Pemberdayaan (TKI Purna) Perempuan: Oleh dan untuk Buruh Migran Beserta Keluarganya

Tulisan ini saya buat, setelah menerima banyak pertanyaan terkait human trafficking. Ya, beberapa hari lalu saya akhirnya bercerita kalau saya pernah jadi korban human trafficking saat bekerja sebagai TKI di luar negeri. Masalahnya karena terbatasnya tempat untuk menulis di Instagram (dimana saya bercerita) maka saya hanya mengulas bagian intinya saja.

Karena itu wajar kalau banyak teman-teman yang bertanya, “Lho Okti kok kamu korban trafficking? Emang bagaimana ceritanya?” Semua penasaran karena trafficking di media dan berita itu identik dengan kriminal. Ya, human trafficking kan pada intinya perdagangan orang. Apakah saya diperjual belikan? Tidak sejauh itu sih bahasanya. Apalagi di dunia perburuhan, yang terindeks human trafficking itu lebih meluas.

Copas info Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam salah satu dari 3 Protokol Palermo mendefinisikan Human Trafficking sebagai perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan atau penerimaan seseorang, dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk lain dari pemaksaan, penculikan, penipuan, kebohongan, atau penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau memberi atau menerima pembayaran atau memperoleh keuntungan agar dapat memperoleh persetujuan dari seseorang yang berkuasa atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi. Eksploitasi termasuk, paling tidak, eksploitasi untuk melacurkan orang lain atau bentuk bentuk lain dari eksploitasi seksual, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik-praktik serupa perbudakan, perhambaan atau pengambilan organ tubuh.

Seperti pemalsuan data, data TKI atau job kerja. Nah, mungkin pada bagian pemalsuan data dan eksploitasi kerja ini yang saya alami selama belasan tahun bekerja di luar negeri.

Karena data dan job tidak benar ini maka saya mendapat perlakuan semena-mena baik dari majikan, agency, bahkan sampai perwakilan pemerintah sendiri. Tapi itu dulu ya, karena sekarang saya yakin semua sudah lebih baik.

Mengikuti pelatihan paralegal biar pengetahuan terkait buruh migran makin dalam

Tapi saya tidak jelaskan detail terkait apa yang saya alami saat menjadi korban trafficking ini,  sekali lagi karena keterbatasan tempat di Instagram tempat saya menceritakannya. Dan sejujurnya saya juga sudah memotong banyak cerita yang saya publish di Instagram itu. Karena sebelumnya saya sudah membuat draft. Ternyata draft tulisan terlalu panjang, hahaha….

Selain itu foto saya nya susah dicari. Maksudnya selama melakukan pemberdayaan kepada perempuan desa, saya jarang foto karena selama acara pemberdayaan buruh migran justru saya yang suka jadi tukang foto. Jadi foto yang saya setorkan pun, harus saya cari dulu setengah mati, diantara ribuan foto lainnya siapa tahu ada saya yang terselip. Foto lainnya, itu hasil ambil dari media sosial, saat teman-teman kebetulan mentag saya. Maaf bila tak saya sebutkan hasil foto siapa. Siwer. Ini pelajaran juga kedepannya buat saya, kalau ada acar sempatkanlah ikut foto, bukan fotoin orang terus, hihihi…

Nah tulisan asli saya sebelum diedit dan dipotong di Instagram itu seperti berikut:

Saya mantan buruh migran belasan tahun. Mulai lulus sekolah tahun 1999 sampai pulang ke Indonesia akhir tahun 2011. Selama bekerja di Singapura, Hong Kong dan Taiwan saya menjadi korban perdagangan manusia alias human trafficking. Tidak hanya itu, saya juga pernah mengalami kekerasan oleh majikan, agency dan masuk pengadilan tinggi di Keelung Taiwan karena kasus potongan gaji.

Dalam ranah dunia media sosial saya juga pernah jadi “bulan-bulanan” pejabat perwakilan pemerintah RI karena bersama teman aktivis buruh dari Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia pernah membongkar dan mempublikasikan “kasus” pembengkakan biaya perpanjang paspor dan atau ganti buku paspor. Buruh migran “seangkatan” saya di Taiwan pasti ingat kejadian ini ya 🙂

Saya hanya perempuan desa yang tidak mengenyam sekolah tinggi. Saya berasal dari keluarga kurang mampu di pelosok Kabupaten Cianjur tapi punya keinginan untuk maju. Hanya modal keberanian yang akhirnya membawa saya jadi buruh migran alias tenaga kerja wanita (TKW).

