Cerita Bushido Ibu Boss

Boss saya waktu kerja di Taiwan, profesinya pramugari. Meski ia Chinese asli, tapi gaya hidup, filosofi dan karakter nya seperti orang Jepang.

Satu hal yang tidak akan saya lupa petuah darinya, terkait bushido. Secara sederhana menurut pemahaman saya (maaf dan mohon koreksi jika saya keliru) bushido istilah untuk jalan terhormat yang harus ditempuh seseorang (kalau di Jepang biasanya seorang samurai). Dimana dalam pengabdiannya ini, seseorang diharapkan memiliki 8 prinsip hidup bushido yaitu, kebenaran, keberanian, kebajikan, rasa hormat, ketulusan, menghormati, loyalitas, dan kontrol diri.

Meski bushido lahir dari keyakinan Budha, tapi tidak ada yang salah saya ikuti juga meski saya seorang Muslim. Karena tuntutan bushido itu sendiri sejalan dengan Al-Qur’an dan Hadist, dua sumber hukum dalam Islam. Dimana manusia dalam muka bumi ini harus menjunjung tinggi nilai kebenaran, berani karena benar, menjadikan kebajikan dalam menjalankan kehidupan, rasa hormat dan toleransi dengan sesama mahluk, ketulusan dalam menjalankan tugas dan kewajiban, menghormati dan menghargai pihak lain sebagaimana kita ingin dihargai, loyalitas dalam berbagai hal yang jadi komitmen, dan kontrol diri alias bisa menahan hawa nafsu.

Cerita bushido dari ibu boss ini selalu saya ingat. Dan selalu saya cerita ulang kembali kepada anak anak yang mengaji di tempat kami untuk bisa diambil hikmah dan pelajarannya. Ibarat kisah dongeng sebelum tidur, baik saya maupun anak-anak selalu merasa antusias jika membahasnya.

Waktu masih kerja di Taiwan, saat liburan musim panas, kami berangkat ke Hulaien menggunakan kereta. Perjalanan sekitar tujuh jam itu, ketika anak tidur dan kami merasa tidak ngantuk, kami pakai untuk ngobrol berbagai hal.

Sampai majikan menyinggung soal liburan ke Indonesia, kapan kapan katanya ingin ke Morotai.

“Kamu tahu bagaimana kondisi Morotai sekarang?”

Glek! Saya menggeleng. Merasa menyesal saat sekolah gak serius menyimak pelajaran geografi. Yang saya tahu, Morotai adalah nama pulau di Maluku. Itu saja.

Ibu Boss lalu bercerita, jika sejarah mencatat ada seorang Taiwanese dari suku Ami yang bergabung menjadi tentara Jepang saat penjajahan. Ia hidup bersembunyi di Morotai selama hampir 30 tahun!

Saya terbelalak. Benarkah?

Adalah Teruo Nakamura, seorang prajurit Jepang asal Taiwan. Nakamura lahir di Taiwan, yang saat itu masih bagian dari Republik Tiongkok dengan nama Lee Guang Hui alias Attun Palalin (maaf kalau salah, saya belum konfirmasi lagi ke majikan).

Nakamura menjadi tentara sukarelawan Jepang ketika berusia 22 tahun. Saat itu, tahun 1942 Taiwan menjadi daerah koloni kekaisaran Jepang.

Tahun 1943, ketika Jepang menduduki Taiwan, Nakamura terkena wajib militer yang membuatnya masuk dalam sebuah unit sukarela Takasago dari Angkatan Darat Kekaisaran Jepang.

Ketika itu Nakamura ditempatkan di Pulau Morotai, Hindia Belanda. Saat bergabung korps militer Jepang inilah mendapatkan nama Teruo Nakamura.

Saat perang dunia ke dua dan Jepang kalah oleh sekutu, Nakamura bersembunyi di pedalaman hutan Kepulauan Morotai hingga ditemukan kembali pada 1974. Ia tak tahu perang telah selesai, dan selama 30 tahun itulah ia bersembunyi di hutan dan goa-goa di Morotai. Luar biasa!

Menurut Yoshikuni Igarashi dalam Homecomings: The Belated Return of Japan’s Lost Soldiers (2016) kesatuan tempat bertugasnya Nakamura terdiri dari 4 kompi. Dari 485 anggota yang tergabung di dalamnya, 373 di antaranya adalah orang Taiwan.

Tugas militer Jepang kala itu mempertahankan Pulau Morotai dari gempuran tentara sekutu, walaupun akhirnya Jepang mengalami kekalahan dan tentara sekutu membangun pangkalan militernya di sana.

