Laptop Tipis Idaman Aktivis

Asus ZenBook UX331UAL: Laptop Tipis Idaman Aktivis

Saya salah satu buruh migran (TKI) korban trafficking alias tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Berkat pertolongan, informasi dan kegigihan teman-teman aktivis buruh sesama warga negara Indonesia, saya bisa keluar dari nasib yang mencelakakan saya itu hingga bisa bekerja, mandiri dan selanjutnya belajar mencari nilai-nilai positif untuk saya bawa ke tanah air.

Tidak bisa saya balas kebaikan para aktivis buruh migran yang sudah secara sukarela mengorbankan tenaga, waktu, pikiran bahkan harta benda mereka saat membantu mengadvokasi kasus saya (dan mereka memang tidak pamrih) kecuali dengan saya kembali bisa membantu sesama para buruh migran lainnya, seperti mereka para aktivis itu dulu membantu saya.

Sepulangnya dari negara penempatan, saya yang sejak berada di negara orang sudah bergabung dengan beberapa organisasi perburuhan seperti IMWU, KOTKIHO, ATKI dan IPIT kemudian bergabung dengan organisasi perburuhan di tanah air seperti Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), Migrant Institute, dan Migrant Care. Jejaring dengan sesama TKI Purna dari luar provinsi pun semakin bertambah.

Bersama duta buruh migran Indonesia Melani Soebono, di acara perburuhan 2018. Dok. Pribadi

Kebetulan, Kabupaten Cianjur tempat saya tinggal termasuk daerah kantong pengiriman TKI ke wilayah Timur Tengah yang saat itu belum ada moratorium. Setali tiga uang dengan daerah Kota/Kabupaten tetangga, Sukabumi. Sudah jadi rahasia umum banyak permasalahan para TKI yang berangkat ke Timur Tengah namun ditutupi oleh pihak yang berkepentingan. Karena itu banyak hak-hak para pekerja yang tidak didapat, bahkan dinikmati oleh pihak yang tidak bertanggung-jawab. Saya bersama teman-teman pegiat buruh migran tergugah untuk mendampingi mereka. Pengalaman saya sendiri bahagianya tidak terkira, ibarat jumpa malaikat manakala sedang terkena masalah lalu ada orang yang dengan ikhlas memberikan bantuan.

Sejak saya pulang dari luar negeri akhir tahun 2011, ada ratusan TKI asal Sukabumi dan Cianjur yang mengalami depresi. Mereka tersebar di berbagai sentra TKI Sukabumi dan Cianjur. Bersama Bu Jejen Nurjanah, Ketua Serikat Buruh Migran Indonesia Sukabumi saat itu, kami blusukan ke pelosok dan pedalaman dalam jangka waktu tidak bisa ditentukan.

Maklum akses transportasi masih sulit, kebanyakan mereka para buruh migran domisili di daerah terisolir dan beberapa aparat desa bukannya membantu, malah justru mempersulit kami.

Mau tidak mau saya dan Bu Jejen harus bolak balik mendatangi mereka para sahabat migran yang bermasalah itu. Khususnya saat ada advokasi bantuan hukum bagi sahabat migran yang depresi atau sakit.

Wefie bersama Menaker RI Khanif Dhakiri setelah acara pemberdayaan TKI dan keluarganya di Yogyakarta. Dok. Pribadi

Tidak sedikit TKI yang terpaksa dipasung karena mengalami depresi berat. Sering mengamuk dan keluarga tidak mampu mengobati. Padahal hak mereka seperti gaji atau asuransi entah berada di mana.

Belum lagi kasus sahabat migran yang mendapatkan berbagai perbuatan tidak menyenangkan, mulai penyiksaan, pelecehan seksual sampai pemerkosaan, hingga berbagai tekanan psikologis lainnya. Seperti sahabat migran yang butuh pendampingan karena shock, saat pulang kampung mendapati keluarganya berantakan, suami menikah lagi sementara uang yang dikirimkan lenyap entah kemana.

Jika bukan kami yang peduli mereka, mau siapa lagi? Karena saat itu beberapa pihak seperti oknum aparat dan PJTKI justru menyembunyikan permasalahan tersebut, seolah ada persekongkolan untuk menyembunyikan masalah para TKI dari keluarga dan masyarakat.

