Curhat di Status: Yes or No?

Buka ponsel di tanggal 4 Desember 2022 ini muncul notifikasi pribadi (karena postingannya digembok alias privacy) tiga belas tahun lalu. Kenangan saya menerima pertemanan dari seorang teman asal Cirebon di sosial media.

Kenangan 4 Desember 2009 itu muncul di beranda. Mengingatkan saya pada dia yang sekarang entah dimana. Semoga saja kabarnya baik.

Notifikasi seperti itu hampir setiap hari saya lihat. Ada yang statusnya publik, ada yang pribadi. Senang rasanya selain bisa mengingat semua kenangan yang hampir terlupakan, juga bisa mengetahui hal atau kegiatan apa saja yang saya lakukan.

Rasanya sangat beruntung sejak membuka akun itu saya selalu bikin status di sana. Yah, walau isinya cuma curhat, tapi kerahasiaannya juga ternyata cukup terjaga.

Meski awalnya ragu mau menuliskan pengalaman atau kejadian yang dialami di sana. Tapi sekarang ternyata saya malah menyadari sepertinya ini lebih baik daripada menuliskannya di buku diary.

Saya yakin jika saya saat itu tahun 2009 saya menulis di buku diary entah apakah masih ada buku fisik diary tersebut atau justru entah dimana… Mengingat sepulangnya dari rantau, saya beberapa kali pindah dan saat kehilangan banyak hal penting. Entah karena cuaca, lalai dalam perawatan, atau hal lain yang di luar perkiraan.

Beda saat dengan mengabadikan tulisan itu di sosial media online. Saya yang justru melupakan nya, malah diingatkan! Dan itu insyaallah aman. Buktinya sampai sekarang tulisan status yang saya atur setingan publiknya menjadi pribadi, gak akan ada yang tahu atau bisa baca oleh pihak lain. Kecuali orang lain memang melihatnya dari akun saya.

Tiga belas tahun lalu saya masih bekerja di Taiwan. Jika saya masih menulis diary pada buku secara fisik, tidak bisa menjamin apakah sampai saat ini diary itu masih bisa dibaca? Apakah tinta ballpoint yang dipakai yakin tidak luntur?

Jaman mungkin sudah berubah. Seiring dengan terus berkembangnya informasi dan teknologi cara pandang dan sikap manusia juga dituntut untuk bisa mengimbanginya. Termasuk soal menulis buku harian yang awalnya pada lembaran kertas beralih ke media online, yang semakin hari semakin banyak ragamnya.

Curhat di status, setuju gak sih?

Saya sih setuju saja. Dan sudah saya lakukan itu sejak tahun 2009, tahun pertama kali dimana saya mengenal internet, blog, sosial media dan media online lainnya.

Emang aman curhat di media digital? Gak malu dibaca banyak orang?

Ya tentunya kita harus bisa menyesuaikan dong. Buat curhat di status bukan berarti umbar aib sendiri di depan umum. Disini kita harus tahu pengaturan secara maksimal supaya saat menggunakannya tidak kecolongan. Buat status sekiranya tidak baik dikonsumsi umum, Maka atur publikasinya menjadi privacy. Sehingga hanya orang tertentu saja yang bisa minat atau membaca, atau hanya untuk dilihat saya sendiri aja?

Saya sendiri tidak terlalu memikirkan medianya. Buat saya yang penting peran dari media itu. Mau fisik atau digital, yang penting keduanya harus bisa berperan penting dalam menyimpan kenangan, atau catatan pengalaman hidup yang saya alami pada setiap harinya dengan aman.

Sehingga kelak bisa jadi manakala saya terpuruk, sedih atau memiliki rindu dan masalah secara pribadi bisa kembali membuka catatan atau rekaman itu untuk obat sekaligus pembelajaran.

Memang semua ada kelebihan dan kekurangannya. Bijak menggunakannya itu yang menjadi kunci apakah kita bisa menerima kemanfaatannya atau justru akan mendapat kemudharatannya…

Jika diary berupa buku fisik bisa rusak, atau hilang, dan semua kenangan kita pun akan ikut raib, bukan berarti menyimpannya dalam jaringan internet, seperti blog, sosial media dan atau media online lainnya akan seratus persen aman. Karena saya pun pernah menyimpan banyak kenangan di sebuah blog tetapi harus hilang semua tanpa sisa gara-gara penyedia blog tersebut tutup.

Atau bisa saja akun sosial media kita juga kena banned sehingga sama sekali tidak bisa kita akses. Bukankah itu juga sama dengan kita kehilangan buku (fisik) diary?

Jika curhat di buku fisik dan media online masih ada kelebihan dan kekurangannya, maka fix, bagi saya tidak diragukan lagi tempat sebaik-baiknya untuk curhat hanyalah kepada Nya, di atas sajadah setelah melakukan kewajiban.

8 thoughts on “Curhat di Status: Yes or No?”

  1. Jadi teringat teh setiap hari diingatkan fesbuk tentang kenangan. Kadang baca kenangan pas masih akhir kuliah bikin tersenyum geli. Ternyata pernah alay. Tapi ya kalo gak gitu gak ada rasa “ooh ternyata aku sudah dewasa” Jadi harus lebih bijak lagi saat nulis status curhat.

    Reply
  2. Kadang bagi para emak2 dan ciwi2 curhat memang melegakan ya.

    Tapi memang harus hati-hati juga jangan sampai media curhat kita kurang aman dan malah membuat lebih kisruh dan bikin ruwet masalah yang awalnya simpel.
    Terutama masalah keluarga.

    Reply
  3. Sampai sekarang saya berusaha dan membiasakan diri untuk curhat menadahkan tangan dan berdoa kepadaNya.. saya juga mengajak anak anak utnuk berbuat hal yang sama. karena “Hanya kepadaMu aku menyembah dan hanya kepadaMu aku meminta pertolongan”.. Alhamdulillah biasanya sesudah itu terasa agak lega..

    Reply
  4. Ah iya betul, kalau di Facebook bisa di-setting privat ya jadi buat pembelajaran kita saja. Di blog pun bisa, di-setting privat, blog yang masih gratisan tentunya. Kalau blog domain berbayar sayang ya hehe.

    Reply
  5. Aku sih setuju-setuju aja curhat di status. Namun, sebagai manusia, kita harus pandai membatasi diri. Mana yang layak kita sharing, dan mana yang sebaiknya disimpan sendiri. Tidak semua curhatan online kita berguna bagi orang lain.

    Reply
  6. Jadi ingat tahun 2008 muncul Facebook awal-awal, saya suka posting apapun bahkan hal yg receh sekalipun. Memang diary tak harus berbentuk buku ya mbak, skrng mungkin ada diary digital

    Reply
  7. Sampai saat ini, kalau masalah pribadi sekali, saya tidak pernah curhat, Mbak. karena itu bagian dari rahasia pribadi saya yang hanya saya yang tahu dan hanya bisa curhatnya ke Allah SWT. Tapi semua kembali pada pribadi masing-masing.

    Reply

Leave a Comment

Verified by ExactMetrics