Kenapa Ingin ke Bali? Ikhlaskan, Bali bukan Jodohmu…
Kenapa ingin ke Bali? Saya ingin ke Bali untuk mengobati rasa kecewa saya yang teramat dalam. Setelah beberapa kali hampir berhasil mempersunting Bali sebagai tujuan namun ujungnya keukeuh mentok dan batal. Apa pasal?
Semua karena masalah biaya, ya semuanya karena kendala keuangan. Secara buat saya jangankan dana biaya traveling ke Bali, untuk kebutuhan sehari-hari saja masih harus gali lobang tutup lobang. Bali yang hingga sekarang hanya sebatas dalam angan. Bali (mungkin) belum berjodoh dengan saya…
Kekecewaan saya yang pertama ketika masih SMP tahun 1994. Saat itu pertama kali saya tahu dan mendengar kalau Pulau Bali adalah pulau indah dan jadi tujuan pariwisata unggulan di Indonesia. Saat teman-teman mampu ikut study tour ke Pulau Bali, saya yang tidak punya biaya hanya bisa gigit jari. Saya yang tinggal saja menumpang di rumah nenek tidak mungkin minta nenek membayar biaya perjalanan ke Bali sebesar ratusan ribu sementara untuk makan sehari-hari kami saja Nenek harus jadi buruh tani. Itu pun hasilnya tidak lebih sekadar makan berlauk kerupuk.
Saya paksakan tersenyum meski hati menangis manakala sepulang dari Bali teman-teman di kelas pamer foto mereka yang sudah dicetak rapi. Kekecewaan saya tidak bisa menginjakkan kaki di Bali cukup terobati dengan melihat gambar dan foto milik teman sebangku. Sesederhana itukah? Tidak. Ke Bali masih jadi keinginan terpendam.
Tapi saya berusaha tahu diri. Masih untung saya berhasil lulus sekolah SMP meski untuk itu saya harus menjual tanah warisan dari Almarhum Bapak yang tidak seberapa luasnya untuk semua biaya. Kelulusan sekolah itu lebih dari cukup untuk jadi pengobat luka.
Kekecewaan yang kedua tidak jauh beda. Saat beasiswa berhasil mengantarkan saya duduk di bangku SMA, saya lagi-lagi tidak bisa ikut acara perpisahan ke Pulau Bali karena ada kendala. Memang saya sudah nabung sejak jauh hari. Hasil berdagang keripik dan jajanan yang dititip di kantin keuntungannya saya kumpulkan supaya bisa ikut perpisahan yang sekali seumur hidup akan saya alami.
Namun siapa kira, krisis ekonomi yang melanda ditambah kondisi negara yang sedang kacau membuat acara yang diimpikan ini harus batal. Demo mahasiwa dan penjarahan terjadi dimana-mana. Negara kacau. Kondisi tidak aman membuat guru memilih membatalkan acara dan menggantinya dengan perpisahan yang teramat sederhana di halaman sekolah.
Rasanya menyesal harus lulus di tahun yang bertepatan dengan runtuhnya rezim orde baru, membuat rencana ke Bali gagal total. Tapi sudahlah, Tuhan Maha Tahu apa yang terbaik untuk saya. Tabungan yang sejatinya buat biaya ke Bali itu akhirnya lebih bermanfaat untuk biaya makan dan kebutuhan hidup ibu dan adik saya selama saya tinggalkan. Karena setelah lulus sekolah saya memilih langsung meninggalkan keluarga untuk bekerja jadi TKW ke luar negeri.
Setelah bekerja keinginan untuk main ke Bali masih ada. Cerita majikan dan teman-temannya yang selalu ke Bali ketika mereka ada libur sangat meracuni saya. Mereka bisa pulang pergi ke Bali dan pamer foto keindahannya, masa saya yang notabene orang Indonesia tidak bisa sekali pun mengunjunginya? Tidak hanya panas yang saya rasakan tapi juga sakit hati ini dibuatnya. Niat ingin ke Pulau Bali semakin besar. Cara apapun akan saya lakukan!
