Belajar jadi Emak Strong

Anggap saja lagi belajar jadi “Emak Setrong”

Baru nyadar ketika mengucap istighfar dan mengusap wajah terasa ada benjolan yang muncul di dahi dan pipi. Iseng telunjuk memijitnya manakala ketemu satu di ujung dahi. Waw! Sakit Juga. Hem… Perasaan udah lama gak disamperin jerawat. Tapi sekali ini disambangi sampai beberapa biji sekaligus. Alhamdulillah saja. Semoga berkah.

Mikir lagi, pantas saja kalau tiba-tiba jerawat hinggap. Gimana jerawat gak muncul kalau sudah mau dua minggu ini setiap malam gak bisa tidur full. Minimal selalu saja bangun paling sedikit 5 kali. Malah semalam entah berapa puluh kali bangun. Setiap lima belas menit Fahmi selalu menjerit bilang perutnya sakit. Saya diminta mengelus perutnya pelan-pelan. Sebagai ibu, meski ngantuk berat demi anak tentu saja apapun dilakukan.

Ibu mana yang tidak sedih melihat buah hati terkapar lemas dengan kondisi tubuhnya panas. Jangankan bisa istirahat atau makan enak, bisa mandi atau beranjak untuk solat pun sudah luar biasa senangnya. Anak sakit berubah jadi manja itu biasa. Anak akan nempel ke ibunya adalah sesuatu yang sangat saya syukuri. Dari pada anak nempelnya ke orang lain, coba?

Meski sebenarnya hampir barengan dengan saat dimana anak sakit, saya juga kena demam dan sakit seluruh badan. Saya pikir sakit saya ini dampak dari amandel yang kambuh dan membengkak. Menyebabkan saya susah menelan, malas makan dan panas tinggi.

Beruntung 3 hari saja semua itu saya rasakan. Setelahnya alhamdulillah saya sembuh dan merasa lebih baik. Beda dengan Fahmi putra saya, demamnya terus ada. Mereda setelah beberapa saat minum obat saja. Setelahnya demam lagi, sakit perut lagi…

Pulang ke rumah di Pagelaran saya kira demam Fahmi akan sembuh, ternyata saat malamnya panasnya makin meninggi. Terus demikian hingga sudah lima hari ini.

Hampir setiap malam saya meneteskan air mata diam-diam. Sambil memeluknya, sambil membelainya diantara isak tangis saya selalu panjatkan doa. Segera sembuh Nak…

“Ibu tahan…” tiba-tiba tangan mungil Fahmi mengusap air mata di pipi. Saya jadi tidak bisa menahan haru. Bukannya berhenti, air mata ini malah mengucur deras. Fahmi ikut menangis jadinya meski ia tetap mengucap “Ibu kudu tahan, jangan menangis. Jangan sedih…”

Akhirnya saya dan Fahmi menangis berpelukan. Menangis, satu hal yang selalu saya sembunyikan dari anak. Tapi malam itu saya tidak bisa menjaganya lagi. Saya seorang ibu yang merasakan kesedihan mendalam menyaksikan anak setiap malam menjerit menahan sakit di perutnya.

Sebelumnya saya menyembunyikan tangis di depan anak biar tidak dibilang cengeng. Biar Fahmi tidak biasa dengan tangisan dan dia jadi anak yang tidak cengeng juga. Tapi kali ini kami menangis bersama. Biarlah Fahmi (terlanjur) tahu tangisan emaknya. Bukan karena emaknya cengeng tapi karena emaknya juga manusia biasa. Dan saya anggap jerawat serta tangisan adalah dua hal dari sisi feminin saya.

Sementara kalau sisi maskulin saya –meski figur seorang ibu– sudah biasa dilihat dan terlihat Fahmi. Bahkan kami sering melakukan banyak hal yang seharusnya dilakukan atau diperankan oleh figur ayah. Ini bukan berarti ayah Fahmi tidak berperan. Tapi manakala ayah Fahmi sedang tiada dan beberapa hal harus segera dilakukan maka meski seorang perempuan, seorang ibu saya kerap bisa melakukannya.

Seperti naik ke atap, membetulkan genting di atap, memanjat pohon, menebang pohon, membetulkan air talang ke kolam ikan, dan masih banyak lagi. Maklum tinggal di desa, semua itu biasa saya lakukan. Bukan mau menyaingi peran laki-laki, tapi karena kondisi. Selebihnya di depan anak, anggap saja kalau semua itu adalah sisi maskulin dari ibunya. Maksa ya…

2 thoughts on “Belajar jadi Emak Strong”

Leave a Comment

Verified by ExactMetrics