Kepikiran suami menunggu lama, saya sampai ngotot ke penjual ikan buat pinjam pisau, dan dengan pedenya berusaha membersihkan ikan sendiri.
Hehehe, padahal aslinya saya gak mau kotor apalagi basah dan amis. Itu hanya akal-akalan saya saja biar si amang tersentuh dan tergerak hatinya untuk segera membersihkan ikan yang sudah saya bayar.
Benar saja, karena memang uangnya udah diambil dan ikannya hanya didiamkan di depannya, si amang sibuk ngecek timbangan dan malah ngerjain yang lain, akhirnya si amang minta maaf.
“Ikan kembung ini punya Teteh ya? Maaf ya, kirain tidak ditungguin. Saya bersihkan sekarang ya, Teh.”
Nah, emang itu yang saya mau. Haha! Puas rasanya menyalakan keran air sebesar-besarnya buat mencuci tangan walaupun tadi cuma kotor karena pegang pisaunya saja.
Drama di Pasar Tradisional
Ikan yang menggelepar kini terdiam tapi tanpa insang di kepalanya. Terima kasih Mang, keresek berisi hewan dari laut itu saya tenteng sambil terburu menuju parkiran.
Udah terbayang suami pasang muka cemberut karena kelamaan nunggu. Padahal saya tahu dia harus buru-buru berangkat ke sekolah. Jumat apalagi harus lebih pagi karena menyiapkan anak-anak di lapang untuk sholat duha dan solawatan.
Mau bagaimana lagi hari pasar di tempat kami tinggal ini kan hanya dua kali dalam seminggu yaitu hari Selasa dan Jumat. Sudah jadi kesepakatan sejak pindah ke Pagelaran ini kalau ke pasar suami yang ngantar.
Dulu selagi masuk sekolah jam tujuh lewat ke pasar agak santai dan aman-aman saja. Semenjak Gubernur Jawa Barat Kang Dedi Mulyadi bikin aturan masuk sekolah setengah tujuh aja, saya dan suami jadi merasa dirurusuh kalau pas hari pasar, teh.
Gara-gara drama tadi di penjual ikan, sepertinya suami bakalan kesiangan. Pasti bakalan ngomel-ngomel nih kalau saya kelamaan di pasarnya.
Tapi wajah ramah suami dan seseorang yang tidak dikenal justru yang menyambut saya. Heran kan jadinya…
“Udah, Bu?” Tawa lebar suami menyambut tak seperti biasanya…
“Yuk, mari kami duluan. Semoga segera sehat seperti biasa ya untuk istrinya.” Pamit suami pada seseorang itu.
Tanpa diminta pengertian banget suami di perjalanan cerita, dia itu teman saat SMA.
“Kok gak kenal wajahnya ya?” potong saya cepat. Secara kami kan emang satu sekolah. Saya kelas satu, suami kelas dua. Kalau dia seangkatan sama suami, masa saya gak tau? Minimal familiar sama wajahnya atuhlah.
“Dia kan aslinya orang tetangga kecamatan. Ke sini setelah menikah saja. Nah sekarang justru istrinya lagi sakit.”
“Waduh, sakit apa? Semoga lekas sembuh ya. Kita nengok aja, bagaimana Yah?” respon saya antusias.
Suami lanjut bercerita, kita gak bisa nengok sembarangan karena sakitnya bukan sakit biasa, melainkan sakit gangguan jiwa.
Ya Allah, kasihan banget…
Istri ODGJ?
Iya kasihan, apalagi suaminya itu (yang teman suami) selain harus banting tulang mencari nafkah yang profesinya sekarang sebagai tukang ojek, mau tidak mau harus mengambil alih pekerjaan rumah tangga juga. Mulai mencuci, masak, beres-beres rumah dan mengurus anak mereka dua orang yang masih SD.
Saat bertemu di parkiran itu, mereka rupanya bercerita banyak. Karena memang mereka juga dulunya saat sekolah besti kali ya. Pulang pergi sekolah sering bareng. Setelah lulus jarang ketemu, sekalinya ketemu gak sengaja eh lagi kena kesulitan juga. Maka kesempatan saling curhat lah. Haha…
Teman suami udah habis-habisan mengobati istrinya. Tidak hanya berobat ke dokter ahli jiwa, tapi juga ke paranormal dan lainnya. Maklum di kampung kan ya, jadi apapun diupayakan demi kesembuhan dari penyakit tidak biasa itu.
“Emang awalnya bagaimana bisa stress trus kena gangguan jiwa?” tanya saya penasaran.