Beberapa bulan menjelang finish kontrak, saya yang hobi nulis dan sudah punya beberapa buku hasil antologi dan self publishing iseng ikut mendaftar di acara Ubud Writer Festival (UWF). Kalau terpilih, akan diundang ke Bali untuk menghadiri berbagai acara keren terkait dunia kepenulisan, dan bisa sekaligus menikmati keindahan alam Bali yang semakin kakoncara tiada duanya.
Yes! Alhamdulillah saya terpilih dari Taiwan. Oktober itu akan jadi bulan terindah bagi saya yang akhirnya bisa berkunjung ke Bali sambil menimba ilmu terkait dunia tulis menulis. Tapi rencana saya yang ketiga kalinya mau berangkat ke Pulau Bali ini lagi-lagi gagal. OMG!
Majikan tidak bersedia memberi izin saya cuti karena Akong yang saya rawat memang sedang dalam kondisi gawat. Sementara saya mau break kontrak juga sayang karena harus lapor ke kantor ketenagakerjaan (ribet dan waktu tidak akan cukup mengingat UWF tinggal sebentar lagi) dan jika tetap memaksa saya juga harus bayar sebesar 1 bulan gaji kepada majikan.
Sambil nangis guling-guling akhirnya saya harus batal lagi berkunjung ke Bali. Kembali gigit jari ketika kawan sesama TKW dari Hong Kong dan Singapura, upload foto keseruan acara UWF dan keindahan panorama Bali di akun media sosialnya.
Sepulangnya ke tanah air saya mantap tetap ingin melancong ke Bali. Tapi namanya setelah sampai di kampung, kebutuhan tidak terduga selalu bermunculan. Dana untuk ke Bali yang saya anggarkan tersedot untuk biaya berobat Ibu, dan saya tentu saja masih waras, memilih untuk merawat dan menemani ibu daripada nekat ke Bali sementara ibu terkapar sakit parah sendirian. Ikhlas. Kali ke 4 ini saya ikhlas kembali gagal menginjakkan kaki di Pulau Bali. Ibu lebih segalanya buat saya.
Setelah saya berkeluarga keinginan berlibur ke Bali tetap ada. Perkiraan dangkal saya kalau sudah ada suami biaya bakal ada yang nanggung. Hahaha… iya kalau penghasilan suaminya cetar membahana. Lah kalau honorer seperti suami saya yang penghasilannya jauh dari pas-pasan, apa namanya bukan membunuhnya secara diam-diam? Apalagi anggota keluarga kami sudah nambah dengan hadirnya Fahmi, si buah hati. Ada dana lebih pastinya kami memilih untuk biaya beli susu, biaya sekolah dan biaya sunatannya.
Akhirnya saya merenung, Bali mungkin memang tidak berjodoh dengan saya. Berkali-kali gagal dan sakit hati tidak juga membawa saya berhasil menginjakkan kaki di Pulau Dewata. Saya kembalikan ke ikhlas saja dan yakin kalau sudah jodohnya saya akan bisa ke Bali dengan jalan yang tidak disangka-sangka.
Bulan Juli 2017 kemarin majikan saya saat bekerja di Taiwan memberi kabar akan berlibur ke Pulau Bali beserta dua anaknya, Emma dan Ariel. Dua anak remaja yang cantik dan pintar itu sudah saya anggap anak sendiri meski saat itu saya belum menikah. Saya dan Emma khususnya, putri bungsu majikan saya itu sudah seperti anak dan ibu kandung saja. Ketika saya finish kontrak dan kembali ke Indonesia, Emma menangisi kepergian saya berkepanjangan.
Masih saya ingat betapa tangisan bocah usia menjelang 5 tahun itu terngiang mulai dari malam hari saat saya pamitan kepadanya, sampai dari saya keluar pintu rumahnya –di Neihu District Taipei– sampai di dalam pesawat China Airlines yang akan membawa saya ke Jakarta. Jika saja telepon seluler boleh tidak dimatikan dalam penerbangan, saya yakin Emma tidak akan mau menutup teleponnya.
Selama perjalanan ke bandara isak tangisnya tidak berhenti di seberang telepon meski Madam dan Sir, majikan saya terdengar gencar membujuk dan menenangkannya. Emma begitu kehilangan saya. Begitu juga saya sedih sekali meninggalkan anak yang sudah saya rawat dari lahir hingga sebesar itu.