Perlu berhari-hari sampai berminggu-minggu dalam perjalanan pulang pergi saya bersama Bu Jejen blusukan sekadar untuk mendata, memberikan pendampingan dan bantuan seadanya. Akses transportasi yang masih minim mengharuskan kami berangkat subuh, sampai tujuan larut malam. Jika selesai urusan, baru bisa kembali keesokan harinya, itu pun kalau kendaraannya keburu. Kalau tertinggal, terpaksa menginap lagi dan menunggu kendaraan keesokan paginya lagi. Karena saat itu trayek ke daerah yang kami tuju di daerah Cianjur atau Sukabumi bagian selatan hanya ada satu angkutan yang berangkat sekali sehari. Ditambah dengan kondisi jalan yang rusak. Aspal bolong-bolong, batu dan tanah merah bercampur membuat jalan mobil seperti sungai kering. Perjalanan dengan kendaraan serasa sedang dilanda gempa berkepanjangan.

Pengalaman tidak terlupa ketika mendampingi Kokom, mantan TKI asal Desa Cijatu, Kecamatan Jampang Kulon Kabupaten Sukabumi yang menjadi korban penyiksaan hingga lumpuh oleh majikannya di Arab Saudi.

Kokom, salah satu buruh migran yang menjadi korban kekerasan majikan. Dok. Pribadi

Rumah orang tua Kokom berada di bukit yang aksesnya sulit. Turun dari elf kami harus jalan kaki belasan km. Jangankan listrik atau internet, kamar mandi atau toilet saja mereka tidak punya. Saya dan Bu Jejen harus nyari “tempat aman” dalam semak belukar sekadar untuk (maaf) buang air berbekal tisu dan air mineral.

Data, informasi dan foto kasus sahabat migran saya buat rangkap di laptop dan juga catatan buku. Karena selama dalam perjalanan saya tidak tahu kapan bisa jumpa colokan listrik atau ketika komputer sangat dibutuhkan sementara baterai cepat habis.

Kokom yang tidak pernah mendapatkan gaji, padahal selalu mendapatkan penyiksaan dari majikan. Ia menderita lumpuh kaki, mata rusak, dan telinga cacat karena disetrika. Bagaimana bisa kami tega lalu menyerah mendampinginya begitu saja hanya karena ia tinggal di pedalaman Jampang Kulon?

Karena kemanusiaan dan rasa balas budi kami, maka perjalanan berat pun tetap kami lewati. Hingga sedikit membuahkan hasil. Kasus Kokom akhirnya sampai ke Kemenlu RI dan BNP2TKI atas dampingan SBMI.

SBMI bersama BNP2TKI dalam mediasi kasus TKI dok. Pribadi

Moratorium pengiriman TKI Timur Tengah tidak benar-benar efektif. Buktinya, masih ada saja yang diberangkatkan dan itu lewat jalur ilegal. Iya kalau selamat. Kalau kena masalah, bagaimana hak serta perlindungannya? Semua itu pekerjaan rumah bagi kami. Dalam arti tetap harus blusukan lagi berhari-hari. Karena pengiriman pekerja lewat agen ilegal, sistemnya seperti “jual putus”. Diberangkatkan tapi tidak pernah dipantau. Karena itu banyak kejadian pilu yang mengenaskan namun banyak pihak pula yang lepas tangan.

Bersama teman-teman lain, kami terpanggil untuk selalu mengadvokasi para TKI Purna maupun calon TKI agar peduli dengan jaminan pekerjaan, keamanan tempat kerja dan asuransi kesehatan serta hal lainnya. Meski harus lagi dan lagi berkunjung ke pelosok sekalipun.

Bersama sesama aktivis migran, Heni Sri Sundani (Jaladara) pemberdayaan buruh migran di Sleman. Dok. Pribadi

Selama saya blusukan itu barang yang selalu saya bawa adalah laptop Asus pemberian majikan dari Taiwan. Hanya karena model lama dan sistem operasinya masih pakai windows vista tidak heran kalau kinerjanya sudah jauh tertinggal. Punggung yang pegal karena beban komputer saja seberat hampir 4 kg tidak dihiraukan, demi data dan informasi lengkap para sahabat migran yang tersimpan di dalamnya. Meski jadul, laptop yang dibeli majikan tahun 2009 itu jadi alat komunikasi kami satu-satunya baik online maupun offline.

Si Dukun alias laptop Asus kenangan dari Taiwan yang selalu menemani blusukan saya ke berbagai daerah

Ada laptop yang lebih ringan dan kecil, Asus notebook EeePC 1015CX. Tapi tidak saya bawa karena baterainya harus standby di colokan listrik alias baru bisa nyala kalau ada sumber listrik. Kalau dipaksakan dibawa saat mengadvokasi para buruh migran sama juga bohong, mending kalau ketemu listrik, kalau tidak? Boro-boro untuk ngeblog, untuk membuka data informasi saja tidak bisa.

