Urusan batas tanah kebun milik almarhum mertua cukup menguras emosi dan biaya. Padahal sertifikat jelas ada kami pegang. Tentu saja kami tidak akan meng-hak tanah yang di luar batas kepemilikan. Kami menanami lahan tentu saja sesuai dengan kepemilikan dalam sertifikatnya.
Namun nyatanya jauh dari harapan. Mereka pemilik lahan yang berbatasan dengan tanah kami memiliki persepsi dan batas sendiri-sendiri. Sampai ada yang berani mengambil dan menanami lahan yang sudah kami tanami. Seberani itu padahal beliau termasuk tokoh masyarakat yang disegani. Lucunya saat diminta untuk memperlihatkan sertifikat tanah miliknya, menolak dengan alasan mendadak. Alasan tidak tahu dimana nyimpan sertifikat nya. Ada pula yang tidak bersedia datang saat pengukuran dengan alasan ada keperluan.
Merasa tidak akan berjalan dengan semestinya, karena masing-masing pemilik tanah memiliki batas tanah yang berbeda menurut akuan masing-masing maka tiada lagi jalan keluarnya kami memanggil mantri ukur, untuk mengukur lahan yang kami miliki sesuai dengan denah pada sertifikat.
Menurut kamus bahasa Indonesia, arti kata dari mantri ukur adalah pegawai yang pekerjaannya mengukur luas tanah. Karena profesi ini di kampung kami sangat jarang jadi tidak bisa semaunya melakukan pengukuran.
Mantri ukur yang kami panggil tinggal di Pagelaran, namun sehari-hari bekerja di Kabupaten Bandung. Saat sedang berada di Pagelaran Cianjur kami bisa meminta bantuannya untuk mengukur dan memperjelas sampai mana batas tanah yang kami miliki sesuai dengan sertifikat.
Itu pun ternyata tidak mudah. Meski disaksikan aparat setempat, tokoh agama dan saksi lainnya, namun ketegangan tetap terjadi. Masing-masing memiliki pendapat yang berbeda.
Mantri ukur menengahi dengan meminta semua sertifikat yang ada untuk diperlihatkan. Batas kanan, Utara dan Selatan alhamdulillah segera selesai karena ada sertifikatnya. Pun semua pihak menyadari dengan lapang dada seandainya ada pepohonan atau tanah yang terpakai. Saling mengikhlaskan.
Namun sisi bagian kiri ini cukup rumit. Selain jengkel kami pun hampir tidak bisa menahan tawa. Maaf pak tua, kami yang muda bukan berarti tidak menghargai. Lah sampeyan bagaimana mau dihargai kalau omongan dan sikap selama kurang dari satu jam di lokasi saja sudah plintat plintut seperti itu.
Intinya dia keukeuh batas tanah adalah pohon Rasamala dan pohon salam. Sedangkan batas sesungguhnya sesuai sertifikat jauh di luar area dua pohon itu.
Awalnya kami sama-sama tidak terima. Kami merasa ber-hak mempertahankan lahan yang sesuai dengan sertifikat. Orang tua kami mendapatkan tanah ini membeli, bukan dikasih wajar kalau mempertahankan hak. Sementara dia keukeuh dengan lahan yang sudah ditanami dan diakuinya.
Saat mau dibuktikan dengan pengukuran sertifikat lahan miliknya, dia tidak memberikan dengan banyak alasan. Mendadak, tidak tahu disimpannya dimana, dan kebohongan lainnya. Saya anggap bohong soalnya selama bicara di lokasi, sejak awal antara satu statement dengan statement dia selanjutnya selalu berubah-ubah. Mantri ukur saja tertawa katanya kok beda terus ya datanya? Makanya saya anggap dia berbohong saja.
Beberapa petugas di lapangan saya dengar mengatakan kalau dia sebenarnya tidak memiliki sertifikat. Hanya SPT saja. Tapi saya denger juga dari kepala desanya, kalau sertifikat dia tidak mungkin bisa dibawa secepatnya karena sedang jadi jaminan. Entahlah mana yang bohong pula diantara mereka.
Jengkelnya itu batas yang sudah diukur oleh mantri ukur, digeserkan lagi olehnya. Jadilah patokan berubah, pengukuran pun diulang lagi. Terus beberapa kali seolah dia tuh gak terima kalau tanah yang diakui olehnya sebenarnya adalah masuk ke dalam lahan kami sesuai dengan ukuran yang tertera dalam sertifikat. Yang kasihan kan mantri ukurnya. Bolak balik terus dia…
Sesuai saran dari mantri ukur, akhirnya kami merelakan untuk mengikuti kemauan dia. Sing waras mengalah meski sudah jelas yang tidak waras siapa.
Saya mengatakan tidak akan mengakui hak milik orang lain, mending hak saya diakui oleh orang lain asal dia bertanggung jawab dunia dan akhirat.
Mungkin dia tidak takut azab dan laknat atas orang yang merampas hak orang lain apalagi dalam hal urusan tanah. Padahal orang tersebut bergelar haji, anaknya jadi kepala desa dan ada yang sarjana hukum pula. Miris ya …
Saya dan suami disaksikan aparat dan masyarakat setuju batas bergeser ke dalam wilayah kami. Buat dia semoga segera bisa nonton sinetron ikan terbang supaya bisa melihat azab buat orang yang mengakui tanah bukan miliknya itu nanti adzabnya seperti apa.
