Pernahkah manteman merasa meskipun tidak menjadi yang terdepan, kontribusi kita sebenarnya tetap penting dan bermakna?
Banyak orang yang ingin terlihat di permukaan, namun tidak sedikit juga yang memilih berada di belakang layar. Manteman memilih posisi yang mana nih? Hehe…
Saya sendiri akan memilih tergantung situasinya saja. Karena bagaimana kontribusi kita mungkin akan tergantung kepada kemampuan dan kapasitas diri masing-masing. Sebagaimana keahlian setiap orang, satu sama lain kan berbeda-beda ya…
Dan saya mau berbagi cerita tentang pengalaman kami, bagaimana meskipun berada di belakang layar, tapi kontribusi tetap menunjang sebuah kesuksesan.
Pernah mendaki gunung?
Atau tahu bagaimana prosedur naik gunung yang baik dan benar sehingga bisa meminimalisir hal tidak diinginkan?
Atau pernah dengar (membaca) berita terkait kecelakaan yang dialami para pendaki gunung? Baik itu yang tersesat di hutan, yang kena hipotermia, atau lemas karena kehabisan bekal? Atau kegagalan pendaki yang sama sekali tidak sampai di puncak, padahal persiapan sudah kelewat maksimal demi puncak yang dituju?
Sebenarnya semua hal tidak diinginkan (kecuali takdir kematian) bisa kita hindari jika mematuhi aturan dan ketentuan. Dengan begitu kesuksesan sesuai harapan pun bisa diraih dengan mudah dan gemilang.
Terbukti ketika ada teman dan saudara dari Bekasi pernah minta ikut naik gunung ketika melihat Fahmi berhasil naik Slamet saat berumur tiga tahun setengah.
Jujur saya dan suami bingung. Melihat teman dan saudara saya ini semuanya pemula dalam dunia pendakian. Tapi karena mereka keukeuh, maka suami memberikan rekomendasi untuk naik gunung Gede Pangrango saja. Sekalian mengajak Kiting sebagai besti alias teman seperjalanan mendakinya Fahmi, putra kami.
Gede Pangrango jadi pilihan dengan alasan lokasinya dekat dari kami di Bekasi dan Cianjur, serta antisipasi hal lain jika ada hal tidak diinginkan mengingat di Gede Pangrango cukup strategis untuk evakuasi bantuan dan sebagainya (di Puncak Gunung Gede kadang ada penjual kopi, gorengan dan nasi bungkus).
Rombongan dari Bekasi terdiri dari saudara saya Alin, dan teman saya Ana dan putra-putrinya (satu perempuan anak SD dan dua laki-laki udah sekolah lanjutan, satu cowok si sulung udah kuliah).
Buat saya dan Alin yang biasa tinggal di kampung berjalan kaki berkilo-kilo meter sudah biasa. Naik turun bukit adalah jalan sehari-hari apalagi saat sekolah di Sukanagara yang wilayahnya berupa perkebunan teh. Cuaca dingin, jalan terjal dan kabut menghalangi pemandangan sudah tidak asing lagi.
Tapi bagi Ana dan keluarga, yang lahir dan besar di kota, kemana-mana terbiasa naik turun kendaraan, terbiasa dengan udara sejuk dari AC, plus makanan sehat dan bergizi yang selalu tepat waktu disediakan asisten rumah tangga, melakukan perjalanan naik gunung (apalagi untuk pertama kalinya) pasti bakalan ada ngarumas-nya. Sepintas orang berpikir anak manja begitu mana bisa sampai di puncak?
Nah, saya dan suami yang akhirnya ketiban beban, memikirkan bagaimana cara supaya bisa membawa keluarga sultan ini bisa sampai di Puncak Gunung?
“Atur seperti biasa aja, Teh. Kita pasti bisa…” Semangat dari Kiting yang sedia mendampingi ketika saya hubungi membuat saya dan suami sepakat untuk buat group koordinasi.
Sebagaimana kita tahu banyak sekali masalah yang terjadi di gunung diakibatkan oleh tidak terorganisirnya kelompok pendakian.
Padahal mendaki itu bukanlah hal yang bisa dilakukan secara sembarangan. Oleh karena itu, kelompok pendakian harus diorganisir dengan baik serta harus dipersiapkan dan itu harus dijalankan selama pendakian.
Sebelum berangkat mendaki gunung, saya kirim pesan ke group koordinasi mengenai peran yang ada dalam kelompok pendakian agar kelompok pendakian dapat terorganisir dengan baik serta komunikasi berjalan dengan lancar. Saya tekankan mau tidak mau harus mengikuti peran tersebut kalau tidak pendakian lebih baik batal.