Ketika teknologi semakin berkembang dan laptop mengalami perbaikan sana-sini sehingga terus bermunculan laptop baru dengan spesifikasi yang mumpuni, terpikir ingin mengistirahatkan laptop lama dan menggantinya dengan laptop Asus ZenBook UX331UAL.

Kenapa Mendadak ZenBook UX331UAL?

Laptop super tipis idaman setiap aktivis

Kenapa harus ZenBook UX331UAL? Karena laptop ini tipis dan ringan. Daerah kantong pengiriman TKI lebih banyak di pelosok, ini mewajibkan saya harus jadi traveler, backpacker sekaligus porter (tukang bawa barang). Saat mengunjungi Kokom pertama kalinya di Jampang Kulon, bukan hanya keperluan pribadi saya saja yang saya bawa, tapi juga sembako, dan barang keperluan di desa lainnya yang pasti dibutuhkan selama berhari-hari di sana.

Saya dan Bu Jejen tahu Kokom berasal dari keluarga kurang mampu. Kedatangan kami jangan sampai menjadi beban mereka. Paling tidak selama kami di sana, makan dan keperluan lain kami yang menanggung. Jauh ke pasar, sulit memenuhi kebutuhan membuat perjalanan saya dan Bu Jejen mirip orang mengungsi atau mau pindahan.

Jika dengan komputer jadul beban hampir 4 kg itu untuk laptop saja, maka jika saya pakai ZenBook UX331UAL punggung ini akan terasa lebih ringan. Kekosongan yang ada bisa saya pakai untuk membawa air mineral, atau logistik penting lainnya.

ZenBook UX331UAL berukuran 13 inchi beratnya hanya 985 gram. Tebalnya 13.9mm, memberikan jaminan kalau laptop ini laptop paling tipis, ringan, dan ringkas. Dengan bingkai NanoEdge menawarkan sepenuhnya kalau ZenBook UX331 adalah teman blusukan para aktivis kemanapun pergi mengadakan advokasi.

Produktivitas dan kinerja

Selain desainnya yang ringkas dan ultraportabel, ZenBook UX331UAL memiliki kinerja yang luar biasa. Dengan kecanggihan Prosesor Intel® Core™ i5 Generasi ke-8 yang tidak diragukan lagi ke-supercepat-an nya, RAM 8GB sangat leluasa, dan SSD 256GB PCIe® bikin pekerjaan lancar dan cepat kelar.

Ketika kami harus berkomunikasi terkait permasalahan buruh migran dengan jejaring organisasi buruh di luar negeri, atau pihak terkait di ibu kota, bahkan di luar provinsi menggunakan video call baik lewat Skype maupun aplikasi lain, system audio Harman Kardon yang dimiliki ZenBook UX331UAL memberikan suara imersif yang kencang, jernih dan kuat. Meski berada di pedalaman sekali pun selama ada koneksi. Hal ini sangat mempermudah urusan dan bisa memangkas birokrasi.

 

Daya tahan baterai

ZenBook UX331UAL diciptakan untuk generasi milenial yang memiliki gaya hidup multitasking. Baterai lithium-polymer 50Wh yang dirancang khusus untuk ZenBook menawarkan kebebasan pemakaian baterai sepanjang 15 jam per hari. Selama kami berkunjung ke daerah yang susah bertemu colokan pun, paling tidak selama blusukan kami masih aman membuka laptop sekadar membuat data atau menyimpan dokumen. Syukur-syukur berjumpa colokan listrik di balai desa atau warung makan, jadi saya bisa sekaligus buat tulisan dan update blog.

 

Pasword Windows Hello

Setiap bepergian pasti bertemu lingkungan baru, suasana baru juga orang baru. Kita tidak tahu bagaimana isi hati manusia meski wajahnya super ramah. Apalagi jika berhadapan dengan kasus TKI yang keluarganya tidak semua menyetujui kami bantu. Meski tidak bisa menuduh, tapi kejadian berkali-kali file foto atau rekaman percakapan yang kami perlukan hilang terhapus sudah sering kami alami. Untungnya masih bisa kami cari diam-diam di folder sampah. Meski wajah (pura-pura) gelisah tapi hati tenang dan otak menginstruksikan kudu lebih waspada menjaga semua data.

Tidak mungkin kami menyembunyikan laptop, atau menolak warga yang mau ngobrol dan diskusi bersama. Tapi yang harus kami lakukan adakah bikin laptop aman seaman-amannya. Caranya? Bikin tidak sembarang orang bisa buka komputer kerja kami. Kalaupun saya harus menggunakannya, tidak harus menunggu loading lama…

ZenBook UX331UAL memiliki akses kecepatan luar biasa dengan sensor sidik jari yang ada di touchpad dan Windows Hello-nya. Atau cukup dengan menyodorkan wajah, akses ke windows langsung terbuka. Hemat waktu dan hemat daya, bukan?

