Selain WhatsApp sering mati karena ponselnya kerap eror, ngehang sekian lama jadi susah mau ngapa-ngapain, juga lesunya dunia blogging –yang saya rasakan– yang bikin saya ternyata sudah cukup lama tidak membuka dashboard blog.
Jadi lupa sudah berkali-kali ditagih tulisan untuk arisan, dan menulis untuk diri sendiri sekadar meringankan beban hidup yang disandang.
Benar juga ya, bagaimana dunia blogger tidak sepi kalau rasa malas justru telah berhasil mengakuisisi semangat ngeblog.
Apakah hanya saya saja yang merasa setiap kali mencoba untuk bangkit dan memupuk semangat, sudah kalah duluan dengan ketakutan membayangkan nominal tagihan hosting dan domain untuk sewa tahun selanjutnya yang makin kesini terasa makin melambung harganya?
Bukannya mentriger diri supaya makin produktif menghasilkan artikel supaya trafik makin bagus, yang ada malah memanjakan diri dengan dalih ah, sudahlah kalau sepi job ya saatnya leyeh-leyeh aja dulu…
Nantao, pas masuk ke dashboard blog ini rasanya seperti membuka pintu rumah kosong yang dulu pernah ramai, tapi kini berdebu dan sunyi.
Postingan terakhir publish tengah bulan kemarin. Sebulan lebih ternyata saya diam saja. Ironis, karena pada bulan blogger nasional itu, saya justru malah berhenti mengisi blog ini.
Masih kuat ngetik kalau sekedar bikin kicauan di dunia burung yang transformasi jadi dunia X. Bukan karena tak ada ide kalau ga update kisah yang mau dibagikan. Bukan juga karena tak ada waktu. Tapi karena kelelahan terbawa musim saja.
Karena saat dunia blogging ramai, seperti mereka yang suka ikut-ikutan, saya pun semangat menata blog. Sebaliknya saat dunia blog sepi ya ikut berhenti juga. Tidak mau lelah dan rugi.

Memang sih ya dunia blog sudah tak seramai dulu. Brand-brand yang dulu rajin mengirim email kini sibuk mencari engagement di TikTok dan Reels.
Buat para Beauty Blogger mungkin masih bisa survive di sana dengan berbagi konten tutorial kecantikan atau info skincare seperti yang dilakukan Beauty Blogger Balikpapan. Tapi buat saya yang biasa di belakang layar, kondisi seperti itu terasa jungkir balik sekali.
Sekarang kebalikannya. Job menulis jarang datang. Pageview tak lagi naik. Brand sudah pindah ke influencer dengan video lucu berdurasi sekian detik.
Scroll hidup orang lain yang tampaknya jauh lebih berwarna dari blog yang terakhir di-update sebulan lalu.
Dulu, setiap menulis itu udah seperti orang jatuh cinta saja. Mengetik sambil senyum-senyum sendiri, seolah kata-kata bisa menyelamatkan dunia dan kehidupan saya.
Kini, tulisan panjang berganti dengan video singkat; refleksi berganti dengan hiburan cepat.
Dan saya, yang dulu hidup dari kata-kata, mulai merasa tak punya tempat lagi. Apalagi saat akun Instagram kena suspend dan bikin baru malah selalu bermasalah.
Yang ada sekarang ini jadi merasa insecure. Setiap melihat influencer lain dengan ribuan views, saya langsung drop, merasa kecil.
Lalu berusaha menghibur diri: “Nanti kalau ada job, bakalan semangat nulis lagi.” Hihihi … niatnya aja udah melenceng ya, bagaimana bisa membangun diri supaya produktif?
Dan sedihnya job itu tak datang-datang. Hikz! Dan akhirnya berhenti lah menulis. Tapi masih mending kegiatan membaca tetap berjalan walau membaca nya pun di platform online, bukan buku atau bacaan fisik.
Hari-hari ada waktu luang kini lebih banyak dihabiskan dengan menggulir layar tanpa arah. Scroll, like, comment, repeat, nonton… walau dari sana saya dapatkan juga manfaat dan pelajaran hidup.
Sampai suatu malam, saya menemukan satu hal kecil yang tak sengaja jadi mengubah segalanya.
Sebuah komentar lama di salah satu tulisan saya, tentang komentar dari seseorang yang bahkan tak saya kenal: “Terima kasih ya, tulisannya membantu aku melewati masa sulit.”
Saya terdiam. Lama. Bukan karena tulisannya bagus (malah lebay, jujur saja, agak malu bacanya), tapi karena sadar: saya dulu menulis bukan karena ada job, tapi karena ingin bercerita. Karena ingin meninggalkan jejak.
Rasanya seperti ditampar dengan lembut oleh seseorang yang tulus.Ternyata, ada seseorang di luar sana yang menemukan kekuatan dari tulisan yang saya lupakan (saya menulis, memublikasikan dan memang lebih sering tidak pernah kembali membacanya lagi)
Dan saya — yang menuliskannya itu hanya karena dulu ingin didengar — justru lupa bahwa pernah mengeluh dan sekaligus juga menguatkan orang lain.

Ah, jadi kangen masa-masa itu… semoga semangat menulis yang dulu saya miliki segera kembali lagi. Saya ingin merasakan lagi saya yang dulu, yang semangat ngeblog, yang menulis bukan untuk algoritma, yang selalu berbagi bukan untuk angka, tapi untuk hati.
Saat dimana jiwa ini merasa canggung larinya ke tulisan, saat merasa kehilangan, obatnya dengan menceritakan nya lewat artikel, pun termasuk tentang segala, tentang diam, tentang keluarga, tentang mencoba mulai lagi. Hingga tombol “Publish” berhasil diklik, ada perasaan senang yang tak bisa dijelaskan.
Mungkin benar, dunia blog saat ini sudah berubah. Tapi mungkin juga, bukan dunia yang perlu saya ikuti — melainkan diri saya sendiri yang perlu diingat kembali.
Seharusnya saya tahu kalau menulis, buat saya bukan sekadar hobi, pekerjaan, atau self healing, tapi juga cara paling jujur untuk tetap hidup.
Mungkin dunia blog memang berubah. Tapi alasan menulis tidak seharusnya ikut hilang, ya.
Yakin jadi blogger itu langkah berani dan keren—meskipun banyak tantangan, baca ini bikin semangat untuk ‘nggak nyerah’ , kerasa banget soalnya puyengnya huhuhu
Menulis itu bagaikan pekerjaan dari hati, menurutku. Ada kompensasi atau tidak, kalau aku sih tetap ngeblog ya, meskpun mungkin ga serajin sebelumnya 😀 Wah, aku turut prihatin dengan IG teh Okti yang bermasalah dan akhirnya hilang hiks 🙁 Ayo atuh ngeblog aja lagi pelan2 sebulan 2 judul juga ga apa2 buat mengisi waktu luang nunggu anak di ponpes hehehe 😀
Mbak Oktii…. Semangat yaa, aku pun merasakan sama. Semoga job ngeblog menemukan kejayaannya lagiiii.. Ni loh bikin mak deg, “saya dulu menulis bukan karena ada job, tapi karena ingin bercerita.”