Antara Kota Mati, Kesepian, Ketenangan dan Rasa Khawatir

Sedih rasanya mendengar dan melihat berita di televisi kalau Kota Tua Yerusalem tampak bagai kota mati pada Malam Natal kemarin karena pembatalan sejumlah perayaan Natal akibat masih terus berkecamuknya perang di sana.

Dalam rekaman video jurnalis, terlihat hanya sedikit warga asing yang berada di Bethlehem karena begitu banyak maskapai penerbangan yang membatalkan penerbangan ke Israel dan daerah sekitarnya.

Saya jadi ikut merasakan bagaimana sepi dan kacaunya perasaan warga setempat ketika toko-toko souvenir sebagian besar memilih tutup, adapun yang tetap buka mereka memasang waktu lebih siang, setidaknya itu yang diberitahukan berita pada hari Minggu (24/12). Memang, mau tidak mau pengunjung yang datang memang jadi sangat terbatas.

Seluruh dunia pasti bisa merasakan bagaimana atmosfer tahun ini jauh berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Biasanya ada banyak acara, banyak jemaah yang datang. Tetapi tahun ini sangat sepi karena sangat sedikit jemaah yang datang, dan juga perang yang masih terus terjadi.

Hal senada disampaikan jemaat yang tinggal di Yerusalem. Meskipun ia dengan nada optimis banyak yang mengatakan “misteri Natal adalah harapan”

Di sisi lain Kementerian Kesehatan Palestina di Gaza mengatakan hingga hari Minggu itu lebih dari 20.000 warga telah tewas dan lebih dari 50.000 lainnya luka-luka akibat serangkaian serangan balasan Israel dari darat dan udara terhadap kelompok militan Hamas.

Bagaimana kota tidak kosong dan nyaris jadi kota mati jika sebanyak 85% dari 2,3 juta penduduk di daerah kantong itu terpaksa mengungsi. Semua karena perang yang sudah memporak-porandakan segalanya…

Sepi… Sepi dan kematian yang tidak diinginkan meski sebagian mereka seharusnya tengah gembira dan bersuka cita karena merayakan Natal dan sebentar lagi tahun baru. Namun semua itu tentu saja tetap harus dihadapi. Mereka mungkin tinggal berserah diri saja. Apapun takdir yang akan membawa mereka. Termasuk merayakan hari kemenangan dalam rentetan suara bising senjata yang bisa saja mematikan dirinya.

Antara Kota Mati, Kesepian, Ketenangan dan Rasa Khawatir

Sekitar tiga bulan lagi, umat Hindu pun akan merayakan hari kemenangan. Umat Hindu akan merayakan Hari Nyepi yang dirayakan setiap Tahun Baru Saka.

Nyepi berasal dari kata “sepi” yang berarti sunyi atau senyap. Amati Lelanguan adalah pantangan untuk bersenang-senang saat Nyepi. Pada Hari Raya Nyepi umat diajak untuk menghentikan sejenak segala bentuk kesenangan duniawi agar fokus sembahyang.

Untuk umat Hindu Hari Raya Nyepi telah diperingati sebagai tahun baru umat Hindu berdasarkan penanggalan Saka sejak tahun 78 M. Perayaan Nyepi di Bali memiliki akar dari agama Hindu di India.

Larangan Hari Raya Nyepi yang pertama adalah amati geni. Dalam Bahasa Bali, geni adalah api, sehingga arti dari amati geni adalah tidak menyalakan api, lampu, dan berbagai benda elektronik lainnya selama 24 jam.

Sepi. Kembali manusia dihadapkan pada suasana kota mati. Bedanya pada suasana sepi kali ini ialah sepi dengan diiringi rasa penuh bakti dan fokus pada peribadatan. Sepi yang sengaja diciptakan demi mendapatkan hal baik sesuai dengan kepercayaan.

Kita yang berada di luar kondisi suasana sepi dan kondisi kota mati dengan beda perspektif tersebut mungkin bisa mengambil pelajaran dan hikmah.

