Lebaran ketupat berakhir. Saya, suami dan putra semata wayang, Fahmi berangkat ke Ponorogo, Jawa Timur. Bukan dalam rangka mudik, melainkan antar anak daftar ulang sekaligus pemberkasan masuk pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor (PMDG).
Ada beberapa lokasi kampus Gontor untuk melaksanakan daftar ulang dan pemberkasan. (Dalam hal ini saya bahas khusus santri putra ya) Seperti di Sumatera, Sulawesi dan Ponorogo di Jawa sebagai sentral PMDG itu sendiri tepatnya di Kampus Gontor 2 Siman Ponorogo.
Persiapan masuk PMDG
Kami berangkat ikut rombongan IKPM (Ikatan Keluarga Pondok Modern) Gontor Cianjur gelombang kedua. Gelombang pertama santri yang balik pondok kelas tinggi (setingkat SLTA) sekitar tanggal 4 Syawal. Sementara gelombang kedua santri kelas setingkat SLTP berangkat tanggal 8 Syawal.
Tahun 1445 Hijriah ini dari Cianjur hanya Fahmi seorang yang daftar sebagai calon pelajar KMI ke Gontor. Itu sebabnya kami bisa disebut daftar dan berangkat secara mandiri.
Kalau dari konsulat lain kan seperti Bogor, Depok, dan daerah lain, mereka kolektif melalui pondok alumni atau pondok khusus Bimago (bimbingan masuk Gontor).
Karena perjalan mengantar anak masuk PMDG ini cukup panjang, maka akan saya tulis menjadi beberapa bagian. Jangan heran kalau kronologi tidak berurutan karena memang sebagian ada yang saya private mengingat aturan dari Gontor sendiri ada banyak hal yang tidak bisa dipublikasikan.
Tahu sendiri kalau Gontor kan punya kurikulum tersendiri jadi supaya tidak menimbulkan kegaduhan karena banyak perbedaan dengan Kemendikbud maupun Depag, maka pimpinan PMDG sering mengingatkan kalau apa yang terjadi di PMDG itu bukan untuk dikonsumsi umum.
Terbukti ketika saya search informasi terkait pendaftaran masuk Gontor, minim sekali informasi yang bisa didapatkan. Kecuali dari website Gontor itu sendiri dan informasi dari mulut ke mulut melalui wali santri atau alumni Gontor sendiri.
Sebenarnya saya sendiri mengakui tidak mudah memutuskan melepas anak masuk PMDG. Karena perjuangan dan pengorbanan nya pun tidak sedikit.
Ada perjalanan panjang yang sudah kami lalui melalui berbagai proses. Mulai dari anak pertama kali terlihat lebih tertarik akan mendalami ilmu agama sampai anak masuk sekolah dasar.
Anak mau masuk pondok? Perhatikan hal berikut!
Benar banget kalau sebelum memutuskan untuk memasukkan anak ke pesantren, ada banyak hal penting yang perlu diperhatikan agar proses adaptasi dan pembelajaran berjalan lancar.
Seperti:
1. Kesiapan Anak (Psikologis, Fisik, dan Akademis)
Pas melihat anak lebih tertarik mendalami ilmu agama, saya mulai mengarahkan anak untuk mengenal pondok pesantren.
Hanya mengenalkan, memastikan anak memahami alasan dan tujuan mondok, sehingga kalau ia mau masuk pondok itu masuk dengan kesadaran dan motivasi yang baik.
Saat anak masuk sekolah dasar, saya mulai menjelaskan tentang rutinitas harian di pesantren. Jadi kalau—misalnya di rumah bangun subuh, ke masjid lalu bisa tidur lagi, kalau nanti di pondok langsung ada jadwal mengaji.
Jika di rumah mandi makan bisa kapan saja tapi di pondok nanti besar kemungkinan harus antre.
Kegiatan di pondok antara sekolah dan belajar agama pasti full hingga kegiatan malam. Semua itu perlahan tapi pasti selalu saya dan ayahnya anak ceritakan—agar tidak terjadi “kejutan budaya” yang bisa membuatnya stres kalau masuk pondok kelak.
Ketika terbersit rasa mau melepas anak kelak masuk pondok, saya jadi lebih semangat memeriksa kondisi kesehatan anak sejak dini.
Memastikan melengkapi imunisasi, menjaga kebersihan dan melakukan cek gigi dan gizi, termasuk mencatat riwayat alergi atau penyakit kronis yang diderita anak jika ada, karena itu penting supaya di pondok kelak bisa mendapat perhatian khusus.
2. Legalitas dan Reputasi Pesantren
Di Cianjur dan Jawa Barat saja banyak pesantren bagus, kenapa harus jauh-jauh buang anak ke luar daerah?
Itu komentar saudara, teman dan tetangga ketika mengetahui Fahmi mondok di Gontor Kampus 9.
Memang ponpes banyak, tapi yang cocok belum tentu ada. Karena itu kemana anak akan masuk pondok, kami selalu cek dari jauh hari apakah pesantren nya itu telah memiliki izin operasional resmi dari Kementerian Agama dan terakreditasi sesuai standar nasional?
Reputasi dapat dilihat dari lamanya berdiri, profil kiai atau pengasuh, serta testimoni orang tua santri dan alumni.