Begitulah, katanya mungkin tidak kuat menghadapi persoalan hidup. Awalnya teman suami ini hidup berkecukupan. Lebih dari mapan untuk ukuran orang di kampung. Tiba-tiba kena masalah sehingga perekonomian mereka terguncang. Sayangnya si istri tidak bisa menghadapinya. Kepikiran, dipikirin, jadi beban akhirnya stress dan jadi ODGJ.
Setahun lebih sang suami menghentikan pengobatan karena memang tidak ada hasilnya dan dana yang tidak bisa lagi diusahakan. Begitulah akhir cerita suami sebelum pamit berangkat ke sekolah.
Sampai rumah, saya dan suami tadi emang jadi banyak terdiam. Berasa di keluarga sendiri bayak masalah, ternyata ada keluarga lain yang memiliki masalah lebih parah dari kami.
Di kehidupan jaman sekarang kurang-kurangnya bisa bersyukur dan menerima kenyataan hidup, memang bisa bikin stres dan putus asa ya…
Duh jangan sampai kita kena masalah seperti permasalahan teman suami saya itu tadi.

Support Sistem untuk Kesehatan Ibu Rumah Tangga
Khususnya saya dan kita para ibu rumah tangga nih, harus pandai membawa diri dan bersyukur dengan semua yang kita dapat.
Pas banget ketika blog walking ke bahan bacaan inspiratif sebagai asupan nutrisi jiwa yang rutin saya lakukan, ketemu artikel bagus di blognya Imawati Annisa. Dalam artikelnya tentang support sistem untuk kesehatan mental ibu, banyak banget hal yang harus kita waspadai demi bisa menjadi seorang istri dan sekaligus ibu yang sehat lahir batin.
Gak hanya sebatas saran “Coba self-care, dong,” atau “Coba cari me-time sendiri.” Tapi juga ada bahasan lebih dalam mengenai dukungan pihak yang bisa menyehatkan para istri atau para ibu.
Karena pasi kita merasakan kalau kebebasan yang membelenggu para istri atau ibu itu jika dihindari sesaat selagi me time atau selagi self care, pas balik ke kehidupan sebenarnya dalam rumah tangga, menghadapi anak-anak dan seabrek pekerjaan rumah tangga, kok ya perasaan kewalahan itu tetep kembali dan rasanya tetep jungkir balik, kan? Betul apa betul?
Bisa saja orang berprasangka ah, itu mah pasti ada yang salah sama istri atau ibu yang demikian. Mungkin kurang vitamin? Imannya lagi lemah? Kurang healing? Atau emang kurang strong dalam menjalani hari-hari?
Padahal, mental health mom saat dibantai habis-habisan oleh kenyataan itu tidak bisa dianggap sepele atau diperkirakan oleh orang lain.
Menurut Teori Ecological System (Bronfenbrenner) dari artikel milik Mbak Imawati ini, teori yang membahas tentang kerangka teoritis yang bisa membantu kita lebih memahami bagaimana mengorganisir kompleksitas lingkungan hidup tempat seorang individu ini (dalam kasus ini, kita sebagai seorang istri sekaligus ibu, ya). Dikatakan kalau dalam teori ini bukanlah teori menciptakan konsep support system.
Akan tetapi memberikan “peta” yang sangat berguna untuk menunjukkan bahwa support system itu memang datang dari berbagai lapisan lingkungan.
Jadi saat para istri atau ibu merasa lelah itu tuh bukan kita yang kurang strong, tapi memang kita butuh support system dari berbagai lapisan. Mulai support dari pasangan, support dari keluarga support dari komunitas, support dari lingkungan, dan support dari tim tenaga ahli atau profesional.
1. Support dari Pasangan
Sebenarnya pasangan itu part of the system. Kita dan pasangan adalah tim yang solid. Suami istri itu harus sepaket atau paling enggak saling memahami.
Jalin komunikasi supaya saat mengambil keputusan bisa saling kasih ide dan bersama menjalankannya sesuai kemampuan dan kondisi.
Jika dipikirin sendiri dan otak tidak lagi memiliki kapasitas, apa gak error jadinya tuh?
Jadi kalau bisa cari solusi, komunikasikan dengan pasangan dan berani ambil risiko. Disamping ada tugas utama antara istri atau suami, intinya pekerjaan rumah adalah tanggung jawab bersama. Jangan nunggu istri ODGJ dulu baru terpaksa mau ngerjain pekerjaan rumah dan ngurus anak.
2. Support dari Keluarga
Walaupun kenyataannya bisa jadi support sistem terbaik bisa juga jadi sumber permasalahan utama. Hihi… Tapi bener kan?
Tahu sendiri kalau keluarga entah itu orang tua, mertua, atau saudara, bisa jadi backup squad untuk diandalkan. Tapi tidak bisa dipungkiri kalau dari mereka juga muncul unsolicited advice.
