Perbatasan Jawa Barat dan Australia. Emang ada?
Saat baru lulus sekolah dan memutuskan langsung kerja, merantau ke beberapa tempat, saya banyak jumpa orang baru yang berasal dari tempat-tempat yang sebagian belum pernah saya dengar. Bahkan jumpa teman yang berasal dari daerah yang detailnya belum saya temukan di peta pelajaran geografi.
Sebaliknya ketika berkenalan, banyak yang bertanya saya berasal dari mana. Ketika saya sebut dari Cianjur, banyak yang melongo dan menebak-nebak. Sebelah mana Jagakarsa? Wah dekat Gus Dur dong? Orang Jakarta rupanya, kata mereka. Sementara saya hanya melongo. Cianjur kok Jakarta?
Rupanya mereka salah maksud. Dikira Cianjur itu Ciganjur, daerah dimana almarhum KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, tokoh sentral NU yang dikenal humoris dan sering melontarkan candaan “Gitu aja kok repot…” mendirikan pondok pesantren di wilayah Jakarta Seltan.
Sejak saat itu saya tidak kalah istilah. Kalau ada yang nanya darimana asal saya, saya jawab dengan mengganti Cianjur dengan istilah “Saya berasal dari perbatasan.”
“Oya? Perbatasan dengan negara mana nih?
Nah baru saya jawab lebih detail, “Perbatasan Jawa Barat dan Australia!” Hahaha…
Emang ada? Ya ada. Kalau pun ga ada ya wajar, toh Cianjur juga pada ga tahu dimana, kan?
Begitulah sedikit cerita warga daerah yang tidak terkenal di negara kita. Menyebutkan asal kita darimana, tapi belum tentu yang diajak bicara tahu sebenarnya dimana tempat kita itu. Beda dengan menyebut kota besar yang sudah dikenal. Jika Cianjur saja masih banyak yang tidak tahu dimana –padahal sebuah kabupaten di Pulau Jawa yang berjarak 4-5 jam saja dari Jakarta– lalu bagaimana dengan daerah lain yang terpisah pulau, berjarak ratusan hingga ribuan kilometer namun masih wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia?
Tidak heran kalau di pedalaman (atau perbatasan) Pulau Kalimantan sana, banyak warga negara Indonesia yang lebih familiar ke negara tetangga dari pada ke negaranya sendiri. Banyak yang mengandalkan usaha dan kelangsungan hidupnya dari negara orang karena usaha di tanah Nusantara sama sekali tidak menjanjikan.
Tragis dan ironis memang. Tapi itu fakta. Sebuah kondisi bangsa kita yang entah kapan bisa diselesaikan. Membaca koran dan mendengar berita termasuk ketika melihat siaran di televisi, kehidupan di perbatasan kebanyakan sangat memprihatinkan. Bahkan kehidupan WNI di perbatasan ada yang lebih condong kepada kehidupan dan bergantung kepada negara lain. Seolah pemerintah bangsa ini tidak mempedulikannya. Benarkah?
Di Cianjur bagian selatan saja, yang pantainya berbatasan langsung dengan wilayah Samudera Hinda terus ke Perairan Australia, yang secara jarak tidak terlalu jauh dari ibu kota negara dibanding dengan mereka di Nunukan, di Entikong atau Sebatik sana, kesejahteraan sarana dan prasarana masih jauh tertinggal. Apalagi mereka yang jaraknya ribuan kilo dari pusat negara?
Karena itu jika ditanya daerah perbatasan Indonesia manakah yang ingin saya kunjungi, maka sebelum ke perbatasan terjauh saya ingin “menikmati sepuasnya” perbatasan Indonesia di Pulau Jawa bagian selatan ini. Perbatasan Jawa Barat dengan Australia.
Karena disanalah saya sekarang tinggal dan merasakan bagaimana susah akses khususnya jalan dengan fasilitas umum lainnya. Apa yang dapat saya lakukan? Meski tidak ada yang berarti setidaknya saya masih bisa berdiri di tanah leluhur saya. Saya tetap menjunjung rasa patriotisme dan nasionalisme meski caranya tidak dengan mengangkat senjata.
Yeeaayy, Bunda tahu koq di mana Cianjur. Deketa Bandung, kan? Hahaha….ke Bandung aja belum pernah. Apalagi perbatasan Cianjur dan Aussie. Okti mah aya-aya-wae. Salam dari Ciputat. Semoga semua dalam keadaan sehat. Aamiin. Hehe…koq jadi OOT. Gakpapa ya.
Hehehe… Terimakasih Bunda.
Habis emang ga ada yg tahu kan kalau perbatasan Jawa Barat dan Australia juga masih memprihatinkan seperti di Entikong atau Nunukan sana…