Bumil Naik Gunung (Katanya) Diikuti Kuntilanak
Sore kemarin aku baca kicauan seseorang di Twitter yang membuatku cukup tercengang. Bunyi kicauannya kurang lebih begini:
“Jangan sekali-kali naik gunung bawa orang hamil, yah. Membahayakan anggota lain karena kemungkinan besar bakal diikuti kuntilanak.”
Entah benar entah tidak, tak tahu juga apakah hal itu pernah terjadi atau dialami oleh pendaki gunung yang sedang hamil. Tak pasti juga gunung mana yang ia maksud. Yang jelas, aku merasa tidak setuju dengan pendapatnya.
Wanita hamil memang beresiko tinggi jika melakukan perjalanan jauh yang melelahkan. Juga pekerjaan rumah tangga yang cukup berat. Di perkampungan dan daerah yang kepercayaannya masih tinggi wanita hamil juga masih banyak larangan untuk melakukan hal-hal yang dianggap tabu atau pamali.
Tapi naik gunung –tentu saja istilah itu ada akhir-akhir sekarang ini– jika dilakukan tanpa melanggar peraturan atau adat istiadat daerah di lokasi gunung yang didaki, asalkan si bumil (ibu hamil) memang kondisinya kuat pasti akan lancar-lancar saja.
Naik gunung –istilah keren untuk orang yang melakukan perjalanan mencapai puncak gunung– adalah perjalanan dengan jalan kaki dengan rute panjang dan sebagian full treking demi mencapai puncak tertingginya. Kurang lebih jika dilihat dari aktivitasnya, wanita hamil jaman dulu juga sering kok melakukan perjalanan jauh dengan jalan kaki. Ibu serta nenekku adalah contoh nyatanya.
Maklumlah jaman dahulu belum ada kendaraan. Jangankan naik kendaraan umum seperti sekarang, jalannya saja belum ada. Warga di kampung masih menelusuri jalan pinggir sawah atau jalan setapak yang melewati kebun atau hutan jika akan menuju suatu tempat. Apalagi lokasi kampung nenek moyangku memang sangat terisolir. Jauh dari jalan beraspal meski negara sudah merdeka sekian lama. Mau ke pasar, mau ke kota kecamatan, bahkan mau berkunjung ke rumah saudara pun hanya bisa dengan jalan kaki. Tidak ada pilihan.
Kembali soal kepada naik gunung dan mitos wanita hamil akan diikuti oleh kuntilanak dan akan membahayakan kepada peserta naik gunung lainnya, kurasa itu hanya hal yang dilebih-lebihkan saja. Orang terlalu berpikir jauh dan masih mempercayai akan hal-hal yang dibilang pamali oleh sesepuh atau nenek moyang.
Tentu saja sebagai muslim saya juga mempercayai adanya mahluk gaib yang berbeda alam dengan manusia. Saya juga pernah mendengar wanita hamil yang “diganggu” oleh mahluk gaib yang dipercayai sesepuh kita. Tapi saya lebih percaya kalau kita tidak mengganggu mereka, mereka pun tak akan menganggu kita.
Wanita hamil naik gunung tidak ada salahnya, selama ia masih kuat, kondisi fisik dan janin baik serta tidak melakukan hal-hal yang tidak disarankan tim kesehatan maupun orangtua/kuncen/penjaga suatu tempat. Misal jangan buang sampah sembarangan, memetik atau merusak tanam-tanaman di hutan, atau membuat gaduh hingga menganggu ketenangan setempat. Bukankah itu semua bukan hanya harus dilakukan oleh wanita hamil saja, melainkan untuk pendaki lainnya pula?
Kicauan teman di Twitter yang menekankan “jangan sekali-kali naik gunung bawa orang hamil” secara tidak langsung telah menyinggung perasaan wanita-wanita tangguh para pencinta alam. Apalagi dikaitkan dengan alasan mitos kuntilanak. Kalau alasannya karena kondisi janin yang dikhawatirkan, dan atau kondisi bumil yang tidak kuat, itu bisa masuk akal. Saya yakin si bumil pun tahu diri dan tidak akan memaksakan.
Saat hamil 3 bulan, saya ingin naik Gunung Rinjani. Dokter dan bidan meyakinkan kalau kondisi kandungan saya baik-baik saja. Karena saya dapat meyakinkan suami dan orangtua, mereka pun mengizinkan. Tentu saja saya pun harus berhati-hati, menjaga kondisi saya dan kandungan, serta tanggungjawab sendiri jika ada hal yang tidak diinginkan.
