Sudah dua hari Jumat Fahmi tidak ada menelepon. Tentu saja saya sangat khawatir. Biasanya seminggu dua sampai tiga kali solgan-ku itu menghubungi saya atau ayahnya. Apakah dia sakit?
Ternyata melihat sosial media resmi Gontor Kampus 9 tempat Fahmi mondok, semua santri sedang melaksanakan kemah Pramuka. Lanjut persiapan peresmian gedung auditorium baru yang diresmikan oleh Gubernur Sumatra Barat.
Saking sibuknya itu mungkin tidak ada waktu untuk menelepon. Atau bisa jadi telepon yang disediakan pondok untuk memfasilitasi semua santri berkomunikasi dengan keluarga sementara diliburkan karena kesibukan para ustadznya juga.
Meski tetap khawatir tapi setidaknya saya lebih tenang mengetahui kegiatan anak di pondoknya. Beberapa wali santri di group juga banyak yang menginformasikan kegiatan para santri setiap harinya melalui story yang dishare para ustadz. Hal itu tentu saja sangat membantu saya, terlebih saat media perpesanan WhatsApp di ponsel tengah bermasalah seperti akhir-akhir ini.
Akhirnya kamis sore anak semata wayang kami itu menelepon. Tahu apa yang pertama kali ditanyakan? Kabar hewan peliharaannya!
Ya. Bukan kabar emak bapaknya melainkan ikan lele dan hewan peliharaan lainnya yang ditanyakan Fahmi lebih dulu. Melasnya, apa kamu gak kangen ayah ibu, Mi?

Memang sih lele peliharaan Fahmi bisa dibilang istimewa. Waktu masih sekolah dasar, Fahmi beli ikan lele albino seharga seribu. Walaupun lele tapi lucu sebagaimana ikan hias pada umumnya karena warnanya putih kemerahan. Tidak ada hitam-hitamnya.
Karena masih kecil, saat itu ukuran nya sebesar kelingking Fahmi, lele itu disimpan dalam toples bekas kue. Setiap pagi dan sore ia rutin ngasih makan lele dengan pelet ikan yang ada karena kami memang sudah lebih dulu memelihara ikan di kolam belakang rumah.
Lama-lama lele itu tumbuh besar. Akhirnya Fahmi memindahkannya ke akuarium yang tidak dipakai. Eh beberapa tahun sampai Fahmi lulus SD, lele itu terus tumbuh sampai ukurannya sebesar tangan saya!
Uniknya setelah besar, warna lele yang asalnya putih kemerahan, kini ada bintik-bintik hitam jadi lele nya itu warna belang seperti warna kucing. Makin sayang lah Fahmi sama lele itu.
Waktu mau berangkat mondok, aquarium pecah karena keseringan diseruduk sama lele yang tenaganya kini semakin besar. Akhirnya lele itu kami pindah ke bak di belakang sumur.
Saat melepas anak mondok, ia menitipkan semua hewan peliharaannya termasuk lele. Saya dan ayahnya tidak keberatan karena dengan memelihara hewan peliharaan karakter anak banyak berubah ke arah lebih baik.

Punya hewan peliharaan untuk kami itu seperti punya teman kecil yang selalu setia. Bukan cuma lucu, tapi juga membawa banyak manfaat. Tapi tentu saja, ada semacam pengorbanan dan tantangannya juga.
Manfaat yang kami rasakan setelah memiliki hewan peliharaan:
Mengurangi stres dan kesepian
Saat anak sekolah, suami bekerja, dan saya mulai bosan dengan aktivitas yang gitu-gitu saja maka adanya interaksi dengan hewan peliharaan bisa meningkatkan hormon bahagia seperti oksitosin dan menurunkan kadar kortisol (hormon stres).
Dulu saya sempat menertawakan nenek dan ibu saya yang menurut saya bicara sendiri (padahal mereka tengah bicara dengan hewan peliharaan).
Kini hal itu saya rasakan sendiri. Kadang saya juga seperti orang gila terlihat bicara sendiri. Padahal saya merasa benar sedang berbicara dengan hewan peliharaan.
Apa saja saya bicarakan mulai masalah berkaitan dengan hewan itu sendiri sampai sesi curhat pribadi. Hihihi… Rasanya plong dan lega…