Kiting bertugas sebagai navigator (guide) sekaligus leader (pemimpin pendakian). Kami menempatkan Kiting bukan asal-asalan melainkan melihat kemampuan dan kapasitasnya selama kami sering mendaki bareng.
Meski badannya cungkring tapi tenaganya jangan disepelekan. Sudah tiga tahun terakhir setiap akhir tahun Kiting jadi Guide di Gunung Rinjani. Terbayang bawaan bekal ke Rinjani yang minimal buat empat malam lima hari itu segimana…
Sebagai leader, Kiting memiliki tugas yang paling berat. Sebagai pemimpin dalam suatu kelompok pendakian, semua tindakan dan keputusan yang diambil selama pendakian berada di tangannya.
Meski begitu Kiting juga harus tetap berdiskusi dengan kami sebagai anggota kelompoknya.Tidak hanya bertanggung jawab sekaligus memastikan bahwa pendakian berlangsung sesuai rencana yang telah dibuat, Kiting juga diminta selalu memberikan informasi terkait gunung yang akan didaki kepada setiap anggota kelompok pendakian.
Saya dan suami juga bergantian saling membackup untuk menambahkan informasi mulai dari durasi perjalanan, jalur yang akan ditempuh beserta kondisinya, dan tempat yang berpotensi bahaya.
Hal itu dilakukan jauh-jauh hari sebelum pendakian agar setiap anggota pendakian dapat mempersiapkan diri dengan baik.
Termasuk menjelaskan peralatan dan perlengkapan kebutuhan selama pendakian, mana yang bisa disewa, mana yang lebih baik punya sendiri.
Tidak lupa menjelaskan apa yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan untuk dilakukan selama pendakian. Hal ini dilakukan agar setiap anggota pendakian memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang aturan tersebut.
Saya sendiri seperti biasa bertugas sebagai chef alias koki gunung sekaligus merangkap sebagai team logistik bersama Alin karena keterbatasan orang. Tidak repot karena logistiknya sendiri dibagi untuk dibawa oleh setiap pendaki yang ikut. Jadi cukup ringan karena masing-masing punya bagian.
Sebagai manager basecamp alias perdapuran saya tidak hanya bertugas mengatur logistik selama perjalanan tapi juga sekaligus memastikan semua anggota rombongan dalam kondisi sehat.
Kami meminta semua tim jika menggunakan trekking pole maka gunakan dengan benar. Termasuk menginformasikan bagaimana menyusun isi tas kerier yang dibawa dengan tepat supaya punggung tidak sakit.
Peringatan keras mengenai sampah juga jadi hal yang wajib. Sampah dari barang yang kita bawa seperti logistik harus dikumpulkan dan dibawa turun lagi.
“Sudah jadi tanggung jawab setiap pendaki untuk membersihkan sampah yang dia bawa, ya. Ingat itu.” Tegas Kiting.
Ana dan putra-putrinya masuk di barisan Follower. Meskipun ketiga putra Anna sesekali merangsek maju jalan bersama Kiting, dan bahkan mundur jauh di belakang ibu dan adik perempuannya. Banyak saja alasannya mereka itu, ambil foto dulu lah, ngerokok dulu lah, istirahat dulu lah, dan banyak alasan lain.
Karena tahu anak-anak Ana ini pemula, baru mengenal dunia pendakian, serta tidak mengetahui medan dan pengetahuan tentang dunia pendakian masih sedikit maka suami sebagai sweeper tidak pernah membiarkan mereka berhenti lama-lama.
Ya, saat pendakian kali itu suami yang berada di paling belakang bersama Fahmi putra kami, bertugas sebagai sweeper.
Suami yang memastikan rombongan pendakian kami tidak ada yang tertinggal.
Belajar dari para senior dan guru di Indonesia Mountain Specialist (IMOSA) yang dipimpin Bang Ardeshir Yaftebbi menjadikan kami terdidik untuk tidak egois ketika melakukan pendakian demi kesuksesan bersama yaitu keselamatan semua peserta pendaki hingga kembali sampai ke rumah masing-masing.
Saat orang awam berlomba ingin menjadi yang pertama mencapai puncak, pemikiran kami justru bertolak belakang. Keselamatan semua anggota rombongan adalah kesuksesan sebenarnya. Puncak bukan segalanya!