Kami tidak lagi harus ngisi kata sandi setiap kali masuk (dan itu bisa jadi diintip orang) di ZenBook UX331UAL cukup tekankan ujung jari saja, atau setor wajah, aman. Cepat, praktis dan tidak akan diplagiat orang, itu yang kami butuhkan.

 

Keyboard

Meski ngetik memakai 11 jari (dua telunjuk, maksudnya) tapi siapa tidak mau kalau saat mengetik difasilitasi berbagai kenyamanan?

Cianjur bagian Selatan sering terjadi listrik mati. Keahlian menulis eh mengetik dalam gelap mau tidak mau harus dimiliki. Kalau ZenBook UX331UAL dilengkapi dengan keyboard backlit, terbayang senangnya bisa bekerja tidak lagi harus menunggu terang. Tengah malam atau subuh, jari tangan tidak akan “nyasar” karena selain designnya dibuat nyaman, ukuran keyboard pun penuh. Tidak sabar saya ingin merasakan mengetik dalam segala kondisi pencahayaan. (Duh, maaf PLN, bukan saya menantangmu, hehehe!)

Tapi memang benar, mahakarya ergonomi ini patut disukuri oleh pengguna Asus. Jarak penekanan tombol keyboard 1,4 mm, bikin bekerja eh mengetik semakin optimal. Dukungan teknologi palm-rejection-nya mendukung gerakan multi-jari dan tulisan tangan. Saya orang desa yang gaplek jelas ingin sekali merasakannya.

SPESIFIKASI ASUS ZenBook UX331UAL

**

 

Alhamdulillah kian hari seiring dengan berjalannya moratorium dan gencarnya sosialisasi TKI Prosedural, permasalahan buruh migran di daerah mulai berkurang. Fokus saya dan teman-teman sekarang lebih banyak kepada pemberdayaan. Sosialisasi kepada TKI Purna supaya bisa berdaya dan mandiri di negeri sendiri.

Pemberdayaan TKI Purna bersaman Keluarga Migran Indonesia (KAMI) di Yogyakarta. Dok. Pribadi
Di acara pelatihan dan pemberdayaan TKI dan keluarganya, Turi Sleman Januari 2018

Bergabung bersama Keluarga Migran Indonesia (KAMI) mengharuskan saya lebih banyak beraktivitas ke luar provinsi, Jawa bagian Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur tepatnya. Saat itulah laptop idaman kembali diperlukan. Laptop super tipis ini sudah tidak diragukan lagi jadi idamannya para aktivis. Supaya aktivitas semakin maksimal dan hidup semakin produktif, bermanfaat untuk orang lain. Insyaallah. Amin.

 

17 thoughts on “Laptop Tipis Idaman Aktivis”

  1. Pengalaman menjadi guru bagi kita ya teh, turut prihatin dengan keadaan buruh migran yang sering kali menjadi korban traficking dan sistem.

    Btw, iya teh saya pernah megang dan mengangkat laptop Zenfone ux331ual itu teh, beneran ringan dan tipis banget. Pas buat teteh yang mobile kemana mana sebagai aktivis buruh migran. Barakallah teh. Sukses selalu ya

    Reply
  2. Semoga laptop idamannya segera menjadi kenyataan ya Mbak biar lebih mudah dalam membantu keluarga TKI yang menjadi korban majikannya. Tetap semangat Mbak, niat baik insyaallah akan berbuah manis.

    Reply
  3. Wah kasian sekali ya Mbak Kokom. Kalau menurut saya perempuan itu harus berpendidikan tinggi, biar wawasanya lebih luas dan lebih mudah dapet kerjaan, jadi gak jadi TKI meninggalkan sanak saudara

    Reply
  4. Wah…saya pengen juga punya laptop ini mbak. Mumpuni sekali ya dan tahan banting. Emang cucok nih buat kita2 yg suka berpetualang kemana2…karena emang harus kerja sambil terbanting banting… hehehe

    Reply
  5. Saya selalu sedih jika mendengar kasus penyiksaan TKI, seandainya akses pendidikan untuk perempuan setara dan merata, senadainya lapangan pekerjaan terbuka bagi para perempuan di negara ini, ah banyak lagi seandainya yang membuat saya berpikir para perempuan tidak harus bekerja sampai keluar negeri untuk mencari nafkah, kagum dengan Teh Okti dan para relawan lainnya yang begitu peduli dan mau mendampingi mereka

    Reply

Leave a Comment

Verified by ExactMetrics