Tahun demi tahun berganti saya dan keluarga majikan masih berkomunikasi lewat media sosial. Rasa kehilangan Emma mulai memudar seiring dengan tergantikannya oleh kehadiran keluarga kecil saya. Begitu juga Emma kini sudah terbiasa dan tumbuh jadi gadis yang cantik. Meski usia masih seumuran anak SD namun tinggi badannya sudah melebihi saya.
Selama berkomunikasi itu saya diberitahu kalau Madam dan Sir bercerai. Anak-anak ikut tinggal bersama Madam. Sementara Sir, pulang kampung tinggal di Keelung bersama Ama dan Akong.
Sejak saat itu saya dan Madam selalu saling menyemangati. Saling menguatkan. Bagaimana tidak, usia saya dan dia hanya beda sekitar 3 tahun. Kami jadi seperti kakak adik. Selama itu Madam mengharapkan kedatangan saya ke Taiwan. Tapi tentu saja saya yang tidak bisa. Selain faktor biaya, saya juga kan sudah berkeluarga. Keinginan untuk jumpa hanya kami sampaikan lewat pesan dan komentar di media sosial.
Hingga libur sekolah musim panas kemarin itu majikan mengajak kedua anaknya, Emma dan Ariel berlibur ke Bali supaya bisa bertemu dengan saya. Madam meminta saya untuk menemui mereka di Pulau Dewata. Menguatkan keluarga mereka yang kini sudah tidak utuh.
Saking antusiasnya saya sempat mengiyakannya. Tapi apa daya, bulan Juli kemarin ada pengeluaran tidak terduga yang kami yakini lebih penting dan prioritas. Akhirnya karena faktor keuangan yang tidak memungkinkan lagi saya terpaksa mencari jalan berkelit supaya saya tidak harus ke Bali. Dari pada pinjam sana sini mending tidak usah berangkat saja. Sakit, sedih, kecewa tentu saja datang lagi. Menginjakkan kaki di Bali dan berjumpa anak majikan yang sudah saya anggap seperti anak sendiri itu pun akhirnya pupus sudah.
Meski kecewa berat tapi kali ini saya tidak berlarut larut karenanya. Saya yakin semua sudah ada dalam ketentuan Yang Maha Kuasa. Kalau sudah kehendak Nya, apapun bisa terjadi.
Tapi tidak bisa berbohong jika air mata ini tidak terasa berlinang Begitu saja manakala melihat foto liburan majikan dan anaknya di sawah, sungai, hijaunya dedaunan dan wisata alam Bali lainnya dimana mereka memang sangat mencintai alam.
Madam tahu meski tinggal di Indonesia saya dan keluarga belum pernah liburan ke Bali. Tapi mereka tidak tahu kalau masalahnya karena kendala biaya. Andai saya dan keluarga bisa ke Bali untuk bertemu dengan mereka…
“Ayi, cepien hen piao liang. Centeu! Iyang ken ichien ni kau su wo. Ni teu tifang ye in mo iyang ken Bali, tue pu tue?” [1]
Suara Emma seolah menarik-narik saya untuk bisa datang ke Bali. Menemukan tempat indah yang sering saya dongengkan kepadanya dulu sebelum ia tidur, padahal saya sendiri belum pernah menginjakkan kaki di sana.
Sepulangnya dari Bali, Madam mengirim pesan tengah malam. Mengabarkan jika Emma mendoakan supaya saya bisa ke Bali. Meski keuangan tidak memungkinkan, tapi saya percaya dengan kekuatan doa. Emma seolah punya ikatan batin dengan saya. Dipikirnya jika saya bisa ke Bali maka kekecewaan ini akan terobati.
Emma benar. Keindahan Bali bisa mengobati setiap kecewa dan sakit hati yang terselip dalam memori. Keindahan dan kecantikan Bali bagaikan obat penawar yang bisa memulihkan kesakitan.