Sebagaimana setiap permasalahan dalam kehidupan yang terkadang muncul rasa bosan, jenuh, dan ingin suasana yang berbeda.

Hampir setiap hari mata dan telinga dimanjakan dengan suasana bising dan ramai, mungkin suatu saat jiwa dan raga itu akan memerlukan waktu sepi. Sebagaimana saya, kadang memang sangat merindukan bagaimana suasana TENANG…

Antara Kota Mati, Kesepian, Ketenangan dan Rasa Khawatir

Percaya atau tidak, tapi saya pernah mengalami ketika kejenuhan itu telah memuncak dan bagai bom waktu meledak hingga tak lagi menyisakan keinginan, kecuali ada keinginan dan harapan masih bisa diberikan kesempatan untuk mendapatkan bahwa hadiah termewah yang amat sangat kita idam-idamkan hanyalah ketenangan.

Ketika sekitar tempat saya berada tak mau lagi berisik. Begitu kuat dengan keinginan yang walaupun hanya sejenak untuk bisa menjauh dari orang-orang.

Pernahkah ada gambaran ingin punya pikiran yang tenang?

Beban yang berkurang dari setiap tuntutan bagiku keluarga, maupun pekerjaan

Pernahkah ada gambaran ingin bisa mengurangi sedikit saja drama dari orang sekitar?

Makan ala kadarnya pun tak apa, yang terpenting hati tak lagi ada beban, tak ada banyak tuntutan

Pernahkah berada di titik tidak lagi tertarik dengan penampilan? Tidak lagi peduli dengan status sosial, tidak lagi peduli dengan apapun kata orang. Pokoknya terserah…

Pernahkah?

Hingga tiba pada kondisi pikiran ini mengatakan, cukup yang penting diri kita sendiri dan Allah SWT yang tahu apa yang sebenarnya.

Jika masa itu sudah tiba. Fix, itu tandanya Allah SWT sudah menginginkanmu untuk memperbanyak mempersiapkan jalan (bekal) menuju kehidupan yang sejati. Yakni Kehidupan abadi setelah kematian.

Saya pernah membaca sebuah kisah, jika hati sudah mulai rindu ketenangan. Jangan salah menyikapi dengan mencari ketenangan lewat cara-cara dunia. Itu namanya sama saja dengan salah menerima pesan Sang Pencipta Kehidupan.

Sebab ada sebagian orang di luar sana, karena tak mengenal cara menuju Tuhan yang menciptakan dirinya. Sinyal “Ingin tenang” ini malah diarahkan ke kesenangan (maksiat) sesaat.

Kalau hati sudah begitu ingin tenang, sesuai dengan artikel yang pernah saya baca itu, sebaiknya lakukan 5 hal ini:

Perbaiki penampilan

Karena memperbaiki cara berpakaian, akan menentukan bagaimana keadaan hati. Mulailah berpakaian yang menjadikan kita semakin rendah hati. Hindari pakaian yang memancing munculnya kesombongan.

Mulailah rutin mendatangi majelis ilmu

Karena untuk mendekat kepada Tuhan Yang Maha Pencipta itu membutuhkan ilmu agar tak salah jalan. Pilih guru yang tepat. Karena tak sedikit yang melenceng salah jalan akhirnya malah terjerumus dalam aliran sesat yang justru menjerumuskan dirinya pada hal yang lebih buruk.

Tambahkan waktu interaksimu dengan kitab suci

Karena saya Muslim, maka saya yakin Al Qur’an adalah makanan bagi jiwa saya. Semakin sehat jiwa saya, makin mudah menemukan jalan menuju Allah SWT. Mungkin demikian juga bagi teman-teman yang berkeyakinan lain.

Kurangi kesenangan dunia

Yang jadi sebab matinya hati adalah terlalu cinta dengan dunia. Kurangi kesenangan terhadap dunia, maka pasti lebih mudah tenang hatinya.