Sweeper alias orang yang berangkat paling belakang tentu saja tidak berambisi sampai puncak kecuali semua tim rombongan sudah sampai di sana. Karena tugas yang berada di belakang ini tidak hanya memastikan seluruhnya dalam keadaan baik, dari segi anggota kelompok pendakian, barang bawaan, dan lain-lain, tapi juga jadi tim penenang ketika ada anggota rombongan yang mopo (lelah hingga putus asa) sekaligus jadi tim penyemangat.
Para pendaki senior yang banyak ilmu itu selalu mengajarkan kepada kami akan kerendahan hati ketika sedang berada di alam terlebih saat melakukan pendakian.
Baik Kiting maupun suami, berkali-kali tak lelah menyemangati Ana dan putrinya jika capek itu cuma dipikiran. Jangan dirasakan. Saat berjalan disarankan langkahnya kecil-kecil saja, nggak usah buru-buru biar nggak cepat capek.
Kalau kaki pegal, istirahat dengan memberitahukan kepada teman lain dalam rombongan. Luruskan kaki, terus pijat ke arah atas, mendekat ke jantung. Itu yang saya dan suami sampaikan sebagaimana disampaikan senior di Sekolah Mendaki Gunung IMOSA, dulu.
Dari sekian banyak ilmu mendaki yang kami turunkan, satu pelajaran penting yang saya dan suami tegaskan kepada Alin, Ana dan keluarganya bahwa bukan soal bagaimana bisa mendaki puncak atau bagaimana cara bertahan hidup di tengah hutan. Justru, pelajaran yang paling penting ingin disampaikan adalah bagaimana setiap pendaki untuk tetap menjadi ‘manusia biasa’.
Kalau niat naik gunung untuk menaklukkan gunungnya, itu malah jadi sombong. Kami diajarkan naik gunung (harusnya) untuk menaklukkan diri kita sendiri.
Apa lantas menjadi jago dan hebat kalau sudah mendaki gunung dan sampai di puncak? Tidak kok, biasa-biasa saja…
Dan pengalaman berat itu kejadian juga. Di atas pos Kandang Badak, Ana dan putrinya mengalami kelelahan berat dan hampir memutuskan untuk berhenti. Kami semua memotivasi ibu dan putrinya itu. Tidak lupa memberinya air dan membantu mengatur napas sambil mengingatkan bahwa tidak apa-apa untuk bergerak pelan.
Ketika malam hampir datang sementara kami masih terjebak di perjalanan maka suami memutuskan untuk tinggal di pos tersebut bersama Fahmi, Ana dan putrinya yang kelelahan supaya tidak merasa ditinggalkan.
Sementara Kiting dan saya juga anggota rombongan lain tetap melanjutkan perjalanan.
Setelah memastikan kami aman di Lapangan Suryakencana dan Ana serta putrinya sudah cukup beristirahat, maka Kiting dan anak sulung Ana akan kembali menjemput.
Keesokannya ketika akhirnya mencapai puncak, Alin bicara kepada saya yang katanya menyadari bahwa tanpa bantuan sesama tim, perjalanan pendakian pertama mereka tidak akan semulus itu.
Peran anggota tim sebagai pendukung, navigator, dan motivator menjadi pilar penting yang membuat keseluruhan tim berhasil.
“Alhamdulillah,” itu yang bisa diucapkan. Meskipun suami dan Fahmi harus begitu terlambat sampai ke puncak gunung, begitu juga Kiting dan Keluarga Ana namun kerja sama ini berhasil memperkokoh posisi tim dan memastikan kami semua mencapai tujuan bersama.
Kisah ini membuktikan bahwa kontribusi di bawah tidak kalah penting dibandingkan mereka yang berdiri di puncak.
Perjalanan mendaki bukan hanya soal siapa yang sampai di atas, tetapi juga tentang bagaimana setiap anggota tim memberikan dampak positif untuk pencapaian bersama.
Begitulah, hidup yang singkat harus tetap berprogress dan dirayakan, bukan? Cerita ini mungkin tidak sedikit pun membanggakan, bagi yang lain. Tapi bagi kami yang menjalani, meraih dengan upaya mandiri dan berdampak hal ini sungguh sangat berkesan.
Dalam mendaki gunung, seandainya tidak bisa sampai ke puncak, setidaknya dapat memperkokoh posisi yang ada di bawah, artinya tetap berperan dalam pencapaian besar walau tidak menjadi pelaku utama.
Saya setuju sekali dengan Mbak Okti. Kapan posisi kita, di depan atau di belakang, itu tergantung sikon dan kapasitas saja. Karena semua saling mendukung dengan kelebihan atau kemampuan masing-masing. Dan Alhamdulillah walau pendakian kali ini banyak pemula, semua berjalan lancar dan sampai ke puncak ya. Semua berkat kerjasama dan koordinasi yang baik.
