Nomor tidak dikenali masuk memanggil. Tapi saya abaikan. Jujur, takutnya yg menelepon pihak bank atau bagian apalah yang selalu gigih menawarkan pembuatan kartu kredit dan sebagainya.
Tapi rupanya nomor itu tidak jera. Panggilannya kembali masuk. Tapi tetap saya abaikan. Merasa tak punya janji dengan siapapun juga. Hingga akhirnya mati sendiri. Ah, mungkin dia sudah lelah …
Tring!
Suara pesan WhatsApp masuk di layar notifikasi. Nomornya tidak dikenal. Tapi bahasanya mengingatkan saya pada seseorang!
“Lik, kamu dan keluarga sehat toh? Aku dengar ada gempa di Sukabumi. Tempatmu, toh? Ini aku Mbak Yati ya”
Benar saja. Itu ternyata Mbak Yati. Nomor itu mungkin nomor barunya. Pas baca pesan di awal saya sudah sreg karena kalau yang manggil saya dengan panggilan Lik, hanya Mba Yati, teman waktu bekerja di Neihu Taipei Taiwan. Itu karena pertama saya bertemu Mbak Yati, anak majikan manggil saya Jie Jie Li ly. Dari situlah Mbak Yati manggil saya Lily, tapi gak tahu kok kalau dalam obrolan chat, dia suka menuliskannya Lilik, atau Lik seperti yang ia sebut di awal pesannya itu.
Saya segera membalasnya. Kalau kabar saya dan keluarga baik-baik saja. Yang jadi pusat gempa di lautan Sukabumi, saya tinggal di Cianjur beda kota dan kabupaten, meski getaran gempa beberapa menit lalu mamang terasa juga di tempat saya tinggal ini.
Setelah saya simpan nomor Mbak Yati, kini saya yang justru menelepon balik. Senang bisa ngobrol lagi setelah sekian lama kami tidak berkomunikasi.
Mbak Yati bercerita jika ia ganti nomor karena ponsel dulu telah hilang. Anaknya membelikan nomor baru, tapi ia gak tahu nomor saya. Makanya gak langsung bisa menghubungi. Baru ketika bisa buka sosial media, ia mengecek perpesanan karena ia ingat di sana saya pernah memberikan nomor hape saya.
“Alhamdulillah kamu gak pernah ganti nomor ya, Lik. Jadi akutuh gak kehilangan kamu. Meski aku ganti nomor tapi masih bisa tengok nomor kamu itu.” Kata Mbak Yati bahagia.
Sejak saya pulang duluan ke tanah air, nomor hape saya memang tidak pernah ganti. Dulu saya memiliki dua nomor, beda provider. Karena sinyal di kampung gak merata. Tapi setelah masuk jaringan 3G bahkan 4G saya pakai satu nomor saja. Apalagi saya mengaktifkan aplikasi perpesanan WhatsApp, Line dan Telegram juga menggunakan nomor ponsel yang sama.
Saya mengirimkan nomor baru saya setelah sampai di Indonesia kepada teman-teman yang masih ada di Taiwan melalui sosial media. Termasuk kepada Mbak Yati yang saat itu kontrak kerjanya ditambah.
“Lik, kamu masih kontak sama anak Medan itu? Siapa namanya yang sering jalan sama Lulu itu lho…”
Saya tertawa. Bayangan Dorkas, anak Medan yang dimaksud Mbak Yati melintas dalam pikiran saya. Bagaimana tidak akan lupa, mereka itu semuanya teman sekaligus kakak yang melindungi saya, selama saya bekerja di Taiwan.
Selain dari segi usia saya paling muda, keluar sekolah langsung merantau. Sementara mereka sudah berumah tangga dan memiliki anak. Saya satu-satunya orang Sunda. Mbak Yati dari Yogyakarta, Mbak Lulu dari Semarang, Dorkas dari Medan, sementara teman lain seperti Ani dari Palembang, Nia dari Ponorogo dan Mbak Tia dari Nganjuk, menurut mereka, sayalah paling lembek. Baik dalam tekanan suara, gaya bicara maupun bahasa. Jelas beda dengan mereka, apalagi dengan Dorkas yang nada suaranya memang selalu tinggi.
Sudah lama saya tidak mendapat kabar tentang Dorkas. Mungkin ia sudah menikah. Waktu saya pulang, ia bilang tidak akan nambah kontrak melainkan mau pulang kampung juga dan jalan-jalan sepuasnya. Saat itu memang belum lumrah ada istilah travel blogger Medan. Tapi jika sudah ada, saya yakin Dorkas bisa menjadi salah satunya. Meski ia saat itu tidak punya blog, tapi selalu mengabadikan semua perjalanan pikniknya melalui foto foto yang dicetak. Lalu foto foto yang diupload di sosial media tidak lupa selalu disertai keterangannya hingga mendetail. Sayang sudah lama akun media sosialnya tidak update lagi. Saya kirim pesan pun tidak ada balasan. Semoga Dorkas baik-baik saja dan kami bisa silaturahmi lagi.