Agama apapun saat meninggal, tidak ada harta dunia yang bisa dibawanya. Jangankan mengelola harta dunia, mempertanggung jawabkan diri sendiri saja belum tentu bagaimana jadinya.

Sedikit bicara

Salah satu yang jadi sebab hati kian jauh dari ketenangan adalah banyak bicara. Terlebih yang tidak bermanfaat. Maka sekarang mulailah mengurangi mengeluarkan perkataan yang sekiranya bisa menyakiti perasaan orang lain. Mulai bisa memilih mana perkataan yang membawa manfaat dan kebaikan.

Terlebih saat ini jelang pemilu 2024, banyak pihak yang menggunakan kesempatan untuk menjagokan pasangan calon yang diusungnya. Kita sebagai masyarakat tentu saja berhak memilih, tapi sekali lagi perhatikan apa yang akan kita sampaikan, apa yang akan kita ucapkan, apakah sudah jelas kebenarannya?

Ditambah lagi jika yang dibicarakan adalah fitnah, dusta dan sesuatu tentang aib orang lain. Pasti lambat laun akan jadi sebab tidak tenang nya seseorang. Khawatir karena kita menyampaikan hal yang kebenarannya belum kita yakini, dan khawatir mereka (yang dibicarakan) akan tahu dan menuntut balik.

Antara Kota Mati, Kesepian, Ketenangan dan Rasa Khawatir

Wajar saja jika pada akhirnya memiliki perasaan takut dibalas, takut dimintai tanggung jawab dan ketakutan lainnya.

Bayangkan, jika di dunia saja sudah merasa tak tenang, apalagi kelak di akhirat? Pun belum termasuk dikuranginya pahala yang sudah susah payah dikumpulkan karena tuntutan dari mereka yang telah kita rugikan. Bagaimana jadinya, coba? Bukankah betapa meruginya?

Jadi, antara kota mati, kesepian, ketenangan dan rasa khawatir seperti sudah saya gambarkan di atas, apakah ada pelajaran yang bisa kamu ambil?

29 thoughts on “Antara Kota Mati, Kesepian, Ketenangan dan Rasa Khawatir”

  1. Teh Okti, makasiiii.
    Artikel yg sangat bernas dan sarat faedah.
    beberapa hari ini, aku bingung memahami isi pikiranku, pengin tenang atau uzlah menyingkir dari hiruk pikuk duniawi

    dan aku dapat jawabannya di postingan ini

    Reply
  2. Semakin bertambah usia setelah berkeluarga memang bertambah beban dan tanggungjawab, mbak. Kalau dulu bisa makan ala kadarnya sendiri, sekarang udah nggak bisa. Anak-anak harus dikasih asupan nutrisi untuk menunjang perkembangannya. Harus dijalani, nanti akan ada masanya tenang kembali.

    Btw, Paus di Vatikan juga menyerukan agar Natal tak usah berhura-hura karena kondisi di Palestina dan Israel. Mereka, rakyat sipil dari kedua negara itu, adalah korban. Korban dari konflik pemerintah dan nenek moyang mereka yang tak berkesudahan.

    Reply
  3. Saya pernah mengalami fase dimana hati terasa begitu kosong, lelah teramat sangat dengan pekerjaan, dan merasa sendiri di tengah keramaian. Saat itu memasuki usia 30tahun dan masih sendiri. Akhirnya saya memutuskan untuk satu bulan un-paid leave dari kantor, pergi traveling ke beberapa tempat, tinggal di penginapan yang jauh dari keramaian. Pergi keluar hotel hanya untuk beli buku dan makan. Di dalam hotel saya perbanyak membaca buku tentang mental health, inspiring persons, dan novel-novel ringan, perbanyak ibadah, dan menjauh dari telepon. Pokoknya benar-benar menikmati waktu untuk diri sendiri. Merenung, mengevaluasi diri dan yang penting mendekatkan diri pada Sang Pencipta. Alhamdulillah di bulan berikutnya, fisik dan mental benar-benar siap hidup seperti biasa lagi. Jadi memang, dalam satu waktu, kita tuh butuh keheningan dan masa-masa yang membuat mental kita sehat dan terjaga kewarasannya.