Hebat banget Teh, anaknya dulu masih kecil banget tapi udah bisa naik gunung.
Nahh naik gunung bukan sekadar naik aja tapi kudu persiapan yg matang yaa. Fisik yg kuat, juga briefing dulu kalo naik gunung rame2. Apalagi kalo ngajak para pemula.
SAya belum pernah naik gunung, seru ya pengalamannya, perlu kerjasama tim yang solid demi keberhasilan bersama ya Teh
Memang yang dibelakang layar kerap tak dilihat dan dihitung, oleh yang luar, padahal luar biasa kontribusinya ya. Berarti gak hanya soal naik gunung yang seperti itu, dalam kegiatan lain pun juga sih
MashaAllaa~
Aku uda nangis pendakian gunung Gede Pangrango.
Bukan manjanya, tapi banyak ketakutan dari diriku sendiri yang belum runtuh.
Keren sekali, teh Okti dan team.
Kisahnya menginspirasi terutama di bagian “setiap pendaki untuk tetap menjadi ‘manusia biasa’.
Kalau niat naik gunung untuk menaklukkan gunungnya, itu malah jadi sombong. Kami diajarkan naik gunung (harusnya) untuk menaklukkan diri kita sendiri.”
Aku jadi berpikir, mashaAllaa~
Selama ini kita selalu menganggap diri ini hebat karena berhasil melewati tantangan. Tapi itu salah besar. Karena sebenarnya, Allah-lah yang memberikan kekuatan.
Sungguh menginspirasi membaca kisah di balik layar ini! Terlihat jelas bahwa kesuksesan yang gemilang tak lepas dari kerja keras, dedikasi, dan kolaborasi yang kuat dari seluruh tim. Setiap detail, mulai dari konsep awal hingga eksekusi akhir, memiliki peran penting. Kisah ini mengingatkan kita bahwa di balik setiap pencapaian besar, selalu ada cerita yang lebih besar lagi
Kisahnya inspiratif sekali nih, Mbak. Kalau saya terus terang nggak kuat dengan medan gunung jadi nggak berani mendaki.
Aku tuh punya kakak sepupu yang orang Mapala. Iya sih. Mendaki gunung tuh bukan hanya soal target bisa sampai puncak. Tapi, bagaimana semua anggota yang ikut bisa sampai mulai dari berangkat hingga pulang lagi ke rumah.
Bener kata pepatah. Buah jatuh ga jauh dr genteng. Eh pohonnya. Haha. Krn ini keluarga yg suka hiking, otomatis si kecil jg ngikutin jejak ayah ibunya. Keren banget sih mbak.
Ga kebayang yg usia 3 tahunan itu gmn bawanya? Apakah digendong? Ntr gantian gendong ya antara ayah dan ibunya? Ntr kl rewel gmn tuh? Tp org tua yg sudah paham medan, pasti ga khawatir lg sih soal ginian.
Smg si kecil mampu melestarikan dan menjaga lingkungan selepas naik gunung ini ya.
Ahay, betul. Mau di depan layar atau belakang layar, sejatinya kontribusinya tetap sama. Lalau memilih yang mana. Saya sama dengan Teh Okti deh. Tergantung masalah dan kebutuhannya saha. Hehehe.
mantap teh naik gunung sekeluarga dan bisa bawa keluarga yang lain pula…dan setuju banget soal naik gunung itu bukan tentang mencapai puncak tapi menaklukkan diri sendiri
Suamiku suka naik gunung, suka cerita juga di gunung bisa terjadi hal yang tak terduga makanya persiapannya harus maksimal sesuai ikhtiar kita. Keren banget saudara teteh, dengan kebiasaan yang udah nyaman mau naik gunung dengan effort yang besar. Aku malah nggak berani naik gunung, banyak takutnya
MasyaaAllah, keren banget Fahmi umur 3 tahun udah mendaki. Memamg bener sih, teh, kalo keselamatan semua itu adalah kesuksesan, dan puncak bukanlah segalanya. Uh, jadi pengen mendaki juga nih sama keluarga.
Baca artikel ini saya jadi ingat kasus anak perempuan asal Semarang yang sempat viral, tertinggal rombongan dan sendirian selama 2 hari di Gunung Gede. Pihak pelaksana opem tripnya enggak tanggung jawab dan memperhatikan keselamatan peserta pendakian.
Salut untuk keluarga Teh Okti yang perhatian banget pada keluarga Ana, akhirnya mereka bisa sampai puncak juga ya meskipun penuh perjuangan. Yang penting enggak ada anggota pendakian yang tertinggal.