Nasib Perempuan Tomboi

Sejak kecil, aku dikenal sebagai anak tomboi. Tidak punya pakaian rok kecuali seragam sekolah, bermain dengan anak lelaki termasuk kelakuan yang menyerupai perilaku anak cowok.

Melakukan hal seperti anak laki-laki sudah biasa kulakukan. Main kelereng, main layangan, panjat pohon sampai berantem meskipun harus babak belur padahal hanya karena masalah sepele.

Memasuki bangku sekolah dasar, meskipun sebangku dengan si Neng, anak bungsu dari seorang pejabat Pemda Kodya Bandung, tapi aku lebih senang bermain dengan Hendi, Ari, Lucky, Iwan dan lainnya.

Sepulang sekolah, karena bapak dan ibu tidak ada di rumah untuk bekerja, aku suka keluyuran main ke rawa dan hutan pekuburan, tentu saja bersama teman anak-anak laki-laki.

Mancing ikan serta mengambil buah jambu adalah pengisi kegiatan bersama kawan sepermainan di kampung. Saat itu Kotamadya Bandung di sekitar tahun 80-an. Masih banyak tanah kosong berupa rawa dan tegalan, belum ditanami semen dan beton seperti sekarang.

Memasuki sekolah menengah pertama meski harus pindah ke wilayah kabupaten tempat nenek tinggal tapi kebiasaan seperti anak lelaki masih melekat kuat.

Di rumah nenek aku tidak pernah mengerjakan pekerjaan anak perempuan meskipun sekadar untuk membantu nenek yang sudah sepuh. Alasannya ya karena gak bisa.

Sampai suatu hari aku mendengar omongan sepupuku, membicarakan di belakang kalau katanya aku pemalas. Sejak itu kalau mau mandi ke tampian (tempat mandi umum di kampung) aku bawa sekalian deh piring dan gelas kotor untuk dicuci. Belajar, biar kuping gak panas dinyinyiri terus.

Sepulang sekolah lagi-lagi aku lebih suka kelayapan ikutan bersama pemuda kampung yang kebanyakan sih masih saudara juga. Marak (mencari ikan) ke sungai, berburu burung ke persawahan, sampai ikut ngarit untuk membantu teman mengumpulkan pakan ternak karena di kampung kebanyakan mereka memiliki hewan peliharaan.

Saat mau berangkat ke sekolah jika naik kendaraan, aku lebih suka nangkel seperti Akang Kondektur di dekat pintu. Jika tidak ada angkutan, aku lebih berani nyegat truk atau kendaraan apapun sebagai omprengan.

Lebih serunya lagi aku dan teman-teman sering nekat nyegat tangki Pertamina supaya bisa membawa kami ke sekolah. Yah, daripada kesiangan atau harus bolos kan… Padahal jelas-jelas terpampang tulisan begitu gede: DILARANG MENUMPANG!

Melanjutkan sekolah tingkat atas, sifat tomboi ku tetap masih ada, meskipun seragam sekolahku panjang dan berhijab. Daripada main sama anak perempuan yang suka ngiri, aku lebih suka bergaul sama anak cowok yang serba easy.

Sering aku nginap di rumah orang tua teman cowok, atau main ke kostan teman cowok. Semuanya murni berteman, karena sampai aku lulus, aku tidak pernah punya pacar.

Sepertinya cowok yang mau mendekatiku udah takut duluan melihat tingkahku yang kasar dan sering nongkrong bareng anak cowok. Sungguh tidak ada manis-manisnya…

Meski tomboi sejak kecil dan terkesan urakan karena jauh dari kata perempuan yang pandai berdandan, namun dalam soal mata pelajaran dan prestasi di sekolah aku berani boleh diadu.

Sejak SD sampai SMP aku selalu rangking satu. Saat SMU pun aku tetap mendapatkan beasiswa dan masuk kelas exact saat penjurusan, bergabung dengan anak-anak yang kutu buku, jago matematika dan ahli rumus-rumusan.

