Pernah dengar tentang keajaiban rezeki? Banyak orang mencari tahu bagaimana cara membuka pintu rezeki agar hidup tidak diimpit kesulitan. Siang malam banting tulang untuk sesuap nasi, apakah kita salah satunya? Hemm…
Sebagai Muslim, saya percaya kalau rezeki telah dijamin dan dipastikan bagi hamba Allah oleh Nya.
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di muka bumi melainkan Allahlah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (lauh mahfuzh).”(QS Hud: 6).
Masih banyak lagi firman Allah SWT terkait rezeki. Setidaknya saya pernah membaca pada sebuah kitab kajian, ada sekitar 52 ayat dalam Al Quran yang menjelaskan soal itu (rezeki).
Yang pasti, ayat yang menjelaskan tentang kaitannya dengan rezeki itu, adalah pegangan kita sebagai hamba-Nya agar kita semua yakin bahwa rezeki kita dijamin oleh Allah. Tentu saja disertai dengan ikhtiar usaha dan doa
Jadi ingat pengalaman saya, suami dan anak Rabu sore kemarin. Kami bertiga melakukan perjalanan malam hari keliling kampung tapi hasilnya zonk. Jika mengingat itu, keyakinan akan kalimat rezeki tidak akan tertukar, rezeki harus dijemput (dalam arti manusia harus berikhtiar) jadi makin besar. Dan ujungnya kami suka tertawa-tawa jika mengingat kelucuannya.
Jadi ceritanya, tradisi di kampung kami, kalau setiap Rabu terakhir di bulan Safar itu setiap tahunnya ada sejenis peringatan. Rebo Wekasan adalah istilah untuk hari Rabu terakhir di bulan Shafar itu. Rebo Wekasan di kampung kami diisi dengan lebih mendekatkan diri pada Tuhan secara pribadi, dan melakukan pengajian secara umum untuk jemaah atau warga kampung.
Umat Islam pada malam Rebo Wekasan dianjurkan untuk berdoa dan melakukan amal kebaikan yang secara umum bertujuan menolak bala atau keburukan, memohon ampunan kepada Allah SWT dan mendapatkan kebaikan.
Pada hari Rabu Wekasan itu biasanya untuk saling menyemangati satu sama lain setiap rumah membuat olahan lalu dibawa ke majlis, baik di masjid atau di madrasah untuk dimakan bersama. Suguhan ini banyak macamnya, tergantung kemampuan dan kreativitas masing-masing.
Rau Wekasan kemarin, saya dan suami sepakat mau bikin nasi tumpeng. Tapi tidak dihantar ke masjid atau madrasah melainkan untuk dinikmati anak santri di pondok mengaji saja. Selain budget yang seadanya kami juga tidak ingin anak mengaji terganggu waktu hafalannya kalau harus “dipindahkan” ke luar pondok. Jelang Peringatan Maulid Nabi, anak santri dari beberapa hari lalu memang sudah diberi materi untuk perayaan maulid nabi dan mereka mulai menghafal untuk pentas nanti.
Jumlah santri ada 26. Saya bikin nasi kuning untuk 30 porsi. Tapi pas hari H, yang hadir hanya ada 20 orang santri saja. Malah dapat informasi kalau salah satu santri kami tidak mengaji karena ayahnya sakit kecelakaan kerja.
Sisa nasi kuning ada sekitar empat porsi lagi itu tidak mubadzir sih karena bisa langsung kami berikan pada tetangga atau anak-anak kampung meksipun tidak mengaji di kami.
Setelah bubar isya, suami ngajak saya dan anak untuk menengok orang tua santri yang kecelakaan tadi.
Saya bilang, apa gak ganggu kalau malam, siapa tahu mereka istirahat.
Tapi suami bilang habis mau kapan lagi, sementara besok pagi suami juga berangkat kerja. Pulang sore langsung ngawuruk (ngajar) lagi di pondok. Waktunya untuk menjenguk ya bada isya ini saja.
Okelah saya setuju. Menyiapkan nasi kuning dan lainnya, kami baru bisa keluar rumah sekitar jam delapan malam.