Meningkatkan rasa tanggung jawab
Tentu saja ketika kita memutuskan mau merawat hewan mau tidak mau kita harus siap melatih disiplin dan empati. Itu pula yang saya ajarkan kepada anak. Kalau sayang dan berani memelihara hewan harus mau belajar mengatur waktu dan komitmen.
Memperkuat ikatan sosial
Hewan sering jadi perantara—bisa membuka percakapan dan memperluas jaringan sosial, baik di dunia nyata maupun media sosial.
Contohnya gara-gara punya ikan lele albino saya jadi membantu Fahmi mencari informasi bagaimana merawat lele dalam aquarium. Dari sana saya bisa berkenalan dan berinteraksi dengan pihak lain yang share terkait informasi tersebut.
Contoh lain kalau memelihara kucing, apakah kita jadi tahu bagaimana interaksi dengan hewan berbulu itu? Menurut para ahli perilaku hewan, meskipun kucing tahu bahwa manusia berbeda secara fisik dan bau, mereka tetap berinteraksi dengan kita seolah-olah kita adalah bagian dari kelompok sosial mereka, yang dalam kasus kucing berarti kucing juga.
Ini bisa dilihat dari kebiasaan mereka menggosokkan tubuh, menjilat, hingga mengeong kepada manusia, meskipun suara mengeong jarang digunakan sesama kucing dewasa.
Pernah baca tapi lupa dimana gitu… John Bradshaw, ahli perilaku hewan dari University of Bristol, menyatakan bahwa kucing memperlakukan manusia menggunakan bahasa sosial kucing. Artinya, mereka juga sebenarnya memperlakukan kita seperti kucing tapi dengan cara yang disesuaikan.
Lalu bagaimana kita memperlakukan kucing? Saya yakin lebih dari itu bahkan ada yang menganggap kucing sebagai bagian dari anggota keluarga (seperti anak sendiri).

Mbak Dyah, teman blogger menceritakan bagaimana ia kehilangan Obit, seekor kucing yang sudah dianggap seperti anak bungsunya. Setiap bikin status selalu berisi kegalauan dan kisah cinta kasih yang seolah direnggut paksa.
Hal seperti itu saya pun sempat merasakannya. Saya pernah di posisi itu bersama Tobi. Bagaimana tidak kehilangan jika bahkan saat dia sakit tetap ke toilet untuk bab dan buang air.
Yang paling sedih kucing ini mati nunggu saya dulu depan pintu pulang dari pasar. Selasa hari pada di tempat saya tinggal itu Tobi akhirnya mati dalam pangkuan. Melepaskan nafas terakhirnya di pelukan saya.
Tobi saya tangisi seperti kehilangan anggota keluarga. Tobi dikubur dengan jilbab saya sebagai membungkusnya.
Beberapa hari setiap solat saya gak kuat nahan air mata. Biasanya Tobi ikut wiridan di pangkuan saya. Mukena dijadikan nya hammock. Saya seolah selalu merasakan bagaimana nyamannya Tobi nyangkoyot dalam pangkuan. Segitunya sama kucing…
Jadi meskipun terdengar lucu atau aneh ketika kucing menganggap pemiliknya sebagai semacam ‘sesama kucing raksasa’ sebagai teman namun, itu bukan karena mereka keliru, melainkan karena cara berpikir mereka yang sederhana tapi penuh kasih.
Dalam pandangan seekor kucing, kita yang memeliharanya adalah juga keluarga. Meski bentuk manusia menurut nya mungkin aneh, tak bisa menjilat bulu sendiri, apalagi berburu.
Mendorong aktivitas fisik
Khususnya hewan seperti anjing, saya lihat yang memiliki hewan ini rutin mengajak jalan-jalan tiap hari.
Saya yang ketitipan lele di rumah juga jadi meluangkan waktu setidaknya dua Minggu sekali untuk menguras dan membersihkan supaya lele bersih terawat.
Memberi dukungan emosional
Pada umumnya hewan yang dipelihara itu bisa menjadi teman yang tidak menghakimi dan membantu seseorang melewati masa-masa sulit secara emosional.
Waktu saya masih memelihara Tobi kucing belang berekor panjang, dia selalu menemani Fahmi pergi ke warung kalau saya suruh beli sesuatu. Membantu banget secara Fahmi kan pemalu.
“Ayo, Bi antar Ami ke warung. Ami malu kalau jajan sendiri…” Percakapan seperti itu sering sekali terdengar dan Tobi malah senang diajak jalan keluar rumah.
Atau pas saya bagian piket di masjid, kan sering sendiri tuh karena ibu-ibu lainnya pada absen, Tobi sering menemani saya beberesih sampai selesai.
Bantu Perekonomian
Selain lele albino yang cuma seekor, kami juga memelihara bebek, ayam, ikan patin dan nila di kolam. Unggas dan ikan itu tentu saja sangat bisa diandalkan saat sedang butuh.