    Reply
  4. Memang mbak.. hanya tuhan yang mampu mengisi jiwa kita, yg bs menenangkan kita. Jangan berharap pada manusia.. aku pernah mbak ada mslh kejiwaan. Dokternya nyuruh aku rajin dtg ke pengajian2, hal2 yg positif gt. Katanya itu yg bs menenangkan.. spt tulisanmu ini…

    Reply
  5. Ada kalanya merasa dunia begitu bising, fan kerap mencari-cari ketenangan. Nah..iya setuju bahwa dgn memperdalam ilmu bisa jadi cara utk menenangkan hati. Sehingga didorong untuk terus membuka meresapi pengetahuan yang ada, dan melihat sekeliling agar lebih memahami betapa besarnya karunia yg sudah diberi

    Reply
  6. Mendekatkan diri pada Tuhan adalah cara terbaik untuk menenangkan diri ya mba. Perbanyak bersyukur, terkadang permasalahan yang ada bikin kita fokus ke masalah jadi lupa bersyukur. Selain memang harus lebih mengurangi hal yang bersifat duniawi dan.. sedikit bicara, itu bener banget.
    Thanks for share mba, ini sangat bermanfaat. Sehat2 dan bahagia selalu ❤️

    Reply
  7. terima kasih untuk artikelnya, karena banyak yang masih mengaitkan peperangan itu dengan agama, padahal kami umat nasrani juga mengecam peperangan itu, karena perang tidak ada yang menang, semua kalah, semua sedih, semua terluka. Saya pribadi, natal ini tidak memasang pohon natal dan mengadakan perjamuan seperti tahun-tahun sebelumnya, lebih mengambil waktu untuk berdiam, berdoa dan meminta hikmat dariNya.

    Reply
  8. Dan lebih banyak menyepi di waktu sepertiga malam terakhir, yang mana ini bisa jadi obat menenangkan pikiran dan jiwa. Semoga kita semua Istiqomah dalam mendawamkan perintah-NYA

    Reply
  9. Hampir 3 th yg lalu saya sempat merasakan mati rasa seperti itu. Kehilangan teramat besar yg sekolah membuat tak ada artinya lagi hidup ini. Sakit rasanya. Membayangkan begitu banyak saudara kita di Palestina sedang merasakan hal yg seperti itu bahkan pastinya jauhlebih parah lagi..hati ini kembali tersayat…

    Reply
  10. mencoba untuk lebih sedikit berbicara saat ini jadi pelajaran berharga di tahun 2023. semoga di awal tahun besok dan seterusnya, saya bisa menuai lebih banyak manis dengan lebih sedikit bicara. thanks bgt pengingatnya mba

    Reply
  11. Membaca artikel ini, sejenak merenungkan kehiduoan selama satu tahun ini 2023, banyak kisah yang sudah dilewati, bersyukur bisa melewati dengan baik, jika dibandingkan dengan saudara-saudara yang berada diwilayah perang. Kita memang perlu lebih mendkatkan diri lagi kepada Tuhan Yang maha esa

    Reply
  12. Semoga kita semua diberikan hikmah dari setiap kejadian.
    Kadangkala, menjadi tenang itu bukanlah masalah usia, tapi masalah kebutuhan jiwa dan kesadaran untuk pengendalian diri serta memikirkan setiap konsekuensi dari segala perbuatan.