Melewati sisi kampung, kami berjalan beriringan. Suami di depan lalu anak di tengah sambil membawa senter. Saya di belakang sambil menenteng rantang berisi nasi kuning dan lainnya.
Kampung sudah terasa sepi. Apalagi arah ke rumah santri yang orang tuanya sakit kecelakaan ini jauh dari jalan raya. Jadi rumahnya agak ke belakang kampung, menuju persawahan dan makam umum.
Dari jauh sudah terlihat di depan sana, di pinggir persawahan berdiri dua rumah duduk jendela (bawahnya tembok, atasnya bagian dinding tidak ditembok) yang paling sisi sawah itulah rumah orang tua santri yang kami tuju.
“Tapi kok sepi ya?” Suami balik menghadap kami. “Apa mereka sudah pada tidur?”
“Ah, masa iya baru juga jam delapan lewat sepuluh menit…” sanggah anak yang disetujui saya.
Suami berjalan mengendap-endap menuju teras rumah paling sisi sawah itu. “Tunggu di sini ya, mau lihat dulu ada di rumah atau enggak… takutnya sakit terus dibawa berobat atau nginep dimana…”
Saya dan anak mengiyakan. Jika anak langsung jongkok di batu kali yang ada di pinggir sawah, sambil ngutak ngatik lampu senter. Sementara saya melihat pemandangan sekitar.
Meski suasana malam, saya bisa merasakan kalau siang, hamparan sawah di depan ini sangat indah dan warnanya sangat menyejukkan mata. Saung (dangau) yang terlihat di beberapa tempat ujung sawah jadi tempat favorit untuk main dan gogoleran (rebahan) sambil merasakan sejuknya semilir angin pedesaan.
Suasana sawah di pedesaan, jadi teringat film Si Kabayan, bagaimana sosok sederhana itu hidup di tatar Sunda dengan segala kelucuan dan kepolosannya. Bagaimana interaksi ia dengan Nyi Iteung, sang istri dan Abah serta Ambu, mertuanya.
Sebagai orang Sunda tentu saja saya sangat paham bagaimana tradisi dan budaya yang sangat dijaga Si Kabayan hidup di pedesaan dengan segala depe-depe dan handap asor-nya (rendah hati dan tidak sombong). Temasuk bagaimana ia menghadapi mertua laki-laki (Abah) yang sering berseteru atau ketika mendengar curhat si Ambu (mertua perempuan) yang menginginkan menantunya giat bekerja dan punya penghasilan.
Hidup di kampung dengan segala limpahan rezekinya seharusnya tidak bikin khawatir. Udara masih bersih, mata air masih banyak tersedia, kekompakan dan gotong royong antar sesama pun masih terjalin kuat.
“Bu, kita pulang saja. Ternyata mereka udah pada tidur. Kasihan kalau kita ganggu.”
Lamunan saya bubar ketika suami sudah kembali di hadapan.
“Lah terus ini nasinya, bagaimana?” saya mengangkat rantang.
Setelah terdiam beberapa saat, suami menyarankan langsung ke rumah Ahmad saja. Temannya saat sekolah itu istrinya beberapa hari lalu baru saja melahirkan. Nasinya kasih ke mereka saja.
Tapi rumahnya Ahmad ada di sisi kampung sebelah sana. Ibarat saya sedang di sisi barat kampung, kalau ke rumah Ahmad, harus jalan kaki lagi ke sisi timur kampung. Melewati sawah dan rumah warga juga.
Saya setuju, mengingat sayang banget kalau nasi kuning ini tidak langsung dimakan. Meski ngedumel bilang capek, anak pun akhirnya mau ikut.
Kami berjalan menapaki galengan (jalan pinggir sawah yang lebarnya tak lebih dari setengah meter) dengan kembali berurutan. Suami di depan anak di tengah dan saya terakhir.
“Pada kemana ya orang-orang ini sepi banget…” anak mulai bicara.
