Ketika Hati Mati untuk Semua Cahaya Dunia…

Ketika Hati Mati untuk Semua Cahaya Dunia…

Jika boleh meminta, jangan dulu Tuhan ambil nyawa saya sebelum ibu saya terlebih dahulu. Karena jika saya lebih dahulu, saya tidak tahu siapa yang akan mengurusnya kelak. Namun sudah pasti, putra saya akan diurusnya, menjadi tanggungannya meski tidak diberi kesempatan atau dilarang.

Sejak bulan puasa hati saya sudah gundah. Selalu terpikir bagaimana nasib Fahmi, putra saya jika saya lebih dahulu meninggalkannya. Pikiran saya mengerucut kepada ibu saya, neneknya Fahmi. Satu-satunya orang yang cukup dekat dengan Fahmi dan yang telaten merawatnya dari kecil. Padahal saya yakini usia ibu saya sudah tidak lagi sanggup momong balita. Ibu sudah sering sakit-sakitan, hanya saja ia tidak sering lagi cerita tentang kondisinya ke saya.

Saya yang salah memang. Sejak menikah, tidak pernah lagi bisa memperhatikan kondisi ibu, orang tua yang hanya tinggal sebelah lagi itu. Sejak menikah saya tidak bisa punya banyak waktu bercerita dengannya, mendengarkan keluhan kesehatannya, kegiatannya, sampai soal permasalahannya saya sering tidak tahu kalau saja adik atau bibi (adik ibu saya yang terkecil) tidak bilang ada apa dengan ibu saya itu.

Padahal, sebelumnya saya sempat belasan tahun merantau di luar negeri selalu berusaha untuk mengetahui kabarnya. Meneleponnya, ngobrol dan mendengar semua keluhannya. Saya berusaha menjalin komunikasi seerat mungkin meski raga berjauhan di lain negara. Tidak ada jarak antara saya dan ibu, sebagaimana wajarnya.

Entah kenapa setelah saya pulang meratau dan menikah semua kebiasaan itu langsung hilang. Saya bagai anak tidak tahu balas budi, terhadap ibu seolah tidak punya waktu lagi. Yang saya bisa hanya datang jika dibutuhkan itu pun tidak pernah lama dan suasananya lebih banyak tergesa-gesa.

Mengunjungi ibu seperti mengunjungi kantor bank saja. Bayangkan saja bagaimana tidak kalau mau ke rumah ibu saya harus antri dan memilih waktu yang tepat, lalu setelah urusan setor menyetor uruan uang selesai maka saya pun segera keluar, meninggalkannya seolah saya tidak betah berada di rumah bersamanya.

Padahal sungguh saya bukan orang dengan type seperti itu. Sejak kecil saya terbiasa bebas bermain, mengunjungi siapa saja dan tidak hanya pada saat dibutuhkan saja. Sejak kecil almarhum bapak selalu mengajarkan supaya saya bisa memanjangkan silaturahmi khususnya dengan keluarga besarnya di Tasikmalaya. Berjumpa dengan saudara-saudara, kawan-kawan serta sahabatnya, dan napak tilas akan semua usaha serta jalan dagangnya dari bapak lajang, menikah sampai meninggal di kampung halaman mertuanya. Nenek saya.

Saya menikmati semua perjalanan silaturahmi itu. Banyak ilmu, saudara dan pelajaran hidup yang saya dapat dari seringnya berjumpa dan bersilaturahmi. Meski dibalik itu orang yang tidak suka hanya bisa ngedumel dan mengira saya tukang jalan, tukang main, dan cemoohan lainnya.

Sampai sebelum menikah sama sekali saya tidak memikirkan semua omongan jelek orang. Yang penting saya niat baik, tidak merugikan orang dan apa yang saya lakukan adalah perintah orang tua (setelah bapak tiada maka jadi sebuah amanah) dan saya yakin bersilaturahmi itu tidak bertentangan dengan perintah Rasul serta Yang Maha Pencipta.

Saya baru sadar setahun terakhir ini, ketika saya sudah tidak bekerja. Kalau saya ternyata sudah lalai akan amanat bapak dan (seolah) memutuskan tali silaturhami terhadap sanak saudara serta kerabat dari pihaknya. Bahkan ke makam bapak saja saya baru melangkah ketika adik dan ibu saya sudah lebih dahulu datang untuk bertanya apakah saya mau ikut?

Sejak bulan puasa pikiran saya sering melayang. Menangis malam-malam sambil menahan rintih tanda kesakitan. Hingga terpikir sebuah permintaan jika harus mati lebih dulu, saya minta kalau bisa saya mati jangan sampai mendahului ibu saya. Saya sudah teramat banyak “meninggalkannya”. Jangan sampai jika saya tiada lebih dulu, anak saya (kembali) menjadi beban baginya.

Hutang saya terhadap almarhum bapak menjalankan amanahnya belum sempurna, mungkin kalau ada yang mengetahui hal ini akan balik mengumpat saya: Jangankan silaturahmi dengan sanak saudara  bapak yang sudah tiada, silaturahmi terhadap ibu kandung sendiri saja yang jelas-jelas masih ada dan jarak terbilang dekat masih susah dan banyak alasan.

Saat orang ramai berlomba menjalani mudik demi bisa berlebaran bersama orang, tua selagi masih ada, saya malah (terkesan) justru menghindarinya. Padahal Tuhan tahu, saya selalu menjerit meminta beri hati yang murah supaya saya bisa menghabiskan waktu bersama ibu, selagi ia ada. Saya tidak ingin saya baru bisa berkesempatan menemani ibu manakala (maaf misalnya) ibu saya sudah sakit repot.

Aminkan tolong aminkan supaya saya dapat kesempatan lebih banyak menghabiskan waktu bersama ibu saya ini kesampaian. Jujur saja hati saya seolah sudah mati untuk semua seisi dunia. Sudah tidak menarik dan saya tidak berminat kecuali satu yang menggebu dalam kalbu ialah hanya bisa lebih banyak menghabiskan waktu bersama ibu. Amin.

 

 

11 thoughts on “Ketika Hati Mati untuk Semua Cahaya Dunia…”

  1. aamiin…
    Aku berasa diingatkan, sudah bertahun-tahun tak mengunjungi keluarga papa. Semoga kita masih dikasih umur sama Allah untuk bersilaturahmi pada mereka.

    Reply
  2. amin. Smoga Ibu dan keluarga mba Okti diberi kesehatan dan umur panjang sehingga bisa berkumpul lebih lama. Akupun punya harapan yang sama, bisa membahagiakan Ibu selagi beliau masih ada bersama kami.

    Reply
  3. Aamiin..peluuk teh okti erat..kalau kata ustad abdul somad, orang tua yang sepuh itu laiknya alquran yang lapuk..dibaca tak terbaca dibuang berdosa. Maka satu2nya cara adalah menjaganya..smoga kita bisa tetap menjaga orangtua kita ya teh

    Reply
  4. Hehe emang silaturahmi sama ibu itu kadang kadang terasa kurang terus walaupun sudah berkunjung, tapi kalau di pikir2 memang ya.. kita berkunjungnya sebentar2 padahal beliau merawat kita dulu seberapa lama coba..

    Reply
  5. Aamiin, Teh. Saya juga sering banget berfikiran seperti itu.
    Apalagi ini saya lagi mau menempuh jenjang pernikahan teh. Sebentar lagi juga bakalan meninggalkan beliau.
    Sedih tapi bagaimana, istri harus ikut suami 🙁

    Reply

Leave a Reply to Naqiyyah Syam Cancel reply

Verified by ExactMetrics