Seribu Rupiah Pembawa Berkah

Tukang mie ayam jamur bakso itu dengan ramah mengikhlaskan uangnya untukku. Meski hanya satu ribu, duh! Jadi terharu… Benar kata Mba Prima, “Ntar malam Raka ngajak makan mie ayam itu tuh!” Tunjukknya saat melewati lapak dagang mie ayam jamur bakso setelah menjemputku dari Cijantung ke rumahnya. “Tukang mie ayam jamur baksonya baik, padahal masih muda-muda. … Read more

APTB: Sedikit Solusi Mempercepat Menuju Lokasi

Sudah sering melihat bus bertuliskan APTB (Angkutan Perbatasan Terintegrasi Busway), tapi baru kali ini aku menaikinya dari Cawang UKI menuju ke Ciawi, Bogor. Niatku selain mencoba, juga karena melihat cuaca mendung berat. Hujan sebentar lagi akan turun sementara aku ingin cepat sampai di Cianjur, sebelum meneruskan ke Sukanagara. Selepas menghadiri acara dari sekitaran Monas aku … Read more

Dua Jam Depan Istana Negara itu Sesuatu…

Rabu 19 Maret 2014 ATKI (Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia) dan organisasi lainnya termasuk Forum Nasional Mahasiswa (FNM) mengadakan aski unjuk rasa di depan Istana Negara, Jakarta Pusat. Tujuan aksi ini menyerukan kepada pemerintah SBY untuk segera memberikan perlindungan kepada Satinah, Buruh Migran Indonesia (BMI) asal Semarang yang menjalani hukuman pancung di Arab Saudi, jika tidak … Read more

Peluncuran Buku Thamrin Dahlan: Prabowo Presidenku

Sempet bimbang antara datang atau tidak. Kawan-kawan berdiskusi di lapangan parkir cari alternative bagaimana baiknya. Memikirkan jalan mana yang harus ditempuh… (Alaaah… gayanya macem-macem aja) 🙂 Sudah diinfokan sejak awal melalui undangan baik di group, blog maupun di jejaring sosial mengenai acara launching buku “Prabowo Presidenku” karya salah satu senior dan “orang tua” ku di … Read more

Kenapa Tidak Perlu Membandingkan Imbalan antara Cerpenis dan Blogger?

Nunggu busway ke Harmoni iseng sambil beli koran Kompas. Kalau hari Minggu bacaan Klasika nya bagus-bagus buat referensi tulisan atau bahan cerita ke anak.

Kirain dua ribu rupiahan, ternyata sekarang jadi tiga ribuan. Karena itu juga aku sempat tertinggal satu bus Transjakarta jurusan Harmoni. Abis kelamaan nyari-nyari duit recehan seribuannya buat bayar ke si bapak yang jualan koran.

Tapi untung tak lama datang juga busway yang menuju tujuan yang sama. Malah yang ini kosong banyak. Aku jadi bisa duduk leluasa dan baca koran Kompasnya.

Di rubrik Seni, ada cerpen miliknya Pak Tri yang dimuat. Huh! Aku narik nafas dalam-dalam. Kapan ya cerpenku bisa naik cetak di Kompas? Berkali-kali kirim hasilnya selalu ditolak!

Terbayang Pak Tri akan menerima honor tulisan cerpennya yang berkisaran 1,2 jutaan itu. Lagi-lagi aku hanya bisa narik nafas dalam-dalam.

Sempat terlintas pikiran Tuhan kenapa “memilih” penulis cerpen untuk dimuat di Kompas. Kenapa terkesan hanya orang-orang tertentu dan ternama saja yang karyanya dihargai sampai jutaan rupiah dalam satu kali hasil karya.

Hush! Astagfirullah… Aku segera istigfar saat tersadar. Kenapa aku jadi punya pikiran buruk seperti itu?

Ya Allah, maafkan hamba-Mu ini. Aku bukannya bersyukur atas semua nikmat yang telah diberikanNya padaku, eh, malah mikir yang tidak-tidak. Bukankah milikku juga jika ditekuni dengan profesional bisa menghasilkan nilai nominal yang sama bahkan lebih?

Ya, harusnya kamu syukuri itu, Okti!

Bersyukur saat aku gagal mengikuti suatu even tetapi di even lain justru tanpa diduga aku terpilih dan tanpa harus susah payah dengan resiko ditolak redaksi karyaku justru bisa dipastikan bakal menghasilkan.

Harusnya aku bersyukur saat aku gagal masuk audisi menulis antologi bersama ibu-ibu yang doyan menulis, tetapi Allah menggantikannya dengan memilihkan aku sebagai salah satu ghost writer untuk kampanye salah satu produk dan perusahaan asuransi dengan imbalan senilai 25 kali lipat dari imbalan di even yang gagal aku ikuti.

Harusnya aku bersyukur saat cerpenku tak lolos dari para redaktur Kompas tetapi di lain kesempatan aku bisa manjadi blogger yang tulisanku bisa langsung diasese Badan Narkotika Nasional (BNN) lewat evennya Indonesia Bergegas. Yang mana nilai honornya jika aku serius membuat beberapa artikel dalam satu bulan bisa dua kali lipat dari honor naskah cerpen dimuat di Kompas.