“Lik, anakku lagi pendidikan Cianjur. Di Ciloto, kamu dekat tak?” Mbak Yati membuyarkan lamunan saya mengenai Dorkas. Saya jelaskan kalau dari Pagelaran ya jauh, dari Selatan ke Utara dengan jarak sekitar 3 jam kendaraan. Tapi kalau pas saya sedang di Karangtengah, paling sekitar setengah jam saja.
Saya tidak janji tapi kalau anaknya Mbak Yati masih Diklat dan saya ada kesempatan, saya dan suami akan menemuinya. Saya dan suami sudah mengenal anak Mbak Yati ketika kami main ke Yogyakarta dan nginap di rumahnya. Saat itu anak laki-laki nya itu masih kuliah. Sekarang sudah diangkat mau jadi manager saja dan harus menjalani pendidikan terlebih dahulu sebuah wisma di Ciloto.
Keluarga Mbak Yati baik dalam arti sebenarnya. Baik tidak hanya saat kami berteman di Taiwan, tapi juga dengan keluarganya setelah kami sama-sama kembali ke tanah air.
Di Taiwan ia banyak mengajarkan saya bagaimana ketika di rumah sakit kami sama-sama menjaga Akong. Kalimat yang selalu saya ingat ketika saya tanya kenapa Mbak Yati betah kerja di Taiwan sampai belasan tahun, katanya karena di Taiwan tidak ada perlakuan beda antara si kaya dan miskin di rumah sakit.
Yang bikin saya tertawa ketika Mbak Yati pernah bilang, kita disini kok enggak pernah sakit ya? Padahal kan sayang banget itu asuransi kesehatannya dianggurin. Aku mau coba tapi apa yang mau diperiksa ya? Saya tertawa mendengarnya. Tapi memang iya sih. Allah melindungi kami, belasan tahun bekerja di Taiwan, kami tidak terkena sakit parah yang mengharuskan kami berobat.
Kalau cuma sakit kepala sama meriang sih ya sering, tapi cukup dengan obat di P3K majikan, atau minta ke suster dan dokter jaga yang menangani Akong, biasanya langsung sembuh. Apalagi kalau dibawa main ke Toko Indo, bisa makan bakso dengan tingkat kepedasan maksimal, meler makin membanjir tapi setelah itu plong dan besoknya sembuh deh. Serius!
Obrolan saya dan Mbak Yati terputus ketika seseorang memanggilnya.
“Se ya Lik, pasienku minta bantuan,” saya paham. Mbak Yati di Yogyakarta nya pun ia memang sambil bekerja di panti, merawat mereka sepenuh hati. Padahal saat ini ia termasuk orang berada. Anak-anaknya semua sudah bekerja dan sukses. Namun karena panggilan hati, dan ingin selalu ada kegiatan, ia tetap mengbdikan diri merawat yang membutuhkan.
Alhamdulillah pas di Taiwan sehat2 ya, teh Okti. Kalau jauh di negeri rantau trus sakit tu bikin khawatir bayar biayanya. Meski ada asuransi yang dibayarin juga. Hehe
Senangnya bisa ngobrol sama teman lama. Semoga silaturahminya makin terjaga ya.
hihihi benyak banget yang sering “bingung daerah” dan “bingung jarak”
waktu jadi relawan IT, saya pernah dapat tugas ke Majalengka, eh dari sana disuruh ke Kuningan
Lha mereka gak mau lihat peta kalo Bandung – Majalengka teh jauh, eh ditambah ke Kuningan. Kalaupun pergi ke sana, saya gak tau harus naik apa.
Syukur Pagelaran – Ciloto cuma 3 jam ya?
Asyik banget ya mba, unity in diversity. Beda kampung halaman, beda asal, tetapi bisa dekat seperti saudara. Alhamdulillah keren banget mba, gak pernah sakit di perantauan.
Cerita Teh Okti ketika merantau pastinya seruuuuu bangetttt
Aku sukaaakkk ngikutin cerita² cem gini.
Makasiii banyak udah sharing ya Teh. Sehaattt selalu
Wah senang ya teh, kalau bisa menyambung silaturahiim apalagi teman lama, seperjuangan lagi. Insya Allah pertanda datang rejeki, Aamiin.
Serius mbak di Taiwan ngga ada perbedaan perlakuan utk pasien?
Masyaallaah…
Begitu tulusnya mereke bekerja ya mbk.
Smoga negara kita dan negara lainnya yang masih menganut paham perbedaan perlakuan ini segera sadar…
Btw terimakasih BLnya mbk ☺️☺️
Ketulusan hati hanya dimiliki oleh orang yang sudah selesai pada diri nya.Ini seperti gambaran Mbak Yati dan teman Migran yg tulus bekerja merawat orang di Taiwan. Kisahnya keren menginspiratif
Senang ya Teh biar menjalin silaturahim lagi dengan teman lama. Apalagi seseorang yang begitu berkesan di hati dan memberikan efek positif pada perjalanan hidup dan cara kita berpikir.