Di kampung, habis isya orang udah langsung pada tidur. Suami berjalan sambil menjelaskan. Mereka kebanyakan kerja di sawah, kebun memerlukan tenaga. Jadi perlu istirahat. Apalagi besok harus bangun pagi dan kerja lagi.
“Uh, kalau Ami udah gak betah deh. Masih sore ini. Kenapa gak nonton tv aja dulu,” anak kami menimpali.
“Ya mereka kan sudah terbiasa. Lagian gak semua punya televisi. Kalaupun ada, mereka lebih baik hemat. Kehidupan di pedesaan memang masih banyak seperti itu,” suami dengan sabar menjelaskan.
Iya juga. Dulu waktu pertama kali saya dibawa pindah suami ke kampung ini, suasana depan rumah saja sangat sepi. Apalagi kalau musim hujan. Padahal rumah kami di pinggir jalan aspal. Sekarang mending udah banyak dibangun warung dan pertokoan. Jadi apalagi di pedalaman kampung yang masih banyak sawah dan kebun.
Kegiatan sehari-hari mereka sebagai pekerja kasar dan keras, memang membutuhkan waktu istirahat yang lebih banyak. Tidak ada istilah begadang, atau nonton drama Cina sebagai pengantar sebelum tidur. Mereka disiplin istirahat karena tuntutan keesokan harinya harus kembali bekerja keras.
Tak terasa akhirnya sampai juga di rumah Ahmad. Tapi kembali suasana sepi yang kami temui. Biasanya kalau ada yang habis melahirkan suka ada yang menemani baik keluarga atau tetangga. Jadi suasana rumah lebih ramai dan hangat. Ini pintu rumah tertutup rapat seolah tak ada penghuninya.
Anak bertanya apakah penghuni rumah ini juga sudah pada tidur?
Suami mengira mungkin mereka sedang keluar rumah.
“Jadi bagaimana ini nasi kuningnya?” saya kembali mengangkat rantang.
“Ya sudah kita bawa pulang lagi saja. Abis bagaimana, orang yang kita tuju pada tidak ada. Mungkin nasi kuning itu bukan rezekinya mereka.”
Sambil menarik nafas saya mengikuti saja. Kami balik kanan kembali mengitari kampung melewati pematang sawah dengan rute searah jarum jam kembali ke rumah.
Pas memasuki jalan aspal, dari gang rumah yang ada di depan rumah kami keluar seseorang. Suami menyapanya bertanya mau ke mana karena memang cukup akrab.
“Cari nasi goreng Pak, sejak sore saya belum sempat makan nih. Alhamdulillah tadi bawa penumpang ke daerah atas,” katanya sambil tertawa.
Tetangga kami itu tinggal sendiri. Istrinya sedang bekerja di Timur Tengah. Sehari-hari ia bekerja ngojek di pangkalan jalan masuk desa.
Suami menatap saya, minta pendapat. Saya paham dan segera saya sodorkan rantang padanya. Mungkin nasi kuning ini memang sudah rezekinya tetangga dekat rumah.
Kami langsung pamitan masuk rumah ketika tetangga berterima kasih dan bilang rantangnya akan dikembalikan esok setelah dicuci.
“Hadeuh! Kalau tahu gitu udah aja tadi tuh nasi kuningnya kasih ke dia aja langsung. Gak harus muter keliling kampung bawa-bawa rantang isi nasi kuning. Ibu gak bakat untuk jualan itu. Ga laku nasi kuningnya…”
Anak kami misuh-misuh sambil selonjor kaki di teras, sambil menunggu suami buka kunci pintu. Mendengar itu saya dan suami tertawa sampai terpingkal-pingkal.
Dipikir benar juga ya. Dasar bukan rezekinya orang tua santri ataupun Ahmad, meski kami bawa ke sana, tapi jalannya bukan rezekinya mereka ya akhirnya nasi kuningnya selamat tidak sampai.
Mungkin memang sudah rezekinya tetangga depan rumah. Sejak sore ia belum sempat makan, giliran mau beli, malah ketemu kami dan jadilah nasi kuning itu menjadi menu makan malamnya. Itulah keajaiban rezeki.