Ya, harusnya kamu bersyukur, Okti!
Bukan hanya bisanya mengeluh dan membanding-bandingkan. Jangan melihat ke atas, tapi lihatlah ke bawah…

Terus tingkatkan karya dan prestasimu maka dengan secara sendirinya karyamu akan bernilai dan membawakan untukmu imbalan…

Amin!

Suka Duka Blogger dari Ujung Dunia Menuju Kopdar Ibu Kota

Duka Blogger dari Kampung
Kecewa sekali rasanya hari minggu pagi ini…

Sesuai rencana aku mau menghadiri acara Blogger Bicara yang diadakan oleg Blogdetik di Jakarta. Tentu saja seperti biasa, berangkat dari rumah jam tiga dini hari.

Naik Elsa Kang Oyan yang sudah biasa dari Terminal Sukanagara. Selama perjalanan aku memilih tidur karena memang sangat ngantuk sekali. Semalam tidur hanya satu jam. Itu juga bangun-bangun karena Fahmi nangis terus.

Fahmi sedang kena flu dan batuk. Hidungnya mampet, pernafasannya terganggu. Karenanya Fahmi nangis saat lapar mau minum susu, tapi mulut ga bisa nutup karena ga bisa nafas. Akhirnya gak minum susu. Dalam keadaan ngantuk, setengah tidur sedikit-sedikit nangis, soalnya lapar tapi gak kesampaian minum susu maksimal. Ditambah mungkin nyeri badan karena efek dari flu dan demamnya.

Sampai di Campaka tidurku terganggu karena mobil Kang Oyan menyeruduk batas jalan saat berselisih jalan dengan mobil lain dari arah berlawanan. Aku hanya membaca istigfar saking kagetnya, tapi lanjut kembali tidur.

Sampai daerah Kebun Pinus, Kang Oyan bilang ada masalah dengan kupling. Wah, gawat! Itu artinya ini mobil Si Dukun yang aku tumpangi mengalami kemogokan. Duh! Padahal hari Minggu aku dalam keadaan terburu-buru.

Benar saja, Erik sang kondektur Si Dukun sampai mendorong mobil demi bisa mengantarkanku ke sekitar Alun-alun Cibeber yang mana di sana sudah banyak angkutan kota yang bisa membawaku langsung je Jebrod.

Berhasil naik angkot, wah! Penumpangnya hanya aku sendiri! Dan sebelnya itu angkot jalannya kaya sepeda. Pelan banget! Duh! Ga tahu apa aku lagi buru-buru? Aku hanya bisa menggerutu dalam hati.

Sampai di Pom Bensin, sopir angkot membelokkannya ke dalam. Isi bensin dulu. Mana ngantri… Sabar. Mungkin setelah isi bensin angkotnya bisa ngebut. Kembali hatiku menghibur diri.

Boro-boro! Abis selesai isi bensin, sopir malah matiin mesin dan dia bilang, masih jam limaan. Niis dulu lah…

Tentu saja aku gak terima. “Pak, aku lagi buru-burun (Bapak malah enak-enak bilang santai dulu) aku turun di sini aja ya? Aku mau terus ke Jakarta nih…” Ucapku sambil siap-siap turun.

“Eh! Bayar dulu dong! Bayar!” Si sopir juga ga terima rupanya.

“Iya, pasti aku bayar,” jawabku sambil memberikan uang dua ribu rupiah. “Terimakasih ya, Pak!” Meski kesal, aku berusaha tetap ramah.

Saat melewati angoktnya mau nyegat angkot yang lain, itu sopir dengan sengajanya menjalankan mobil, hampir saja menyenggolku! Ih… Semakin kesal lagi saat aku minggir, itu angkot ternyata malah jalan dan ngebut ke arah kota.

Ya Allah! Aku sempat tertegun. Si sopir sengaja manas-manasin kali ya? Kenapa dia menurunkan aku kalau mau jalan ngebut begitu ke kota?

Ya Allah, sabarkanlah hatiku. Semoga ada hikmah dari semua ini. Aku tak henti berdoa sebisa-bisa selama menanti angkutan lainnya yang lewat. Dalam benak sudah terbayang bakalan kesiangan sampai di Jebrod dan semakin lama perjalanan karena terhalang Car Free Day. Belum lagi nanti macet di Puncaknya…

Benar saja. Sampai di Jebrod jam enam lewat sepuluh. Sampai di Rancagoong bus sudah tidak bisa lewat, akhirnya balik lagi keliling ke arah kota. Sampai di Panembong jam menunjukkan angka tujuh. Duh! Semoga di puncak nanti masih kebagian lancarnya…

Sedih nian rasanya jadi warga terisolir dengan sarana dan prasarana yang sangat kurang. Mau manghadiri acara kopdar blogger saja dukanya serasa tidak ketulungan 🙁

Verified by ExactMetrics