Mata Kuliah Manajemen Keuangan dari Majikan

Singapura, Hong Kong dan Taiwan menjadi negera yang penuh sejarah bagi perjalanan hidup saya. Krisis moneter tahun 98/99 sekaligus runtuhannya rezim orde baru yang menyebabkan kondisi dalam negeri begitu sulit mendapatkan pekerjaan –jangankan mendapatkan, yang sudah bekerja saja diphk masal—membuat saya nekat pergi untuk menjadi TKI demi bisa memperpanjang kehidupan.

Tahun 2000 ketika pertama kali menginjakkan kaki di negara orang tidak semudah yang dibayangkan, meski tak semenakutkan yang dibicarakan mereka, para TKI yang dikembalikan ke penampungan. Cerita mereka yang dipulangkan kan begitu serem. Dan konyolnya banyak yang mempercayai. Kecuali saya, karena saya pikir, gak mungkin mereka dipulangkan kalau tak ada masalah (kasus) berat. Bukankah pengirim tenaga kerja juga gak mau rugi? Bukankah ongkos tiket, biaya makan dll itu pakai uang?

Meski saya nol pengalaman, bahasa hanya sekadar paham dan belum bisa berkomunikasi dengan lancar (sekalipun bahasa Upin Ipin alias Bahasa Melayu) tapi saya yakin, sebagai buruh migran yang legal saya punya kekuatan tersendiri.

Benar, ketika job kerja di luar kontrak, saya mungkin terbilang nekat ngomong ke majikan hingga saya dikembalikan ke agency. Sampai nginap di salah satu rumah pekerjanya karena sekian hari masih belum juga mendapatkan majikan pengganti.

Tapi ada hikmahnya juga. Rumah yang saya tempati berada di Yishun, bagian Utara Singapura. Sementara kantor yang menjadi agency majikan berada di pusat kota. Jadilah setiap hari saya pulang pergi jalan-jalan naik MRT. Berasa keren, secara tahunn 2000 bisa naik MRT ibarat mimpi.

Dipulangkan ke agency bukan sebuah aib, pun misalkan dikembalikan ke penampungan di tanah air, jika kita berada dalam koridor kebenaran. Bahkan sebenarnya agency maupun majikan rugi besar kalau harus memulangkan tenaga kerja ke Indonesia, jika memang tidak memiliki kesalahan fatal, seperti TKI itu mencuri, atau kena kasus berat lainnya.

Dua tahun di Singapura cukup membuka mata hati saya jika bekerja sebagai TKW tak serendah yang sering digunjingkan tetangga. Rasa penasaran dan jiwa petualang saya malah semakin terpompa untuk kembali mendapatkan pengalaman baru.

Dengan proses mandiri, saya dilepas derai air mata ibu dan adik untuk kembali bekerja ke Hong Kong. Awalnya mau langsung ke Taiwan, tapi saat itu pengiriman tenaga kerja ke Taiwan sedang tutup. Banyak yang menyarankan Hong Kong bisa jadi pilihan. Cuss… Bersama teman di penampungan yang sudah akrab bahkan sudah saling menganggap seperti saudara akhirnya kami berangkat.

Kontrak kerja di Hong Kong tidak memiliki kendala. Kalaupun ada masalah saya bisa menyelesaikan dengan pihak bersangkutan. Yang ada saya semakin banyak teman, banyak tahu dan banyak mencoba…

Di Hong Kong ini masa muda saya benar-benar diuji. Tidak munafik, saya bergaul dengan banyak kalangan baik itu sesama buruh migran, sesama tenaga kerja asing, bahkan sampai warga lokal.

Kelakuan dan sifat mereka memberikan saya banyak ilmu dan wawasan, baik yang positif maupun yang negatif. Tahu sendiri, Hong Kong negara yang bebas. Mau jungkir balik atau bergaya apapun selama tidak merugikan pihak lain dan tidak menganggu ketertiban, tak masalah.