Dunia sudah tahu tentang keindahan Bali, tapi dunia belum tahu jika Bali memiliki kekuatan emosional dengan orang-orang yang butuh penawar dari setiap luka kehidupan. Datang ke Bali maka sakit dan penderitaan akan berangsur pulih. Nah ini yang dunia harus tahu…
Bahagia saat awal September ini ada komunitas blogger happy bonus materi yang mengadakan trip ala bekpeker ke Bali. Tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan promo ini saya langsung mendaftar untuk tiga seat, saya ajak suami dan Fahmi. Hingga tanggal keberangkatan, biaya bisa dicicil. Tabungan saya dari hasil ngeblog pun saya alokasikan ke sana. Sisanya insya Allah masih bisa kami cari. Semangat full lah pokoknya. Kuy, ke Bali!
Semangat sudah tinggi, tetapi Tuhan juga yang menentukan jadi tidaknya rencana manusia. Tiba cicilan dibayarkan, blogger koordinator ngetrip memilih pending-kan acara terkait status Gunung Agung yang saat ini sudah berada di posisi siaga.
Kami pasrah. Saya kembali kecewa tapi sudah ikhlas. Karena mungkin memang Bali belum berjodoh dengan kami. Saya dan semua member komunitas setia menanti hingga kondisi Bali aman dan acara trip bekpeker ini bisa dilanjutkan. Semoga ada ridho Nya sehingga saya bisa tercapai berangkat ke Pulau Bali. Apapun dan bagaimanapun jalannya meski sudah sekian kali gagal dan gagal maning.
Karenanya jika saya berkesempatan ke Bali, mengunjungi tempat indah dan mengobati luka hati (baca: kekecewaan selama ini) maka akan saya sampaikan kepada dunia atas apa yang telah saya alami. Sedetail mungkin akan saya kisahkan bukan hanya sebatas pengobat luka tapi juga informasi yang bisa diakses nanti oleh anak cucu. Ibarat warisan, tulisan perjalanan ke Bali akan saya buat supaya tidak hanya saya, tapi juga anak cucu dapat membaca dan mengenangnya.
Saya belum ada gambaran mau ngapain di Bali selain ingin bersenang-senang. Bayar hutang atas semua “dendam” dan mengobati kecewa itu dengan menikmati keindahan Bali secara unlimited alias sepuas-puasnya. Tidak perlu muluk-muluk mengabadikan sunset di pantai Kuta yang terkenal itu lah, toh lagian gimana cara mengabadikannya saya belum tentu bisa. Hahaha…
Sudah melihat pesona alam pedesaan di terasering Jati Luwih saja sudah membuat saya damai dan bahagia. Ya sederhana bingit bahagia versi saya mah.
___________________________
[1]. Bibi, disini tempatnya cantik banget. Sungguh! Seperti kamu bilang dulu. Kampungmu juga sama indahnya seperti Pulau Bali, ya kan?
Foto sumber dari Bali Funky
Semangat… kalau sudah ada rezekinya pasti segala urusan akan dimudahkan
serupa sama aku.. aku ingin ke Bali, Teh buat ngobati rasa patah hatiku 🙁
Panjang ceritanya. Salut..
Ya ampun, semoga kali ini berjodoh dg Bali ya Teh 🙂
Semoga mimpinya terwujud, mb. Semangat
Semoga kali ini berjodoh ya 🙂
nongkrong di Rumah Pohon Molenteng Pelilit, Nusa Penida . Aaa.. pengen kesitu beneran.
Semangat teh, pasti ada jalan buat ke Bali.
Insya Allah soon…
As soon as possible. Semoga lancar nanti perjalanannya, Teh ^^
Semoga terpilih ya Teh. Aku udah ke Bali waktu perpisahan sekolah. Itu ya karena dekat dari rumah so tiap perpisahan ke Bali dengan biaya yang lebih terjangkau.
mugi2 atuh ayeuna wancina – prung ah jodo!
Bali memang selalu bikin orang ingin kembali karena keindahannya, huhu aku sudah 3 kali ke Bali masih pengen lagi kesana 🙂
Bali oh Bali pesonanya begitu menggoda ya Teh, semoga kelak Teteh dan keluarga bisa terwujud impiannya mengunjungi Bali,
Jangan lupa ajak2 akuuh
Aduh teh okti smoga kali ini berjodoh yaaa dgn bali
Bicara soal balifunky emang keren mbak, hehehehehe, nyediain slot buat blogger, asyik lah, moga kita bisa bareng kesana
Semoga beruntung.. Teteh… Karna sy juga pengen ke bali tapi blm ada kesempatan