Tentang Uang: Pelajaran dari Jujur dan Rasa Bersalah

Tentang Uang: Pelajaran dari Jujur dan Gugup

Dalam sehari saya menemukan momen luar biasa terkait masalah uang sebanyak tiga kali. Dari ketiga kejadian tersebut masing-masing mungkin memiliki pelajaran tersendiri buat kita.

Cerita pertama:

Tukang minuman botol menitipkan dagangannya kepada seorang ibu yang juga sedang berjualan di halaman masjid, sesaat sebelum ia masuk ke dalam masjid untuk melaksanakan shalat jumat.

Si ibu yang tidak hafal semua harga minuman botol yang dijual temannya itu bingung manakala ada yang beli teh botol. Setelah bertanya kepada sesama pedagang lain di dekatnya didapat informasi kalau harga teh botol adakah Rp.8000.

Tapi, kepada pembeli ternyata si ibu mengatakan kalau harga teh botol itu Rp.9000. Lebih seribu tuh ya dari harga seharusnya.

Ketika penjual teh botol selesai sholat jumat, si ibu yang dititipi langsung lapor, kalau ada pembeli teh botol dan ia jual RP.9000.

Bukannya senang dapat lebih Rp.1000 si penjual malah istighfar dan menyesalkan kejadian itu. Si ibu yang dititipi heran. Dapat untung seribu kok malah menyesal, bukannya senang?

Penjual teh botol bilang kalau pembeli itu orang selewat tidak masalah. Tapi kalau pembeli itu orang setempat, kemungkinan besar ia tidak akan membeli teh botol kepadanya lagi. Iya, buat apa beli mahal kalau di sekitar halaman masjid itu banyak penjual teh botol lainnya yang harganya standar, Rp.8000.

Dari harga teh botol saya bisa mengambil pelajaran tentang Etika Bisnis

Cerita kedua:

Melihat ada seorang kakek berjualan balon sederhana, seorang bapak menyuruh anaknya untuk membeli balon dari si kakek itu. Padahal jelas terlihat kalau si anak tidak begitu suka dengan balon yang dijual si kakek.

Beli saja. Harganya cuma seribu atau dua ribuan. Anggap saja menolong si kakek. Begitu kata sang bapak.

Akhirnya si anak membawa uang Rp.5000 dan mendatangi si kakek. Ternyata harga balon satunya Rp.2000. Si anak beli satu balon. Tapi ketika kembali, ia hanya membawa uang kembalian Rp.2000.

Kakek penjual balon datang tergopoh-gopoh kepada bapak si anak. Bicara terus terang kalau ia tidak ada uang seribuan untuk kembalian.

Bapak si anak pun berkata tidak apa. Ia mengikhlaskan sisa uang kembalian seribu dari si kakek. Dengan bahagia si kakek kembali ke lapak dagangan balonnya dengan hati tenang. Begitu juga si anak dan bapaknya kembali melanjutkan perjalanan setelah mengihklaskan uang kembalian.

Sumber free foto from picjumbo.com

Cerita ketiga:

Ketika ada penjual agar menawarkan dagangannya seharga dua ribuan, seorang anak yang memegang uang Rp.5000 langsung membeli satu buah. Berbarengan dengan itu beberapa anak lain ikut membeli juga. Ramailah suasana dan si penjual agar sepertinya sedikit kewalahan.

Setelah suasana agak lengang penjual agar baru memiliki kesempatan memberikan uang kembalian kepada si anak. Tapi ia hanya memberi kembalian kepada anak itu satu lembar uang Rp.2000 saja.

Si anak tanpa menghitung atau bertanya langsung lari ke arah orang tuanya. Dan tidak lama ibu si anak tadi bersama anaknya mendatangi si penjual agar. Si ibu bertanya harga agar nya berapa?

Sepertinya si penjual agar itu gugup karena pikirnya dia ditengarai curang sama ibu si anak. Merasa ketahuan ia jadi salah tingkah dan refleks tangannya yang memegang uang Rp.5000 memberikan uang itu (lagi) kepada si anak.

Si anak sempat bengong, bingung mungkin tapi karena si penjual agar nya buru-buru pergi jadinya hanya angkat bahu saja.

Padahal dalam pikir si anak bertanya-tanya juga. Beli (dapat) agar 1 bungkus seharga Rp.2000, dapat uang kembalian Rp.2000 dan kini dapat lagi uang (tanpa ia duga) Rp.5000.

Mau jajan harusnya uang si anak berkurang, bukan? Tapi ini malah dapat lebih. Sudah dapat agar satu bungkus, dapat pula uang Rp.7000. Siapa tidak bingung coba?

Si penjual agar tidak sadar karena saking gugupnya atau entah alasan apa ia jadi grogi begitu. Tadinya mau curangin si anak dengan mengambil lebih Rp.1000, yang ada ia jadi merugi Rp.9000.

oo00oo

Dari tiga cerita yang saya saksikan selama satu hari berturut-turut itu silakan ambil pelajaran dan simpulkan sendiri hikmahnya.

Semoga ada manfaat dan pelajaran hidup yang bisa kita ambil.

23 thoughts on “Tentang Uang: Pelajaran dari Jujur dan Rasa Bersalah”

  1. Saya yg kurang teliti selalu kena omel ibu saya mba, uang kembalian kurang misalnya. Tapi ada pedagang yang ngasih bonus kalau kembalianya nanggung.. Yang ribet kalau ketemu orang ga jujur dan ga teliti ya ..hmm

    Reply
  2. Banyak pelajaran yang dapat kita petik dari orang sekitar ya teh , dari cerita di atas saya paling salut sm penjual teh botol teh. Beliau tidaj hanya mementingan keuntungan semata namun bener2 kejujurannya yg paling utama dipegangnya…

    Reply
  3. Nilai kejujuran itu bisa membuat seseorang balik lagi ya teh. Dan nomor 3, rasa bersalah bisa membuat seseorang mengambil langkah tanpa perhitungan.

    Ah.. Cerita sederhana tapi kaya akan makna

    Reply
  4. Kejadian sederhana yang banyak hikmahnya ya teh. Duh, saya jadi mikir. Saya pernah kayak gitu gak ya? Takut pernah begitu juga. Cerita Teh Okti ini jadi reminder buat saya. Semoga saya bisa jujur. Terutama dalam masalah uang.

    Reply
  5. Yg pasti kalau jujur bisnis akan lebih berkah, mungkin gak keliatan langsung, tapi utk nanti2 pasti rezekinya gak seret. Kira2 itu sih pengamatanku kalau liat dan dengar2 cerita pedagang/ pebisnis yg lurus.

    Reply
  6. Semangat untuk kejujuran ada di cerita kedua. Penjualnya mendatangi si pembeli, dan ternyata si pembeli mengikhlaskannya. Ini yang mungkin langka tapi masih ada di dunia ini

    Reply
  7. Patut dicontoh nih, jujur tuh ga gampang lohh..
    Jujurlah walaupun jujur itu pahit..

    Orang yang jujur pasti akan untung kok.
    Kebaikan akan berbuah dengan kebaikan pula nantinya..

    Reply
  8. banyak sekali ya mbak pelajaran yang bisa kita ambil dari cerita sehari hari. Seperti pelajaran ttg jual beli dari abang abang penjual diatas.. hehe. makasi byk sharingnya yaaa

    Reply

Leave a Comment

Verified by ExactMetrics