Dan saya yang selalu penasaran, mencoba masuk ke semua kondisi itu. Tentu saja dengan disertai iman dan taqwa. Karena meksipun saya suka main ke Neptune di Admiralty, tapi saya juga tidak lupa untuk ikut kajian bersama Pak Muhaimin di Masjid Ammar and Osman Ramju Sadick, Wan Chai.

Merasa hidup dalam kebahagiaan yang semu dan tiada ujungnya saya menyudahi bekerja di Negeri Bertabur Dollar itu dengan niat memulai dari awal ke negara Formosa alias Taiwan.

Cukup percaya diri memulai kerja di Taiwan meski pada kontrak kerja pertama langsung kena kasus pekerjaan di luar job yang tertera pada kertas kontrak kerja.

Majikan saya yang seorang janda, justru banyak membantu di masa-masa sulit saya ketika pertama kali masuk lingkungan tempat kerja seperti menolong membeli simcard, membela saya ketika agency justru menyalahkan saya yang katanya ribet ga mau sabar, dan memberitahu mana makanan halal dan tidak.

Meski gaya bicaranya yang keras dan termasuk kasar untuk seorang perempuan (sampai saya sempat mikir pantas menjanda terus, laki-laki mana ada yang mau dekat kalau galak begitu, haha…) tapi saya merasa sedih juga ketika akhirnya saya harus meninggalkannya dan mencari pekerjaan lain.

Hingga saya mendapatkan pekerjaan pada sebuah keluarga pasangan muda, dengan profesi pramugari dan pramugara pesawat China Airlines untuk merawat dan menjaga ayah majikan pria yang menderita stroke.

Mungkin karena wawasan yang luas dan pemikiran terbuka, majikan perempuan banyak mengajarkan kepada saya kalau saya harus disiplin dan gigih dalam mencapai tujuan hidup. Utamanya saya harus pintar dalam mengelola keuangan.

Ah, pokoknya ini tipe majikan the best banget deh versi saya dan teman-teman sesama buruh migran yang sering saling tukar kabar. Sampai sekarang, hampir 13 tahun saya berpisah dengan mereka tapi kami masih tetap berkomunikasi dan saling memberi kabar.

Masih selalu teringat apa yang selalu dinasihatkan majikan kepada saya ketika saya masih kerja di sana.

Bahwa apapun pekerjaan kita, tetap harus pandai dalam mengelola keuangan. Jika mendapatkan rezeki, sisihkan sebagian untuk membantu sesama, terlebih kepada orang dekat yang sedang membutuhkan.

Jika memiliki skill atau kemampuan, terus asah dan kembangkan. Saat sudah tidak bekerja (formal) memiliki uang yang ditabung saja tidak cukup. Karena belum tentu kamu akan jadi bos, tapi yang diperlukan adalah kemandirian dalam hal finansial.

Dan tentu saja hal itu tidak mudah kita dapat kecuali melalui kerja keras, disiplin, dan belajar terus untuk berlatih.

Ketika bekerja di mana pun dan apa pun pekerjaannya, tetap terapkan gaya hidup hemat. Terlebih saat menjadi TKI. Ingat sekaya apa pun kita di luar negeri, kalau pulang ke Indonesia tanpa persiapan itu akan menambah 1 pengangguran di tanah air, bukan?

Saat memiliki uang dan kebebasan, jangan terbuai iming-ming investasi atau belanja yang nggak jelas. Apalagi hura-hura foya-foya menghabiskan uang tak jelas. Boleh bepergian ke tempat wisata asal jelas maksud dan tujuannya seperti yang dicontohkan travel blogger Medan Mbak Suci. Cuba saja lihat di blognya, meksipun ia kerap wara-wiri menjelajah banyak tempat, tapi semuanya bermanfaat, gak sampai boncos. Malah jadi pemasukan sampingan alias jalan-jalannya menghasilkan cuan.

Jadi soal pengelolaan keuangan ini bagi kaum buruh sangatlah rentan. Bukan hanya di tempat bekerja saja tapi juga di kampung halaman. Banyak lho kirim uang jor-joran eh gak tahunya itu uang dipakai suami buat kawin lagi. Ngenes, kan?