PMDG dan Ponpes Lirboyo menjadi kandidat terkuat kami. Apalagi beberapa tahun sebelumnya Fahmi juga sempat main ke Ponpes Lirboyo bersama rombongan santri Al Ichtisom milik ketua PBNU Cianjur, Kang Deden. Bahkan Fahmi dan putra ketiga Kang Deden seusia dan sempat berteman.
Kami condong ke PMDG karena anak akan memiliki ijazah untuk bisa melanjutkan sekolah seandainya berhenti mondok. Sementara di Lirboyo anak fokus mondok pada pelajaran kitab kuning saja. Ini merujuk pada referensi kami beberapa tahun lalu lho, ya.
3. Kurikulum dan Metode Pembelajaran
Karena sudah memiliki percontohan ponpes incaran seperti PMDG, maka kami terus mencari dan mengenali banyak jenis pesantren— mulai salafiyah, modern, atau kombinasi (integrated)—dan kami juga memastikan apakah kurikulumnya sesuai kebutuhan anak?
Pesantren salafiyah umumnya menekankan ngaji kitab kuning dan tahfiz Al‑Qur’an, sementara di pesantren modern memasukkan juga mata pelajaran umum (seperti berhitung matematika, sains, bahasa Inggris, dsb) dengan sistem yang lebih terstruktur.
Jika menginginkan ijazah sekolah formal, pilih pesantren yang terintegrasi dengan kurikulum nasional. Atau memiliki kurikulum sendiri seperti PMDG.
4. Fasilitas Asrama dan Lingkungan
Kami juga survei asrama bagaimana kebersihannya keamanannya, dan apakah tidak terlalu padat.Kami cek juga fasilitas ibadah (masjid/musholla, tempat wudhu), kesehatan (UKS/rawat inap ringan), serta ruang belajar dan ruang makan.
Lingkungan yang nyaman dan terjaga kebersihannya sangat mendukung kualitas ibadah, belajar, dan istirahat anak kita kelak.
5. Biaya dan Transparansi Keuangan
Kami bukan orang berada makanya soal biaya ini sangat teliti. Takutnya mogok di jalan dalam hal pembiayaan, malu kan nantinya…
Jadi kami selalu bertanya dengan detail tentang biaya pendaftaran (uang pangkal), SPP bulanan, serta biaya tambahan (makanan, buku, asrama) dan sebagainya.
Pesantren yang baik akan memberikan rincian tertulis dan menghindari biaya “tiket gelap” atau pungutan tak resmi.
Pastikan pula jadwal pembayaran jelas dan ada kebijakan keringanan atau beasiswa jika diperlukan.
6. Jarak dan Aksesibilitas
Lokasi pesantren memengaruhi frekuensi kunjungan orang tua, partisipasi dalam kegiatan orang tua santri, dan logistik kebutuhan sehari‑hari.
Kalau bisa pasti ingin memilih lokasi dengan akses transportasi yang mudah, terutama untuk keadaan darurat atau liburan.
Kodarullah ketika Fahmi putra saya diterima di PMDG mendapat penempatan di Gontor 9 yang berlokasi di Kabupaten Solok, Padang Sumatera Barat.
Awalnya suami akan mundur. Fahmi juga terlihat galau. Hampir dua hari kami diskusi dan mempertimbangkan akan keputusan ini.
Kami menginformasikan kepada keluarga besar, responnya standar karena memang berada di posisi yang tidak bisa banyak berbuat. Keputusan tetap ada di tangan kami.
Melihat semangat Fahmi yang pantang mundur, kami selaku orang tua mau bagaimana selain mendukung. Walaupun jauh, anggap saja latihan melepas anak belajar ke luar negeri, mengingat Fahmi bercita-cita ingin menuntut ilmu ke Al Azhar.
7. Kualitas Pengasuhan dan Bimbingan Spiritual
Peran kiai, ustadz, dan pengasuh dalam pondok pesantren sangat krusial. Karena itu kami mencari pesantren dengan pengasuh yang berkompeten, ramah, dan memahami psikologi anak.
Program pengembangan karakter—seperti mentoring, halaqah, atau kegiatan sosial—juga penting untuk membentuk akhlak dan kemandirian santri.
Kami ingin putra semata wayang ini yang biasanya manja, sulit menghilangkan rasa egois karena tidak ada saingan adik atau kakak di rumah menjadi anak dengan kepribadian akhlak dan adab yang baik. Mandiri, bisa mengambil keputusan yang tepat dan mau ambil risiko.
8. Sistem Pengawasan dan Komunikasi Orang Tua
Jelas sebagai orang tua kita harus mengetahui bagaimana mekanisme pelaporan perkembangan akademik, keagamaan, dan perilaku anak.
Pesantren yang baik akan menyediakan buku raport, pertemuan rutin orang tua santri, atau platform komunikasi (contoh WA group, SMS blast dlsb) agar kita dapat memantau sekaligus memberi dukungan moral pada anak.
Terakhir siapkan biayanya juga. Hehe… Kalau ada pengalaman manteman terkait memasukkan anak ke pondok boleh dishare saja ya…
Dengan memperhatikan aspek-aspek di atas, orang tua dapat memilih pesantren yang tidak hanya mendidik agama, tetapi juga menjaga kesejahteraan fisik, emosional, dan intelektual anak—sehingga insyaallah anak akan tumbuh menjadi santri yang beriman, cerdas, dan berakhlak mulia. Aamiin…