Seperti saran yang nggak diminta tentang pola asuh, perbedaan gaya parenting zaman dulu vs lifestyle ibu millenial, dan sebagainya.
Demi kewarasan, mulai sekarang yuk kita yang membuat batasan dan komunikasikan dengan jelas.
Lagi-lagi komunikasikan secara baik-baik ya apakah kita akan menerima, atau menolaknya. Jangan sampai pasangan tertekan karena pihak keluarga.
3. Support dari Komunitas
Sebagai ibu yang hidup di zaman modern, kita bisa banget memilih untuk hanya berteman dengan orang-orang yang memberikan vibes positif dalam hidup. Cari teman dan tempat sebagai safe place.
Share kepada orang yang tepat sepertinya sederhana tapi powerful untuk melegakan hati dan pikiran lelah. Jangan lupa kita juga gak boleh sensitif, baper, overthinking, atau jadi menyalahkan diri.
Pilih circle pertemanan yang bikin nyaman. Posisikan juga diri kita untuk jadi teman yang supportive. Sehingga bersama komunitas dan teman-teman sesama istri atau ibu kita bisa saling mengisi dan memberi inspirasi.
4. Support dari Lingkungan
Khususnya untuk ibu bekerja berharap semakin banyak kebijakan yang meringankan beban mental dan pikiran yang sering kali lebih condong ke para ibu dalam hal pengasuhan anak.
Karena baik suami maupun istri bekerja keduanya memiliki tanggungjawab dan beba moral masing-masing.
5. Support Profesional
Menjaga mental health tidak mudah. Jangan merasa gengsi kala butuh psikolog. Salut dengan para istri atau ibu yang rela banting stir meluangkan waktu mencari me time, menekuni hobi, menulis jurnal dan mengikuti berbagai kelas kesehatan mental demi bisa menjaga kewarasan.
Jaman sekarang gak lagi tabu atau saru atau pamali meminta bantuan profesional ketika rasa lelah atau sedih berlangsung berkepanjangan.
Seperti yang dialami istrinya teman suami, mungkin kalau segera ditangani oleh profesional beban yang dideritanya bisa segera ditemukan dan segera diatasi?
—
Seorang istri atau seorang ibu bukan remote worker apalagi wonder women. Istri atau ibu juga manusia. Mental load harusnya nggak ditanggung sendiri!
Perjalanan setiap istri atau ibu itu emang unik ya, dan nggak sama satu dengan yang lain. Akan tetapi kita semua (sebagai istri ataupun ibu) pantas dong untuk merasa bebas dari tekanan dan didukung?
Btw kita udahan dulu ya, saatnya goreng ikan kembung dulu nih setelah barusan dimarinasi sekitar beberapa puluh menit.
Aaaa jadi inget kemarin nyari ikan kembung tapi gak nemu loooo hihihhi…
Setiap orang memang diberikan kemampuan dan kapasitas emosi pikiran masing2 jadi kita tidak bisa lagsg judge negatif saat seseorang tdk bisa melakukan hal seperti yang mungkin kita lakukan..
Aku sendiri kadang jika merasa kewalahan sering mengambil jeda terlebih dahulu memilah mana yang jd prioritas agar semua gak berantem di kepala
Dan memilih pertemanan yang nyaman itu juga sangat membantu banget, mencari pertemanan yang memeberikan energi positif dan membantu kita menjadi lebih baik
Kebanyakan orang yang terindikasi depresi merasa enggan ke psikolog atau psikiater karena khawatir dicap gila. Oleh karena itu, kita tidak semestinya mudah memberikan penghakiman pada orang lain. Kita tidak tahu persis cobaan apa yang telah mereka lalui. Terlebih, tidak ada salahnya ke psikolog. Sama saja seperti saat kita tidak enak badan, lalu mendatangi dokter—sama-sama sakit dan butuh bantuan ahli.
Buat istri temennya, mungkin bisa coba pakai BPJS untuk pengobatan ke psikiater. Setuju sih kalau butuh dukungan pasangan biar istri tetap waras
Aduh saya bacanya jadi sedih Teh….Pasti berat banget beban yang harus ditanggung temannya sampai stress dan jadi mengalami gangguan jiwa. Jadi istri, kemudian menjadi ibu itu tidaklah mudah apalagi di tengah masyarakat kita masih kurang aware dengan kesehatan mental perempuan dan budaya patriarkat yang masih kental semakin memperberat beban seorang perempuan.
