak Nunu Halimi tidak sengaja saya mendapat informasi terkait pengembang yang sedang membangun hunian modern yang lokasi nya begitu strategis, dekat dengan stasiun LRT yang saat ini sedang giat-giatnya dibangun di ibukota dan kota penyangga sekitarnya.

Duh, siapa yang tidak mau dong ya punya rumah di kota, dengan segala fasilitas dan kemudahannya. Jangankan Mbak Nunu yang ikut acara terkait pengembang itu, saya aja yang tahu iformasi dari membaca tulisan Mbak Nunu mupeng sangat. Hanya…

Ya. Hanya ada hanya nya…

Saya tahu diri lah, tidak mungkin untuk saya bisa mendapatkan hunian di kota seperti itu. Biaya minimal nya saja 360 juta lebih, hehehe, uang darimana? Saat ini saja kami di kampung ini tinggal di rumah sendiri berkat dapat warisan dari orang tua. Belum mampu beli rumah sendiri apalagi hunian kekinian.

Kadang saya suka bertanya sendiri, orang bisa kaya seperti itu, bisa beli rumah ratusan juta, bisa dapat pekerjaan di kota, usahanya apa ya? Orang kok bisa dengan mudah mencapai cita-cita dan segala fasilitas kemewahan lainnya trik jitunya apa ya? Menatap diri sendiri, kok saya dan keluarga gini-gini aja…

Tapi tidak apa. Kembali kepada keimanan serta keyakinan saja. Kalau Tuhan menciptakan manusia semua tinggal di kota, tentunya dunia tidak akan seimbang. Untuk menyeimbangkan itulah, mungkin bagian saya dan keluarga yang harus mendapat jatah tinggal di pelosok.

Sahabat saya di Taiwan pulang. Kami bertemu dan cerita banyak tentang segala hal. Termasuk soal keinginannya memiliki rumah sendiri. Sahabat saya tetap berambisi untuk punya rumah, meski rumah keluarga yang saat ini jadi tujuan pulang nya lebih dari layak huni.

Saya dan sahabat ini punya masalah yang sama. Galau terhadap hunian di kota yang sangat menarik untuk dimiliki. Hanya kendala untuk memilikinya yang berbeda. Kalau saya memang tidak punya uang modal buat belinya sementara sahabat saya berencana mau punya hunian di kota setelah berkeluarga. Ah, manusia memang tidak ada puasnya ya?

Kami tertawa bersama, tiduran bersama sambil menerawang. Acara gogoleran sambil nunggu anak bermain rasanya damai dibarengi pikiran yang melayang-layang.

“Ada rumah tidak ada rumah, toh kita masih bisa gogoleran bahagia kek gini ya…” celetuk sahabat saya setelah mereda gelak tawanya.

Saya menoleh dan seperti disadarkan. Sebenarnya saya dan sahabat saya ini berkeinginan punya rumah di kota karena kebutuhan atau cuma buat gaya-gayaan?

“Liburan yuk? Aku mau naik gunung minggu besok. Ikut?”

Sahabat saya antusias. Kami sepakat berangkat dan dalam waktu yang tersisa ini segera mempersilakan semua keperluan nya.

“Kenapa kamu ngajak aku kemping?” Tanya sahabat saya. Saya bingung mau jawab apa.

“Biar kita merasakan bagaimana hidup dan tidur di luar rumah. Selama ini saya, suami, dan Fahmi happy kalau mendaki. Padahal pasti capek. Sudah tentu sengsara karena tidak ada kulkas, tidak ada dapur, apalagi kasur empuk dan hangatnya selimut. Tapi kami tidak kapok, justru malah ketagihan untuk terus mendaki dan mendaki dari gunung satu ke gunung lainnya. Mungkin itu sebenarnya sebuah bukti, rumah bukan sebuah simbol kebahagiaan. Toh ternyata saya dan keluarga bisa bahagia meski hidup di hutan tanpa rumah…”

Entah punya kekuatan dari mana tiba-tiba saya bisa mengatakan semua itu. Sahabat saya termenung dan dia tersenyum.

“Aku ikut kamu kemping. Semoga setelah kemping nanti rasa syukur kita atas rumah tempat kita pulang selama ini semakin tinggi.” Ucapnya.

Ya. Meski jelek, meski di desa, kita seharusnya tetap mensyukuri dengan rumah yang kita tempati. Sementara itu di luar sana masih banyak orang yang tidak punya rumah dan tidur di mana saja…

 

#ODOP #BloggerMuslimahIndonesia

 

 

14 thoughts on “Nyari Syukur Melipir Kemping”

    • Sering sih tidak Mbak… Soalnya modalnya lumayan juga hahaha…
      Kalau kemping di halaman rumah dan kebun sendiri sih setiap minggu atau kalau tidak hujan. Soalnya anak mainnya ya disitu dan begitu…
      Kalau nyamuk, selama kemping di gunung alhamdulillah tidak terlalu mengganggu malah berasa tidak ketemu. Ketemu nya malah hewan langka dan serangga lain hehehe

      Reply
  1. Kalau aku malah kadang pengennya bisa punya rumah mungil yang digeret mobil, Teh. Biar bisa keliling-keliling menjauh dari kota besar. Duh kok kaya ga bersyukur jadinya ya.
    Nikmatin ajalah adanya sekarang.

    Reply
  2. Naik gunung beneran, sesuatu yg sangat aku inginkan teh. Blm kesampaian. Klo gunung2 yg gk terlalu sulit apalagi bebukitan mah sering selama ini. Seru sekali bisa back to nature

    Reply

Leave a Reply to Dian Safitri Cancel reply

Verified by ExactMetrics