Alhamdulillah, saya berhasil menginjakkan kaki di puncak Rinjani dan banyak mendapat ikan di Danau Segara Anaknya. Banyak ilmu dan wawasan baru selama melakukan perjalanan dari Sembalun sampai Senaru.
Saat usia kehamilan menginjak lima bulan, saya pun ingin ikut naik ke Gunung Semeru.
Banyak teman yang melarang dan mengkhawatirkan saya. Bahkan Kompasianer Mas Ukik pun melarang saya untuk ikut menaklukan Puncak Mahameru dengan alasan kondisi saya yang tengah berbadan dua.
Tapi karena saya bersikeras dan yakin bisa, atas izin suami dan orangtua pula saya bisa ikut ke Semeru bersama teman-teman dari Cianjur yang selalu siap membantu saya selama dalam perjalanan.
Saat naik gunung, apalagi melewati tempat-tempat yang dirasa membahayakan, saya selalu berdoa dan tak jauh dari suami serta teman-teman. Begitu pula saat malam datang, saya tidak keluar tenda kecuali ikut memasak di depan tenda bersama rombongan pendaki lain.
Alhamdulillah, hingga saat ini sudah melahirkan Fahmi, anak pertama yang ngidamnya ingin naik gunung itu, saya dan anak baik-baik saja.
Teh Okti, aku belum pernah dengar tentang ini. Tapi aku keder kalo pas mens naik gunung
Wah Teh, salut untuk suami dan keluarga besar yang mendukung Teteh naik gunung ketika hamil. Memang kalau gerak badan rasanya lebih segar ya pas hamil. Untuk semuanya baik-baik saja.
Teteeeh kereen uy, Fahmi dari bayi dah di bawa jalan2 naik gunung, aduuh tante nci kalaah niy.
Nah kalo Bumil diikutin kuntilanak, aku pernah denger juga sih Teh, katanya bumil mah hanyir *mitos katanya ortu dl
Wah enaknya teteh pas hamil selalu sehat bisa dibawa kemana-mana bahkan sampai naik beberapa gubung segala.
Huwaa.. sy belum beraniii… keren teh!
Heuidiiihhh… naik gunuung. Aku yg cuma treking biasa aja udah merasa ngos2. Alhamdulillah suami support ya walau hamil tp ttp diijinin mbolang.
hamil 3 bulan naik gunung.. berani banget.. itukan masih muda….kehamilan rentan..
hebat… ih. kuat luar dalam donk ya..mhe2
huwow keren…lagi hamil kuat naik gunung.
aku sampe skr belum pernah naik gunung krna ga kuat secara fisik 😀
Woowww…penasaran mba sekarang dedeknya apa hobi naik gunung juga? Mamanya strong banget, tentu didukung suami juga ya.
Aku mau bewe semalem liat judulnya ngeri, akhirnya baru pagi ini Teh, hahhaha
Ternyata isinya nggak seperti yang aku bayangkan xD.
Di kampungku wanita hamilnya juga setrong2 Teh. Nanem padi, bahkan ikut memanen. Alhamdulillah nggak kenapa2, asal tau dan yakin kalau kondisi tubuh dan kandungannya baik2 saja.
Btw Teh Okti bales yang ngetwit nggak? Pakai alasan kuntilanak itu sungguh ter la lu.
Balas Nyak, dan jadi bahan diskusi malah di komunitas pendakiannya…
Iya, bumil di kampung malah kuat2 ya
baca judulnya jadi geli sendiri, masih ada saja orang-orang yang percaya itu ya mbak
apa kalian kesulitan untuk mencari jaket kulit yang asli ataw asesoris yang terbuat dari kulit? kalau begitu jangan panik karena sekrang sudah ada tanpa harus keluar rumah di panganggurkulit.com anda bisa pilih-pilih jaket kulit yang anda suka karena kami meyediakan berbagai motip jaket kulit yang terbaru dijamin tidak mengecewakan kualitas dijamin bagus.
Keren banget Teh Okti, karena belum tentu banyak wanita hamil yang bisa menaklukkan puncak gunung, apalagi yang bisa mendapatkan restu suami dan keluarga yak.