Banyak di antara kita beranggapan bahwa rezeki semata-mata hanya berupa uang, harta, dan benda. Padahal, itu hanya sebagian kecil saja. Sebagian besarnya meliputi semua apa yang ada di dalam kehidupan manusia. Berupa waktu, kesehatan, kebahagiaan, kebersamaan, persatuan, kesempatan, kerukunan, kecerdasan, keluarga, lingkungan yang baik, dan masih banyak lagi lainnya. Semua itu adalah rezeki yang Allah berikan kepada kita semua.
Jika ini yang dipahami sejak awal maka rahasia keajaiban rezeki akan terbuka dan bisa diamalkan oleh siapa saja. Karena sejatinya nafas yang kita hirup ini pun adalah rezeki kita yang tiada hingga nilai dan harganya.
jadinya itu nasi kuning muter keliling kampung, untung gak pusing hehe
alhamdulillahnya mungkin gak cepet dingin ya Teh, karena perjalanannya yang panjang di malam itu.
Wah terharu bacanya. Niat sedekah pun harus terhalang banyak hal ya Kak
Cerita perjalanan malam si nasi kuning ini seru pisan teteh. Jadi kukurilingan dulu yah hehe. Saya juga suka sama ilustrasi gambar sawah-sawahnya. jadi ngebayangin suasana di kampung.
Btw saya juga setuju dengan istilah rejeki tak akan kemana, saya jadi ingat, dulu pernah ngalamin juga, suatu hari belum makan malam trus mau keluar rumah cari makanan, eh pas buka pagar ada tetangga yang ngasih nasi kotak acara syukuran. Alhamdulillah rejeki saya.
setuju kak,
kalau udah yang namanya rejeki mau lewat jalur mana maka ia akan mendatanginya dan mendapatkannya dengan cara yang tak terduga
Benarlah yang dikatakan orang rezeki itu sudah diatur ya kan mba. Walau nasi kuningnya udah jalan-jalan sampai ke kampung, toh tetangga dekat rumah juga yang kebagian salah satu berkat nasi kuningnya ya, alhamdulillah..
Alhamdulillah Ya teh kita sudah faham dengan rezeki ini.. Kemarin sempat baca komen di sebuah berita yang ditulis netizen “masih bilang banyak anak banyak rezeki? Masih bilang setiap anak punya rezeki masing-masing? Tuh liat berita..”
Tulisnya. Itu lah sempitnya ia berfikir rezeki hanya uang saja.
Bahkan iman yang kita miliki adalah rezeki terbaik yang Allah beri ya Teh..
Ceritanya menarik, runtun, sehingga enak dibaca. Kendati ini soal nasi kuning hehe. Namun di narasikan dengan sangat baik.
Alhamdulillah…
Makin yakin dengan rizki Alloh yang amat luas.
Jadi ingat, Imam Syafi’i dan gurunya yaitu Imam Maliki, pernah berdebat tentang konsep rizki.
Menurut Imam Maliki, rizki bisa datang sendiri tanpa diupayakan. Manusia hanya perlu melakukan bagiannya. Namun tidak menurut Imam Syafi’i. Menurut beliau, orang harus bekerja dan mengusahakan datangnya rizki.
Imam Syafi’i lalu bekerja membantu orang memanen anggur lalu diberi sejumlah anggur oleh petani. Karena konsepnya kini terbukti, ia senang dan membawa anggur itu lalu diserahkan pada Imam Maliki.
Kata beliau, betul kan, saya harus bekerja untuk dapat rizki anggur ini. Imam Maliki menjawab, saya menerima anggur ini tanpa bekerja. Saya hanya melalukan bagian saya menyampaikan ilmu padamu.
Lalu beliau berdua tersenyum dan sama-sama mengakui kebesaran Tuhan dalam mengatur perjalanan rizki.
Subhanallah, kisah itu membekas sekali di hati saya.
Cerita lucu yg penuh makna yah, teh. Haha.. Tapi akhirnya jadi tau, kalo memang rejeki itu bukan sekadar uang belaka tapi juga banyak hal termasuk hal kecil yg cukup melelahkan ini, hehe..