Saat mayoritas perempuan Cianjur memilih Timur Tengah menjadi negara tujuan penempatan saya justru memilih kawasan Asia Pasifik sebagai tempat bekerja, belajar dan terus mengupgrade diri. Suka duka hidup di negara orang dengan status korban trafficking sudah kenyang saya rasakan. Mulai dari gaya hidup, pola hidup sampai adat istiadat dan kebiasaan semua saya jadikan sebagai  pembelajaran hidup.

Bersama teman yang menjadi korban pemalsuan data di Hong Kong

Sepulangnya dari merantau teramat sedih ketika menyaksikan saudara serta tetangga di kampung yang sama-sama telah menjadi TKI kehidupannya bukan membaik melainkan semakin sengsara. Ada yang harta bendanya habis entah kemana, ada yang rumah tangganya berantakan, ada yang anak-anaknya terlantar bahkan bermasalah dan bahkan ada si mantan buruh migrannya itu jadi stress dan gila.

Di Cianjur yang mayoritas TKW nya (maaf) berpendidikan rendah banyak mengalami penindasan dan ketidakadilan. Entah hak pekerja saat berada di luar negeri, hak asuransi saat terjadi kecelakaan kerja, sampai kepulangan di bandara negara sendiri.

Pola hidup konsumtif, gengsi yang tinggi dan kurangnya pemahaman terkait informasi yang benar membuat calon buruh migran, para buruh migran maupun mantan buruh migran punya pola pikir yang tumpul dan pendek. Gali lobang tutup lobang. Pulang dari luar negeri bekal habis, ngutang lagi, berangkat lagi ke luar negeri buat bayar hutang, terus menerus demikian. Melihat orang berhasil  jadi TKI warga ikut-ikutan jadi TKI tanpa memikirkan baik serta buruknya. Tanpa dicari kebenarannya prosesnya resmi atau ilegal.

Sosialisasi TKI Prosedural di Purwokerto bersama Siti Allie

Akhirnya banyak yang menjadi TKI secara non prosedural. Banyak yang tertipu oleh calo. Banyak keluarga terlantar karena kaum perempuan berbondong-bondong berangkat ke luar negeri. Ngeri dan prihatin melihat anak-anak tidak terawat dalam asuhan ayah atau nenek mereka, atau anak yang jadi korban perceraian orangtuanya.

Saya yang sudah mengalami bagaimana jadi TKI korban trafficking  merasa halus segera berbuat supaya tidak terulang lagi dan lagi peristiwa menyedihkan ini. Baiklah jadi TKI memang satu-satunya pilihan tapi paling tidak jadilah TKI yang legal. Jadi TKI cukup satu atau dua kali saja untuk cari modal. Setelahnya buka usaha di kampung. Syukur-syukur bisa membuka lapangan pekerjaan buat yang lain.

Awalnya memang sulit. Apalagi pola pikir dan cara pandang keluarga serta tetangga kampung masih jauh dari keterbukaan dan modern. Banyak calo atau sponsor yang seharusnya dilaporkan tapi dibiarkan saja karena alasan masih terikat keluarga. Malah di Cianjur banyak yang ambil jalan diam saja dengan dalih tidak punya biaya untuk menggugat. Sudah pulang dengan selamat saja masih untung. Begitu katanya…

Namun pelan-pelan dan yakin saya terus menerus memberikan informasi apa yang saya ketahui kepada mereka yang belum tahu. Khususnya kepada para perempuan desa.

Berbuat sendiri ternyata cukup sulit dan merasa tidak ada hasil. Untuk menjangkau area yang lebih luas, saya ikut dan aktif mencari informasi terkait dunia buruh migran dari beberapa organisasi perburuhan dalam maupun di luar negeri. Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), Migran Care, Migran Institute, Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia (ATKI), Jaringan Buruh Migran (JBM) dan organisasi lain banyak membantu saya mendapatkan info terbaru tentang buruh migran dan pemberdayaan para TKI Purna (mantan buruh migran).

Sampai terbentuk perkumpulan Keluarga Migran Indonesia (KAMI) atas inisiasi Migrant Institute untuk pemberdayaan kepada kaum perempuan khususnya para buruh migran dan keluarganya semakin meningkat. Bersama teman-teman sesama mantan TKI saya menjadi paralegal, ikut membantu para buruh yang bermasalah semampunya dan bantu memberikan advokasi, pelatihan, seminar terkait ketenagakerjaan, sharing wirausaha dan pemasaran produk hasil karya para anggota KAMI.

Puncaknya pertemuan keanggotaan KAMI yang sudah mencakup wilayah Provinsi Jabar Banten, Jateng, Yogyakarta dan Jatim ini adalah adanya kongres para buruh migran yang biasa diselenggarakan setiap akhir tahun. Selama ini sudah 5 kali kongres. Dan pada setiap kongres diketahui jika cakupan pemberdayaan anggota KAMI semakin meluas bertambah di setiap kota dan kabupaten.