Saat mengalami kekalahan, Nakamura pergi ke dalam hutan belantara lereng Gunung Galoka, Pulau Morotai untuk menantikan pasukan Jepang lainnya yang menjemputnya. Sebab komandannya, Mayor Kawashima berkata “Tetaplah bertahan, karena cepat atau lambat angkatan darat Jepang akan datang, sekalipun seratus tahun mendatang,” ujar Kawashima yang sangat diingat Nakamura.

Di pedalaman hutan Morotai ini Nakamura membuat pondok yang berukuran 2 x 1,5 meter berdinding kayu dan beratap daun rotan. Di dalam gubuknya itu Nakamura menantikan hari yang ia sebut “hari kemenangan” selama puluhan tahun.

Nakamura tidak tahu jika perang dunia ke dua sudah selesai dan ia terus bersembunyi hingga ditemukan TNI pada 1974, dan dikembalikan ke Jepang.

Prinsip Bushido dalam Samurai

Istilah samurai atau Japan Warior adalah sebutan untuk salah satu prajurit Jepang yang terkenal di era pramodern. Samurai sering juga disebut sebagai Bushi atau Buke. Secara harafiah, samurai merupakan kata serapan dari bahasa jepang kuno yakni “Samorau” atau “Saburau” yang berarti melayani. Oleh karena itu sejatinya samurai adalah pelayan bagi para majikannya.

Dalam menjalankan tugasnya, samurai memiliki kode etik yang disebut bushido. Bushido merupakan etika yang dipengaruhi oleh ajaran Budha Zen selaku moral dan filosofis Samurai.

Dalam bentuk yang lebih filosofis, Zen menekankan bahwa tidak ada batasan antara hidup dan mati. Karena itu para samurai menjalani etika dari filosofi ini dengan rasa percaya diri dan memenuhi kebutuhan diri secara mandiri.

Selain mengacu pada etika Zen, bushido juga mengamalkan etika-etika dari Confusius. Ajaran Confusius mengatur harmonisasi hubungan antara sesama manusia, hubungan manusia dengan makhluk lain yang ada di dunia dan hubungan manusia dengan alam. Dalam ajaran Islam pun sudah jelas, ada hablum minallaah dan ada hablum minan naas.

Dalam menjalankan bushido seorang Samurai dituntut total dalam pengabdiannya. Bahkan dalam kepercayaannya kematian yang sempurna dan mulia menurut mereka selaku samurai adalah kematian saat membela kaisar dan negara.

Tidak heran jika banyak prajurit Jepang saat perang dunia ke dua memilih melarikan diri daripada menyerah.

Saya mendapatkan referensi bacaan lain dari Tempo yang mengisahkan Shoichi Yokoi seorang prajurit Jepang yang lahir di Prefektur Aichi Jepang pada 1915.

Sebelum direkrut menjadi Angkatan Darat Kekaisaran Jepang pada 1941, Yokoi bekerja sebagai penjahit. Setelah bergabung dengan prajurit, dia ditempatkan di Tiongkok sampai kemudian dipindahkan ke Guam. Setelah pasukan Amerika hampir memusnahkan resimen Yokoi pada musim panas 1944, dia dan rekannya melarikan diri ke hutan.

Yokoi adalah salah satu dari sekitar 5.000 tentara Jepang yang menolak menyerah kepada Sekutu setelah Pertempuran Guam. Dia lebih memilih hidup dalam pelarian daripada malu ditahan sebagai tawanan perang. Meski Sekutu menangkap dan membunuh sebagian besar tentara tersebut, sekitar 130 tetap bersembunyi pada akhir Perang Dunia II.

Awalnya, mereka bertahan hidup dengan mengonsumsi ternak penduduk setempat. Lalu, mereka mundur ke bagian pulau yang makin terpencil. Mereka tinggal di gua atau tempat berlindung sementara di bawah tanah. Mereka makan sedapatnya.

Yokoi menggunakan keterampilan menjahitnya untuk menenun pakaian dari kulit pohon dan menandai berlalunya waktu dengan mengamati fase bulan. Dia akhirnya berpisah dengan rekan-rekannya yang menyerah, menjadi korban tentara musuh yang sedang berpatroli, atau akhirnya meninggal.

Yokoi akhirnya tak ditemani siapa pun. Dia pun menghabiskan waktunya dengan bersembunyi dalam isolasi total.

Yokoi merupakan salah satu prajurit terakhir yang menyerah. Dia merupakan contoh ekstrem dari penerapan prinsip bushido, yang menekankan kehormatan dan pengorbanan diri.

Ketika Yokoi kembali ke Jepang setelah hampir tiga dekade bersembunyi, reaksi awalnya adalah penyesalan. “Dengan sangat malu saya kembali,” kata Yokoi. Meleleh saya mendengar kisah Yokoi ini. Begitu kuat ia memegang sumpah dan keyakinan hidup akan bushido.