Kalau jelang hari raya, kami bisa jual beberapa ekor ayam kampung. Belum telur ayam kampung organik selain bisa kami konsumsi sendiri juga bisa kami jual.
Dan masih banyak lagi hal baik lain yang dirasakan saat kita memutuskan mau memelihara hewan piaraan.
Tantangan Memiliki Hewan Peliharaan
Ibarat dunia seperti roda yang berputar, memelihara hewan pun selain mendapatkan manfaat banyak juga tantangannya. Seperti:
Biaya perawatan
Bagi yang tinggal di kota selain makanan, biaya untuk vaksin, grooming, hingga kunjungan ke dokter hewan bisa jadi pengeluaran rutin yang lumayan.
Untuk kami yang tinggal di kampung, saat hama datang menyerang biasanya jad waktu terpuruk paling besar. Contohnya setelah lebaran kemarin, ayam kami mati kena tetelo belasan sekaligus.

Pengorbanan waktu dan perhatian
Tentu saja hewan itu bukan mainan. Mereka perlu waktu, perhatian, dan stimulasi mental agar tetap sehat dan bahagia. Bagi yang tidak terbiasa pasti terasa berat harus meluangkan waktu dan biaya.
Ketika akan bepergian, demi tanggung jawab terhadap hewan peliharaan, kami selalu minta anak santri mengaji di rumah untuk bisa memberi makan dan memeriksa hewan-hewan peliharaan itu takutnya ada hal yang tidak diinginkan selama kami tidak di rumah.
Otomatis jika kami akan melakukan perjalanan atau liburan harus menyesuaikan waktu, supaya ada orang yang bisa kami titip. Karena di kampung saya tidak ada tempat menerima hewan peliharaan, dan menitipkan peliharaan yang bukan hanya satu dua ekor itu perlu kesediaan pihak lain.
Masalah kebersihan dan bau
Ada risiko berupa bulu berserakan, bau tak sedap, atau bahkan hewan buang air sembarangan jika belum terlatih.
Saya sering bersitegang dengan tetangga karena kotoran ayam yang sangat mengganggu. Atau suara ayam ketika akan bertelor yang sangat berisik mengganggu waktu istirahat tetangga. Disitu kita harus siap mencari solusinya..
Risiko kemungkinan alergi
Sebagian orang bisa alergi terhadap bulu atau air liur hewan tertentu. Termasuk saya dan Fahmi. Kulit saya dan Fahmi sensitif jika kena gigit serangga seperti kutu kucing atau gurem ayam. Saat memelihara kucing atau ayam maka saya dan anak harus siap dengan risikonya itu.

Begitulah… Suka duka dari melihara hewan peliharaan pasti ada. Kalau manteman mempertimbangkan untuk punya hewan peliharaan, bisa pilih jenis hewan yang paling cocok dengan gaya hidup dan kebutuhan. Mau pelihara anjing, kucing, burung, atau unggas yang penting siap dengan segala risikonya itu.