Ya allah sebagai seorang perempuan dan istri baca ini jadi reminder untuk waras
Memang harus mau mencari dan menggali sendiri ya supaya tetap waras menghadapi dunia yang sibuk ini. Nggak cuma ibu ibu sih bapak bapak jug. Diluar sana mereka juga lelah
wah semoga aja istri temannya itu bisa sabar dan bisa tetap mengobati istrinya ya, teh. memang sebagai istri itu akan sangat menyenangkan sekali jika memiliki pasangan yang support dengan istrinya termasuk dalam hal mengurus rumah
Selamat menikmati ikan kembung gorengnya ya Teh. Matur nuwun untuk pembahasan seputar kesehatan mental ibu RT dan support system-nya. Saya bisa merasakan ini setelah full berada di rumah. Padahal anak saya dua2nya mondok, praktis di rumah hanya urus suami dan ibunda. Itu pun kadang terasa ada penat2nya, apalagi yang masih punya anak kecil2, duuuhh.. Semoga dikuatkan ya para ibu yang harus berjuang di medan pertempurannya masing2.
Sangat setuju! Penegasan bahwa ‘kelelahan itu bukan kita yang kurang strong, tapi memang kita butuh support system’ itu adalah kalimat kunci yang menampar sekaligus menguatkan. Berasa lho bedanya. Ketika tidak/kurang mendapatkan support system, menggoreng ikan kembung juga rasanya gak semangat. Tapi, kalau ada support sytem, semangat langsung naik hehehe
Semoga istri teman suami Teh Okti bisa tertangani dengan baik. Memang penting urusan kesehatan mental ibu rumah tangga tuh. Kita harus menyadari, yang di sekeliling kita pun tapi yang utama kitanya ya. Kalau merasa ada yang gak beres,.segera mencari bantuan ke support system terdekat atau ke profesional.
Hihihi chopping mechanismku salah satunya membersihkan ikan, udang, jd kadang kalau beli, abangnya kelamaan gpp aku bersihin sendiri krn aku suka, menghilangkan stressku soalnya =))
Btw, istrinya teman suami kyknya shock karena perubahan ekonomi yaa.Kalau alasannya itu sebenarnya aku pun ngrasa kasihan sama suaminya.
Mungkin selama ini istrinya belum menemukan apa passionnya sehingga dunianya berputar ke suami dan anak2 saja.
Kalau dilihat dari upaya suaminya, sepertinya suaminya sayang sama istrinya dan mengusahakan untuk merawat maupun berobat.
Mungkin emang perlu dibawa ke profesional, keknya bisa pakai BPJS, lalu menemukan teman2/ sirkel yang tepat buat istrinya kek komunitas apa gitu, sehingga dunia istrinya nggak cuma keluarganya aja.
Perempuan yang sudah menikah menjadi isteri memang perlu dapat perlakuan yang baik dan tepat, agar kesehatan mentalnya tetap terjaga, terlebih ketika menjadi ibu juga ya, mental health ini jadi suatu hal yang gak bisa diabaikan
Btw di dekat rumah juga ada pasangan menikah yang suaminya agak-agak, kadang juga suka kumat. MasyaAllah kesabaran istrinya yang selalu jagain suaminya ini. Tiap keluarga punya masalah masing-masing ya dan support sistem kesehatan ibu rumah tangga ditentukan juga banget dari suami sih. Maka suami harus peduli juga sama istri, diajak ngobrol jangan dipendem, sampai istri sakit.. hiks ngerasain banget hal ini. Alhamdulillah komunikasi yang baik dan saling pengertian bisa membuat hubungan membaik.
Sedih banget yaa.. teh.
Kadang hidup itu memang sawang-sinawang gituu.. berasa kita yang paling menderita. Tapi memang kalau masalah sedang datang tanpa permisi, rasanya teh beraattt pissan.
Semoga Allaah mendatangkan banyak kebaikan di sela-sela ujian sehingga para Ibu Rumah Tangga bisa kuat bertahan.
Seneng deh lihat teh Okti dan suami akur dan harmonis. ini salah satu rumah tangga yang di idam2kan banyak orang lho. susah senang asalkan bersama ga akan terasa, ya kan…
support sistem emang penting sekali ya.
Bener kata pepatah ya mbaa, it takes a village to raise a child karena ibu yang bahagia itu butuh didukung oleh semua aspek. Kalau redup dikit, emosi nggak stabil dan pengen ngamoookkk huhuu
Ikut sedih banget, beban pikiran sampai bisa jadi ODGJ ya. Pelajaran banget buat kita semua, nggak cuma pak suaminya. Semoga segera Allah pulihkan kesehatannya.
Ngikutin cerita pas Teh Okti di pasar, ngebayangin pak suami yang marah tuh emang nyeremin ya. Hahahaha.