Bekerja ke luar negeri, ketomboianku makin menjadi. Sejujurnya itu kalau dilihat dari penampilan fisiknya saja sih, secara aku sendiri sadar diri kalau aku ini ya perempuan normal. Rambutku dipotong pendek itu karena aturan dari perusahaan jasa tenaga kerja (PJTKI) saja sih. Dan lama-kelamaan memang terasa nyaman juga. Simple kalau mau keramas, gak ribet kalau mau bepergian karena nyisir pakai jari tangan pun jadi.

Meski tidak punya pacar, bukan berarti aku tidak laku. Ada beberapa orang cowok yang nembak, bahkan serius ngajak rumah tangga tapi akunya aja yang tidak menanggapinya dengan serius. Ke teman sekolah maupun ke teman di luar sekolah, alasannya sama aku ingin fokus dulu meraih prestasi. Dan mereka percaya aja kayanya karena sampai kelulusan aku tetap ngejomblo.

Nasib yang berkata lain. Lima belas tahun kemudian sepulangnya aku dari merantau bertemu dengan teman-teman sepermainan dulu di sekolah sepertinya aku yang justru kemakan omonganku sendiri. Kualat.

Aku bertemu dengan seseorang yang sudah membersamaiku di sekolah dulu, setelah ia menjadi kandidat doktor dari sebuah universitas negeri di provinsi.

Padahal aku dan temanku itu sama-sama memiliki ambisi belajar dan permasalahan perekonomian yang minim. Bedanya aku perempuan, gak bisa leluasa mengambil keputusan, sementara dia lelaki yang memiliki visi misi dan berani.

Saat aku mengucapkan selamat atas gelar doktor yang diraihnya aku harus puas dengan pencapaianku di kisaran ibu rumah tangga saja.

Tanpa kuduga teman sepermainan dulu di kampung juga tiba-tiba muncul dan mengabarkan diri setelah hampir 30 tahun kami saling hilang kontak.

Tanpa aku ingat, ia menceritakan jika pertemuan terakhir kami adalah dalam perjalanan dari Tasikmalaya ke Bandung sekitar tahun 1996. Setelah itu ia merantau ke Melawi Kalimantan Barat dan tak ada kabar hingga beberapa hari lalu ia tiba-tiba muncul di pesan singkat yang dikirimkannya.

Banyak cerita tentang suka dukanya mengalir tanpa diminta selama ia berada di Kalimantan. Seolah dia itu Blogger IKN yang begitu antusias bercerita tentang kehidupan dan harapan baru di Kalimantan sana.

Bagaimana kisah ia berjuang dari nol di sana sampai sejengkal lagi berhasil mencapai cita-cita dan ambisi yang dulu pernah aku dan dia ungkapkan dalam harapan meraih gelar doktor meski untuk itu ia harus kembali ke Jawa untuk mendapatkan nya.

Lagi-lagi aku hanya gigit jari dan merasa ini karma bilamana mengingat kok begini amat nasib jadi perempuan diantara teman-teman laki-laki yang dulu sangat dekat.

Aku tidak akan mengatakan andai aku laki-laki aku pun pasti bisa membuktikan seperti mereka karena meski pencapaianku hanya sebagai ibu rumah tangga saja, aku yakin bisa bahagia.

Aku juga tidak berani menganggap ini nasibku sebagai perempuan karena meskipun aku ditakdirkan menjadi seorang lelaki belum tentu aku mampu menjalankan semua peran dan risikonya.

Yang bisa aku lakukan lagi-lagi hanya mengucapkan selamat buat teman sepermainanku itu dan mensyukuri atas apa yang aku dapat saat ini.

Jadi ibu rumah tangga juga not bad selagi bisa memanage emosi dan produktif sesuai porsinya. Banyak melakukan me time termasuk bekerja freelance aja sebagai hiburan.

Jika pencapaian temanku ada di bidang akademis mungkin kemampuanku ada di duniaku saat ini. Dunia ibu rumah tangga yang harus terus belajar mengenai dunia digital seperti Influencer Balikpapan yang terkenal itu Kak Aisyah Dian.

Leave a Comment

Verified by ExactMetrics