Semua ini tercapai tentu saja berkat dukungan organisasi perburuhan dan beberapa pihak seperti Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), Kementerian Tenaga Kerja, bank konvensional, dan organisasi atau LSM lainnya.

Pemberdayaan perempuan khususnya para buruh ini sangat penting. Supaya meski hanya jadi seorang buruh, namun bisa jadi buruh yang pintar, cerdas dan tahu mana hak serta kewajibannya. Tidak hanya itu, dengan pelatihan dan sharing ilmu usaha, para buruh perempuan juga bisa membuka usaha kecil-kecilan sendiri di kampung dengan memanfaatkan potensi dan kemampuan. Sehingga perempuan bisa punya usaha dan penghasilan sendiri. Karenanya bisa mengurangi ketergantungan jadi TKI apalagi saat moratorium seperti sekarang.

Bersama Endang Majalengka dan Krishna Adi Banyuwangi

Soal pendidikan anak dan kesejahteraan keluarga juga sering dibicarakan. Supaya saat bekerja, anak tidak terlantar perkembangannya, gizi serta nutrisinya dan anak merasa tidak kehilangan orangtua sehingga tumbuh kembang dan pergaulannya normal. Begitu juga dengan pelatihan dan permodalan usaha yang diberikan baik oleh pemerintah maupun perbankan dapat menanamkan kepercayaan diri kepada para perempuan bahwa jika bisa berdaya di lampung, kita tidak harus merantau jauh ke luar negeri.

melakukan hal terkecil sekalipun demi perbaikan wajah Buruh Migran Indonesia, khususnya pola pikir dan cara pandang kaum buruh migran dengan pemberdayaan buruh migran perempuan

 

8 thoughts on “Pemberdayaan (TKI Purna) Perempuan: Oleh dan untuk Buruh Migran Beserta Keluarganya”

  1. Teh okti,maaf mo tanya…maksudnya menjadi korban traficking itu semacam bagaimana ya? Dulu di perumahan sy,banyak ART yang keluar dan memilih menjadi TKW karena kata mereka uangnya lebih menggiurkan,padahal majikan di sini lebih sabar dan sangat perhatian.namun karena sudah menjadi pilihan mereka pada akhirnya majikan mereka disini melepaskannya.

    Reply
    • saya korban human trafficking itu korban perdagangan orang Mbak.
      Lebih detail bisa gugel terkait trafficking 🙂

      Maaf tulisan ini belum slesai, hahaha… biasa listrik keburu mati. saya edit lagi ya…

      Reply
      • Teh.. Mw nanya2 boleh kan terkait dengan pemberdayaan mantan buruh migran… Saya sdang study tentg itu.. Klo boleh mohon wa k no saya… Bnyak yg saya ingin tw terkait hal tersebut…
        Oh iya… Saya mahasiswa fak hukum jember…

        Reply
  2. banyak hal yang harus disiapkan supaya buruh migran tetap sejahtera kahir batin ya teh..
    selain menertibkan pihak2 yang menangani proses perekrutan dan penerimaan buruh migran
    juga individu harus siap mental, dikuatkan agar hasil kerjanya nanti bisa dijadikan modal untuk hidup lebih baik, jangan hanya untuk foya2

    Reply
  3. Saya pernah dengar cara si calo itu ajak pergi ke luar negerinya dadakan. Padahal ga ada pelatihan, bahkan calon TKW ga bisa bahasa Inggris atau bahasa di negara tujuan. Kalau ada kasus seperti ini bisa segera lapor ke mana ya? Migran Care? Atau ada hotline dari pemerintah?

    Btw theme yang ini kurang mobile friendly, fotonya terpotong kalau dibuka dari HP

    Reply
  4. Saya pernah liat berita di tv mengenai pembahasan diatas , dan yang bikin sedih ada juga yang masih dibawah umur dijadikan pekerja disana. mungkin karna rayuannya besar kali ya teh jadi pada berminat, padahal mah di sana nya bakal sengsara. Harusnya dari pemerinta langsung turun tangan mengenai calon TKW/TKI biar resmi bekerja di negara orang.

    Reply
  5. hai apa kabar nih?
    Cerita penggalaman sikit waktu di Hongkong, jadi ingat aq juga salah satu Tki tak punya kerja tetap disna. tapi aq udah berumahtangga sm orang pakistan, syukur sekarang udah punya anak 2. aq slalu berusaha cr jalan untuk masalah ekonomi keluarga,
    Wassalam

    Reply

Leave a Comment

Verified by ExactMetrics