Saat saya finish kontrak, majikan sebenarnya masih ingin saya kembali bekerja. Ia menangis dan katanya tidak tega berpisah dengan saya. Ia memilih menggantikan temannya yang cancel terbang ke Jepang, daripada mengantar saya ke bandara.

“Saya tidak akan kuat…” begitu tulisnya dalam surat yang ia titipkan melalui agency bersama banyak barang kenangan darinya.

Dalam suratnya itu, ibu boss saya ini juga mengharapkan saya menjadi diri saya sendiri dengan filosofi bushido. Tetap menjunjung tinggi akan kebenaran, keberanian, kebajikan, rasa hormat, ketulusan, menghormati, loyalitas, dan kontrol diri.

“Dimanapun kamu berada dan bekerja, jika memegang teguh prinsip bushido, kamu akan jadi orang pilihan yang banyak disenangi.”

Menangis saya setiap mengingat pepatah nya ini. Tidak salah saya menganggap ia sebagai orang tua kedua saya, secara selain materi ia juga membekali saya dengan nilai kehidupan yang sangat tinggi.

Terimakasih untuk bushido nya, ibu boss.

16 thoughts on “Cerita Bushido Ibu Boss”

  1. Wah, saya pernah baca kisah serupa, tentara Jepang yang setia nunggu di hutan hingga puluhan tahun dikemas dalam novel fiksi. Keren. Bossnya baik Mbak, kayak temen

    Reply
  2. Prinsil Bushido ini sangat bagus, sangat cocok diterapkan dalam kehidupan sehari2. Bos teh okti adalah salah satu contoh yang menerapkannya dalam kehidupannya ya? Maka dari itu tercermin dalam sikap beliau terhadap teteh, begitu baik dan memberikan teladan kebaikan dalam bersikap kepada orang dan berdedikasi dalam pekerjaannya.

    Reply
  3. Bagus ya prinsip Bushido ini. Nggak ada salahnya juga diterapkan oleh siapa pun dengan agama mana pun karena prinsipnya general. Kereen teh Okti punya bos seperti beliau.

    Reply
  4. Kalau Jepang emang ngga diragukan lagi deh ya prinsip Bushido-nya. Dan tentu aja kita bisa praktekkan dalam kehidupan kita sehari2 ya teh. Kisah prajurit Jepang membuat kita belajar pantang menyerah. Semangat!

    Reply
  5. Teh, beruntung sekali dulu dapat buboss yang sudah seperti ortu sendiri ya… Semoga kebajikan beliau beserta semua ilmu yg diajarkan bisa menjadi bekal jariyahnya ya. Prinsip bushidonya keren.

    Reply
  6. baru pertama kali denger nih Teh, prinsip kerja sebagus ini kalau diterapkan insya Allah membuat etos kerja semakin enak ya. Tapi kita sebagai muslim juga bisa berkaca nih dari nilai-nilai Nabi Muhammad juga ga diragukan dari akhlaknya seperti adil, jujur, amanahnya ya kan..

    Reply
  7. Aku tuh selalu amaze dan salut kalau soal prinsip hidup orang Jepang. Sampe akhirnya aku paham kenapa mereka jadi negara maju, karena prinsip hidupnya bener-bener kuat dan tak tergoyahkan, kaya prinsip satu ini.

    Aku jadi inget pernah baca Ikigai, itu prinsip hidup orang Jepang juga untuk meraih kebahagiaan. Mirip2 juga kaya gini, emang salut banget sama negara Samurai ini

    Reply
  8. Bener-bener takjub sama kepatuhan prajurit Jepang yang mendengarkan arahan komandannya. Keberanian, rasa hormat pada atasan dan loyalitasnya.
    Dan, bushido mengandung nilai-nilai kebaikan yang perlu diterapkan manusia untuk menjalani hari-hari, ya. Keren!

    Reply
  9. Selalu suka cerita turun temurun berupa sejarah dari orang. Biasanya sih ngga kecatat di cerita sejarah tapi kalau ditelusuri ceritanya sesuai. Apalagi prinsip bushido dari bu Boss ini. Filosofis sekali. Jadi ingat film the last Samurai yang sarat makna kesetiaan. Apalagi kalau mereka udah mau harakiri, ngeri sekaligus respect sama janji mereka sendiri

    Reply
  10. Saya baru tahu sih tentang Bushido dan cerita Murotai. Prinsip hidup orang Jepang itu bagus sih, meski mereka menganut animisme atau kepercayaan tapi loyalitas, disiplin, sopan santun, kebersihan mereka jaga. Saya salut baca kisah hidup Teh Okti. Alhamdulillah cerita di masa lalu banyak ngasih hikmah buat kehidupan ya, Teh.

    Reply

Leave a Reply to Auliya Cancel reply

Verified by ExactMetrics