I Swasta Setahun di Bedahulu
Hingga detik ini, kisah yang menceritakan seorang prajurit dari sebuah kerajaan di daerah Bali pada jaman dulu terasa masih melekat di hati. Meski hanya kisah fiktif, tapi perjalanan hidup I Swasta benar-benar sangat menginspirasi dan jadi pelajaran hidup buat saya.
Sejatinya, tokoh fiksi I Swasta ini saya dapat dari sebuah novel yang secara tidak sengaja saya temukan di perpustakaan sekolah saat saya masih SMP. Buku cerita dengan ketebalan di atas rata-rata bagi usia anak-anak seragam putih biru ini entah mengapa di mata saya begitu menarik. Saat teman-teman enggan membaca buku yang tebal, apalagi membaca sinopsisnya saja cerita sudah ketahuan tidak seru, tapi saya berusaha membacanya dengan penuh perjuangan. Remang-remang dengan dengan penerangan cahaya lampu 5 watt dari mesin diesel kampung karena saat itu di kampung saya belum masuk listrik negara, saya tetap terus bersemangat untuk membaca hingga selesai. Saya benar-benar dibuat penasaran dengan jalan cerita I Swasta dan merasa selalu tidak sabar ingin melahap semua halaman demi halamannya.
Kisah I Swasta menceritakan seorang prajurit yang loyal serta idealis kepada pemimpinnya. Berbagai rintangan ia hadapi demi bisa melaksanakan tugas sebaik mungkin. Termasuk saat ia harus hidup terpencil dan menderita di Bedahulu. Bedahulu adalah sebuah tempat dalam kisah itu dimana I Swasta mengabdi di sana selama setahun.
Detail cerita dari kisah I Swasta Setahun di Bedahulu ini saya sendiri sudah lupa. Maklum membaca buku novel ini pada tahun 1993. Setelah itu saya tidak berhasil menemukan buku ini kembali. Malah petugas perpustakaan di beberapa sekolah, dan pustakawan di beberapa perpustakaan daerah mengaku tidak tahu dengan buku yang berjudul I Swasta Setahun di Bedahulu ini.
Loyalitas dalam bekerja, itu yang menjadi point penting yang bisa saya ambil dari kisah novel ini. Jadi pelajaran hidup yang selalu saya ingat bahwa bagaimanapun rendahnya pekerjaan kita di mata orang, namun saat kita mengerjakannya sepenuh hati dan ikhlas, maka kebahagiaan dari ‘atasan’ nanti yang akan jadi imbalannya. Dalam kehidupan sehari-hari, imbalan ini tidak berupa gaji atau nominal uang saja, tapi bisa berupa keberkahan usaha, kesehatan, atau relasi yang mendukung karir. Disamping juga imbalan pahala karena usaha yang disertai keikhlasan adalah sebuah ibadah.
Di akhir cerita, I Swasta merasa sedih yang teramat dalam karena ternyata, selama setahun ia tinggal di Bedahulu, selama itu pula ia dikhianati oleh orang-orang yang justru selama ini dia sangat percayai. Pelajaran yang lagi-lagi bisa saya ambil adalah saat I Swasta menyerahkan semua hanya kepada Yang Maha Kuasa. I Swasta sama sekali tidak menggunakan posisinya yang sudah bukan prajurit lagi untuk balas dendam. Padahal jika mengenai saya, sudah pasti saya akan melampiaskan semua amarah dengan jalan apa saja, termasuk kekuasaan dan kedudukan.
Itulah manusia yang taat dan mampu mengekang amarah. Segala sesuatu dipikirkan dengan kepala dingin. Tidak mentang-mentang sudah jadi atasan, lalu semaunya berbuat aniaya kepada bawahan. Gambaran itu seutuhnya ada pada I Swasta, yang mampu membuat air mata saya menitik seiring kisah ceritanya selesai.
Hehe… jadi tahu tokoh fiksi yang menginspirasi Teh Okti. Iya Teh, jujur saya ngga tau I Swasta. Awalnya saya bingung, ini salah judul apa yak… kok campuran bahasa judulnya… saya baca I sebagai ai=saya. Wkwkw. Maafkeun.
Iya saya mah banyak punya tokoh favorit teh…, tapi rata-rata secara behavior punya kemiripan lah. Berarti sebenernya bukan krn tokohnya yak.. tapi karena behavior si tokoh yg bikin kita kesemsem.
Hehe, iya Mbak. Banyak yang iseng bilang “saya swasta” hehe…