Kalo di kampung memang sepi kalo jam 8 malam. Kebanyakan pada istirahat di dalam rumah sambil nonton TV, tapi enggak Netflix atau Dracin juga sih, wkwkwkwk…
Nasi kuning muterin kampung, kalo memang sudah rezekinya, pasti nasi kuning akan berlabuh di orang yang tepat. Suka banget suasana kampung yang damai, sunyi dan jauh dari kebisingan..
Rezeki yg Allah berikan tak akan tertukar, insyallah dilancarkan trus selagi kita ikhlas, ridho semuanya berjalan dgn baik.
Hidup di desa memang enak, adem, lebih tentram, ah jadi kangen pulang kampung 🙁
Memang begitu, ya. Nasi kuning saja bisa muter-muter mencari yang tepat siapa pemilik rezeki itu.
Ya, semua itu kuasa Allah ya, Mbak. Nasi kuning yang udah ditujukan 2 rumah, dan nihil. Bisa bertemu dengan orang lain yang membutuhkannya.
MasyaAllah. Kadang memang begitu ya jalannya rejeki. Walau sudah berputar-putar ke sana ke mari ternyata memang sudah ditakdirkan untuk diterima oleh tetangga dekat rumah. Jadi keingat sama cerita anak di salah satu majalah anak yang belum lama ini kubaca deh, Teh. Persis.
Wah kok bisa2nya yg deket malah dilewatin ga dikasih nasi kuningnya. Haha. Di tempatku, yg hrs diutamakan ya hrs tetangga sekitar dulu. Kecuali tetangga sekitar lagi ke luar daerah dan kembali dlm wkt lama. Ya udh biarin aja.
Seru jg sih tradisi Rabu Wekasannya. Di tempatku ga ada nih. Plg pas jelang malam 1 Suro, Ramadan atau Idul Fitri doank tuh.
perjalanan panjang si nasi kuning, dia sudah berusaha sekuat tenaga nih, tapi ternyata ketemunya di tetangga, ya namanya rezeki ya ga ada yang tahu, alhamdulillah tetangga ga jadi kelaparan
Di sini juga sepi kalo malam, Mba, padahal saya tinggal di ibukota kabupaten, hehehe
rezeki memang gak kemana yaa..
btw, di sini, setiap malam juga banyak penjual nasi kuning, jadi kalo sedang malas masak biasanya makan nasi kuning deh
Saya pernah mengalami hal serupa mbak. Muter muter nyari rejeki, eh dapatnya malah dr yang dekat rumah. Rencana Allah siapa yang tahu. Saya yakin semua sudah direncanakan sama Allah. Perjalanan bawa nasi kuning keliling kampung bisa jadi pelajaran berharga juga kan buat yang ngasih. semoga pembuat nasi kuning juga dapat keajaiban rejeki ya. Aaamiin
dari hal yang sederhana bahkan cerita sehari-hari selalu ada hikmahnya ya yang bahkan gak disadari tapi kalau direnungkan eh, ternyata bener ya bisa gini dan gitu. termasuk soal nasi kuning ini. bener sih, yang namanya rezeki mau di usahain jungkir balik tapi kalau emang gak ditakdirkan yaaaa gak akan dapet, bisa jadi diganti dengan rezeki lain atau jadi ladang pahala. tapi bisa juga diubah dengan usaha dan doa disertai tawakal.
Masyaallah habis isya udah pada tidur. Pantes orang desa sehat2 karena memang harusnya malam itu beristrhat agar sel2 regenerasi. Benar banget tentang rezeki ga akan tertukar ya mba
Ceritanya relate banget sama sehari-hari kita, kadang kita nggak tahu kalau tetangga dekat ternyata yang bisa diandalkan selain orang lain yang rumahnya jauh misalnya. Ibarat pepatah, yang dekat dengan kita kayak dicuekin, tapi jodohnya ya yang deket sama kita.
aku baca ini sambil ngebayangin kampungnya teh Okti disana, jadi kangen suasana kampung, yang tenang dan kalau malam biasanya rame suara jangkrik