Majikan saya tahu itu. Meskipun saat bekerja padanya saya belum menikah, tapi ia sangat mewanti-wanti kalau uang yang saya dapat harus dikelola sendiri. Perhatian majikan makin keras ketika marak kasus penipuan yang menyasar para pekerja migran.

Terlebih kepada saya seorang perempuan yang saat itu belum menikah, majikan sangat gamblang mengingatkan, jangan dulu beli-beli hal tidak penting seperti kendaraan, fashion, dan kosmetik. Secara tidak langsung itu akan mengundang lelaki yang mengincar harta. Bukankah lelaki baik justru yang akan memberikan semua itu kelak pada istrinya?

Kesuksesan para TKI bukan seberapa banyak duit yang dibawa pulang. Tapi sepintar apa dia mengelola keuangannya, dan sejauh mana ide serta pemikirannya terbuka untuk menjalani kehidupan baru setelah tidak mendapatkan penghasilan tetap.

17 thoughts on “Mata Kuliah Manajemen Keuangan dari Majikan”

  1. Majikannya keren nih. Sangat peduli sama ART-nya bahkan memberi nasihat dan pelajaran yang membangun. Keren Teh Okti, bisa bertahan kerja di negeri orang dalam jangka waktu lama. Btw, kalau boleh tau, sehari-hari komunikasi pakai bahasa apa sama majikannya, Teh?

    Reply
    • Waktu di Singapura bahasa inggris, plus bahasa Melayu.
      Di Hongkong pakai bahasa Kantonis dan bahasa inggris kalau di Taiwan pakai bahasa Mandarin, bahasa inggris dan sedikit Thayui.
      Selain itu di tiga negara tersebut ada bahasa yg tak pernah lupa saya pakai juga, yaitu bahasa isyarat. Hehehe…

      Reply
  2. Tehhh, masyaAllah berkaahhh bgt jalan hidup dikaauuu

    karena ga semua orang bs menyematkan value yg luar biasaaa seperti ini
    message yg luar biasaaa: Bahwa apapun pekerjaan kita, tetap harus pandai dalam mengelola keuangan. Jika mendapatkan rezeki, sisihkan sebagian untuk membantu sesama, terlebih kepada orang dekat yang sedang membutuhkan.

    Reply
  3. Teh Okti sangat beruntung sekali..
    Dan aku juga beruntung karena BW ke tulisan teteh kali ini. Sepanjang membaca kisah teh Okti, aku jadi semakin kuat bahwa pengelolaan keuangan yang baik itu terletak pada kekuatan kita menahan membeli hal-hal yang gak guna.

    Keren banget, teh..
    Aku suka kalimat penutupnya “Kesuksesan para TKI bukan seberapa banyak duit yang dibawa pulang. Tapi sepintar apa dia mengelola keuangannya, dan sejauh mana ide serta pemikirannya terbuka untuk menjalani kehidupan baru setelah tidak mendapatkan penghasilan tetap.”

    Reply
  4. Jarang ditemui majikan seperti ini, Teh. Bahkan beliau mau membela ketika Teh okti ada masalah sama agency ya? Dan yang terpenting ketika teteh kerja di luar negeri justru mampu mengelola keuangan secara bijak ya

    Reply
  5. Senang sekali bisa membaca artikel ini. Pengalaman yang luar biasa dan tentunya ikut merasa senang mendapatkan pesan dari membaca pengalaman kerja di luar negeri ini. MasyaAllah…

    Reply
  6. Seru banget baca pengalamannya Teh. Salut dengan perjuangan Teteh yang sudah melanglang buana dan hidup di 3 negara. Memang sebanyak apa pun uang yang dihasilkan, kalau tidak bisa mengelolanya dengan baik, maka hasilnya pun bisa-bisa tak terasa atau berbekas.

    Reply
  7. Bener sekali sih kalau apa pun pekerjaan dan berapa pun penghasilannya, tetep harus mengelola keuangan dengan baik. Bersyukur secara tidak langsung mendapat “kuliah” tentang manajemen keuangan dari majikan yang perhatian.

    Reply

Leave a Comment

Verified by ExactMetrics