Saya pernah ngobrol banyak dengan seorang TKW yang mencari rezeki di Hong Kong. Kami bertemu di Victoria Park, hari Minggu. Saya bersengaja kesana sebelum pameran di Hong Kong International Convention Centre. Menyenangkan banget. Sekaligus terharu. Dan saya turut bahagia karena beliau mendapatkan majikan yang baik hingga betah bekerja di tempat itu belasan tahun.
Senangnya bisa menyambung tali silaturahmi dengan kawan lama. Saya yang masih satu daerah saja sulit ketemu dan kalau mau komunikasi sering ngerasa canggung. Enggak seperti dulu lagi, karena banyak kesibukan masing-masing.
untungnya teh Okti masih bisa tetap terhubung sama teman migrannya kemarin.. ada gak sih rasa pengen jadi migran lagi di HongKong?
Ada Ko, apalagi kalau mengingat perekonomian di kampung ini sulit. Kalau gak ingat punya anak suami, pengen merantau lagi. Majikan saya pun siap memfasilitasi. Tapi ya mungkin itu hanya sebatas keinginan, untuk saat ini
Senang ya kalo punya teman kerja yang masih berhubungan dengan kita walau telah berjarak. Jadi kalo ngobrol itu pasti seru, ingat di anu, ingat si ini dan tertawa-tawa hihihiii
Kalau menurut daku kenapa saat Teteh dkk di Taiwan tidak pernah sakit? Karena hati dan pikiran bahagia bekerja di sana, jadinya ya mau apa yang harus dibikin stres kan? Lah wong bahagia
Seru banget ceritanya
Cerita cerita teh Okti saat menjadi migran di Taiwan selalu menarik dan inspiratif
Panggilan hati ini memang gak pernah bohong yaa, teh..
Bisa terus mengabdi untuk kebahagiaan orng lain. Dan mashaAllah~
NIkmat yang tak ternilai adalah kesehatan.
Dengan sehat, semua terasa nikmat.
Setuju Teh Lendy,
Karena panggilan hati itu bagian dari suara hati yang bersih, jadinya memang sebaiknya diikuti
Seneng banget ya ketemu temen lama. Meski hanya waprian aja. Rasanya tuh udah happy banget. Jadi di Taiwan tuh enaknya kalau di RS nggak ada beda perlakuan kaya dan miskin ya Teh. Coba di Indonesia gitu ya
Aku baru tahu tek okti pernah bekerja belasan tahun di Taiwan. MasyaAllah seneng masih punya teman kerja di sana dan masih berhubungan baik ya teh
Aku banget nih mba okti klo pilek cari makan bakso yg super puedes biar meler dan plong rasanya.. salam ya buat mba yati temennya sehat2 selalu
Senangnya bisa bersilaturahmi lgi ya Teh walau udah balik ke Indo. Jadi gak pernah sakit di Taiwan yaa Teh, smga sehat2 selalu
Aih keren ceritanya, betul banget saat jauh dari kampung halaman bertemu dan berteman dengan saudara sebangsa itu sesuatu banget.Begitu berkesan sampai udah balik kampungpun hubungn baik terus dilanjutkan
Salut banget sih melihat pengabdiannya untuk terus merawat orang yang membutuhkan
AKu paling seneng pas baca makan bakso dengan kepedasan maksimal membuat hidung makin meler dan plong malah lebih sehat. Haha…salah satu kebiasaanku kalau flu atau meriang nih. Ternyata tinggal di negeri orang tetap ingat bakso ya.
Sama mbak. Apakah semua orang Indonesia kayak kita ya? Meler dikit langsung cari bakso, anget-anget dan pedes biar plong bolong nih hidung.
Kalau ketemu walau lewat telpon saja –dengan teman lama yang sesama merantau itu rasanya senang banget ya, Mbak. Saya suka baca ceritanya. Dulu pernah liputan di Kemenaker, dapatnya cerita buruh migran yang sedih terus. Jadi baca cerita-cerita kayak gini tuh, senang banget. Pengalamannya merantau gak ditulis jadi buku aja, nih, Mbak?
Kakak saya tahun 2017 pernah pergi tiga bulan ke Taipei untuk mengikuti short course di salah satu universitas di sana. Itu pengalaman pertamanya ke luar negeri. Dia cerita banyak hal tentang kota tersebut, dan ya emang nyaman katanya. Rasanya ingin lagi suatu saat ke sana. Aih, Teh Okti malah pernah di sana dalam waktu yang lebih lama ya. Saya jadi penasaran juga pengen ke Taiwan.
Baca endingnya jadi terharu aku tuh. Meskipun sudah sukses dan anak2 sdh mentas semua, tetep panggilan hati ga bisa bohong ya
Senang ya teh
Bisa ngobrol lagi dengan teman lama
Bisa menjaga silaturahmi juga
Sekalian nostalgia ya
Kita akan dicerminkan dari teman dan bagaimana kita berteman itulah yang mengantarkan masa depan lebih baik. Makasih ya kak sudah berbagi