    Reply
    • Setuju Teh, siapapun pasti menginginkan ketenangan dalam hidupnya, sehingga bisa menapaki kehidupan tanpa merasa terusik ataupun terpaksa

      Reply
  13. tenang itu mahal harganya ya. berdekatan dengan Sang Pencipta, hakikat letak si tenang ini. Semoga hati kita ditenangkan bahwa Allah tak pernah jauh dan selalu dekat dan teramat dekat dengan orang-orang yang mengingatnya

    Reply
  14. Tenang itu terkadang emmang dibutuhkan yaaa, kemaren pun pas tahun baru rasanya nggak pengen keluar sama sekali karna nggak tau kenapa sedikit terganggu dengan kebisingan, jadi di rumah aja nonton film dengan si hubby hihhi

    Reply
  15. Hakikatnya ketenangan yang saya rasakan ketika dekat dan mengadukan segala sesuatunya kepada-Nya. Apalagi saat sepertiga malam terakhir. rasanya tenang jika curhat dengan pemilik hidup.
    Yak, bukan ketenangan yang pencariannya dengan hal duniawi
    Karena hal itu hanya bersifat tenang sesaat, kemudian akan teringat kembali hal-hal yang mmebuat penat
    Terima kasih untuk artikel nya ya teh

    Reply
  16. Aku senang berteman dengan sepi, tulisannya bikin kita merenung.
    Rasanya hal2 di atas tuh pernah terlewati fase2nga merasakannya, apalagi ketika hal2 pelajaran hidup menerpa, rasanya memang ingin kembali pada kesunyian hanya berdialog denganNya.

    Reply
  17. Hati dan fikiran yang tenang itu memang bikin damai sih, Mbak. Tapi kadang tiap hari tuh ada aja masalah yang datang. Saat sedih, resah, gundah aku baca Al-Qur’an agar hatiku tenang, Mbak.

    Reply
  18. Setuju teh, untuk mendapatkan ketenangan beribadah yang khusyuk insyaallah mendatangkan ketenangan. Sama mungkin bersyukur dengan apa yang didapat juga bisa bikin hati tenang

    Reply
  19. Baca artikel ini jadi inget sebuah kalimat, ketakutan terbesar manusia adalah sepi, dan teman sejati manusia adalah sepi. Dampak dari perang, kota mati dan kehilangan… Sedih rasanya, tapi kenyataan

    Reply
  20. kalau hati sudah ingin tenang, jangan menunggu untuk mendekat kepadaNya, perbanyak ibadah karena kita semua gak ada yang tahu waktu kita sampai kapan.
    dengan banyak ibadah, hati kita akan jadi tenang, pikiran pun juga jadi jernih.

    Reply
  21. Dunia dengan hiruk pikuknya memang terkadang melelahkan. Apalagi ditambah dengan kondisi saat ini, melihat saudara-saudara yang dibantai di sana, rasanya hancur sekali dan nggak kebayang kalau berada di posisi yang sama. Hanya bisa mendoakan dari jauh dan ikut menyuarakan kebenaran. Btw soal ketenangan ini saya setuju, justru salah langkah jika kita mencarinya dengan semakin mengejar dunia karena ketenangan itu pun akan semakin menjauh. Sebaliknya rasa damai dan tenang sejatinya baru bisa kita rasakan jika dekat dengan Tuhan. Ya, hanya dengan mengingat Allah, hati akan tenang.

    Reply
  22. aduh teh, liat feature pic dan judul tuh kok serem nyesek gitu ya. ini reminder sih sebenernya. kadan masih hilap dan tidak mendekat ke Allah. nuhun teh, semoga tahun 2024 ini ibadah makin kenceng dari tahun2 sebelumnya, Aamiin.

    Reply
  23. Tulisan yang bernas dan membuat aku ikut merenung. Tapi memang sih semakin bertambah usia, keinginan yang paling utama yang mendapatkan ketenangan. Makanya setahun terakhir ini aku pun mulai membatasi diri, makin sedikit juga chit chat yang tak terlalu penting. Hanya sesekali, cuma demi grup tak jadi kuburan sepinya… hahaha

    Reply

Leave a Comment

Verified by ExactMetrics