Gak habis pikir saja kok tidak takut gitu ngambil milik orang lain sementara anaknya saja sarjana hukum dan pejabat daerah. Kalau saya jadi anaknya bukan hanya malu, tapi juga akan mengembalikan hak orang lain yang sudah diakui dengan sebaik-baiknya. Sehingga semua urusan clear, tidak ada unek-unek apalagi dendam.
Selama ngurus tanah tadi saja secara tidak langsung dia sudah memperlihatkan kebusukan wajahnya sendiri. Banyak saksi melihat kebohongannya. Naudzubillahimindzalik…
Selesai acara pengukuran, saya merasa salut dengan kesabaran mantri ukur. Satu kasus lahan kami saja, emosi saya hampir tidak bisa dijaga. Sementara mantri ukur tetap tenang dan profesional.
Padahal saya yakin ada banyak tugas kepengurusan tanah yang lebih pelik dari ini selalu dia kerjakan dan dapat diselesaikan. Semoga keberkahan menyertai mantri ukur selalu.
Ya Allah, berani bangeet itu orang ya, mengambil hak orang lain. Duh, speechless saya bacanya, juga salut atas kelapangan hati Mbak dan keluarga. Semoga diganti Allah dengan yang lebih baik ya Mbak.
Wah kalau masalah tanah gini emang harus segera di clearkan. Banyak cerita juga ada yang udah ada sertifikatnya eh masih ada pihak lain yang ngaku2. Aduh! Memang peran mantri ukur penting ya.
Wah iya, emang gitu KLO urusan tanah ya teh
Emang harus jelas dan sesuai dgn hukum saja
Banyak orang suka klaim milik orang
Baca ceritanya Teh Okti jadi ikutan emosi. Kok bisa yaaa…ngaku-ngaku gitu. Engga malu ya jadi omongan sedesa. Nah, kalau misalnya tetangganya Teteh mau jual, kan balik lagi sesuai sertifikat…
Kalau di kompleks udah dipager sih antar tetangga, kaplingnya segitu-segitunya.
Astagaaa saya bacanya ikut kesel, Mbak. Semoga orangnya dibukakan pintu hatinya, sadar diri kalau dia ngambil yang bukan haknya..
MasyaAllaah Mb Okti, ini kasusnya sama banget kayak tanahnya kakek saya :((
Mulanya luasnya 1300meter, tinggal 1100an lhoo, padahal kami juga sering nengok, tapi patoknya itu selaluuu aja ada yang mindahin. kok orang2 seperti ini tuh ngga takut dosa yaa mbaa memakan hak orang lain. Soal mantri ukur aku baru tahu nih mbaa, bisa kali yahh nanti aku nanya2 mb Okti untuk menghubungi mantri ukur ini
Boleh Mbak. Di setiap daerah, pasti ada mantri ukur. Apalagi kalau ada pemutihan wilayah, pengukuran lahan negara, dll. Kita bisa tanya, konsultasi dan memakai jasanya.
Luar biasa tetangga begini, bikin mangkel hati. Btw, ttg mantri ukur saya kerap dengar istilahnya tapi tidak tahu kalau pekerjaannya tuh khusus untuk ngukur2 tanah yang berselisih paham. ya sudahlah Mbak kalau begitu akhirnya ya, semoga mbak dan keluarga diberikan rezeki di lain tempat dengan lebih banyak daripada jumlah yang diambil oleh tetangga.
nyebelin banget ya orang yang begini. padahal mbak yang punya sertifikat tapi dia yang ngotot. katanya kalau urusan mengambil hak tanah begini ditagihnya di akhirat nanti
Kenapa selalu aja ada orang licik seperti itu ya mbak, semoga mereka diberi hidayah. Ohiya, aku baru denger nama Mantri Ukur, mungkin kalo ditempatku sebutannya lain ya, hehehe
Saya menggunakan istilah mantri ukur ngambil dari kamus besar bahasa Indonesia. Kalau istilah di daerah masing-masing mungkin ya berbeda-beda penyebutannya
Urusan duniawi, terutama batas tanah ini memang rawan.
Tapi dimana-mana, tanah dan harta benda memang kelak akan dipertanggungjawabkan. Jadi kudu super jeli dan hati-hati. Semoga si bapak yang keukeuh sehat selalu dan diberi kemudahan untuk ridho dengan batasan tanah yang sesuai dan digantikan dengan yang lebih baik lagi.
ya allah semoga allah kasih ganti yang lebih baik ya mbak, btw aku baru tahu ada mantri ukur.
Soal pertanahan ini sering buat emosi ya kak. Kamipun begitu pernah ngalami dan rasanya sakit. Semoga rejeki kita yang benar benar memilikinya diganti Allah dengan lebih baik
Memang ya, urusan batas kepemilikan lahan dsb ini rumit dan pelik. Semoga rezeki mbaknya senantiasa luas meski haknya sebagian diakui oleh orang lain.
Ya ampun, ikut kesel bacanya, Teh. Nggak habis pikir kok bisa beliau mengakui yang bukan haknya. Semoga teh Okti dan keluarga diberi rezeki yang berlimpah dan beliaunya diberi hidayah.
Manteman di daerah masing-masing sebutan untuk profesi mantri ukur ini apa ya? Boleh diinformasikan?
Terimakasih