Gempa Cianjur yang disebut sebagai duka Indonesia memberikan banyak pelajaran hidup dan kesempatan untuk mempraktikkan ilmu yang dimiliki sehingga bisa diambil manfaatnya. Dalam hal ini saya ibarat jadi jarum dalam tumpukan jerami. Ada namun tak berpengaruh.
Tapi tidak membuat saya kecil hati. Karena saya yakin dari hal-hal kecil yang dilakukan bisa memberi pengaruh dan bahkan menjadi hal besar.
Mau tahu contohnya? Lanjut baca cerita saya terkait kehidupan di pengungsian pasca Gempa Cianjur ini dan mari kita buktikan apa yang bisa kita dapat dari hasil saya belajar dalam menghadapi musibah ini.
Seperti kita ketahui, ibarat sudah mendarah daging, saling tolong menolong dan gotong royong alias kerja sama sebagai sebuah kearifan lokal masyarakat Indonesia tidak bisa kita sanggah apalagi saat ada bencana. Semangat masyarakat Indonesia sangat tinggi untuk meringankan beban saudaranya yang tertimpa musibah. Tapi tidak bisa dipungkiri juga, seringkali tingginya semangat itu tidak dibarengi dengan cermatnya perhitungan.
Sehingga yang terjadi di lapangan justru timbul masalah baru. Banyaknya bantuan yang datang secara serentak pada satu titik, mengakibatkan adanya penumpukan nasi bungkus. Padahal nasi dengan campuran lauk pauk tidak bisa bertahan lama. Akhirnya banyak tidak kemakan hingga mubadzir karena basi. Menyedihkan bukan?
Ada lagi, sampai viral parodi bapak-bapak di pengungsian menggunakan pakaian ibu-ibu seperti daster, gamis, jilbab dan sebagainya. Karena banyaknya kiriman pakaian layak pakai tanpa perhitungan yang matang. Asal kirim pakaian, tanpa memikirkan manfaat dan kegunaan. Salah siapa kalau akhirnya terjadi pembuangan baju bekas donasi yang tidak layak pakai, atau memakan tempat dan disingkirkan karena kurang kemanfaatannya?
Masih lebih baik menghormati kaum bapak yang mengunakan daster dan atau pakaian perempuan lainnya karena mereka memiliki alasan merasa sayang kalau pakaian yang jauh jauh didatangkan itu lalu misalkan dibuang.
Selama hampir lima hari bolak balik ke penampungan saya diam-diam mempelajari ilmu kehidupan. Ilmu dari orang-orang yang datang dari berbagai daerah, dengan berbagai macam sifat, watak dan perilakunya.
Salah satunya mempraktikkan ilmu di lapangan ketika ada bencana yang saya pernah pelajari dari komunitas relawan. Aksi peduli dari mereka, meski tidak ada hubungan kekerabatan tetap nomor satu atas dasar kemanusiaan. Mereka langsung bergerak membantu masyarakat terdampak gempa. Dan saya semampunya mempraktikkan itu ketika gempa datang di Cianjur.
Semoga ini bisa jadi contoh bagi teman-teman lain yang terlibat di lapangan dalam penanganan bencana, kapanpun dan dimanapun. Tentu saja sih harapannya jangan sampai ada bencana lagi ya.
Seperti diberitakan media dan sumber rilis pemerintah, lokasi prioritas pemberian bantuan Gempa Cianjur ada pada Desa Cijedil, Desa Sela Kawung, Desa Cugenang, Desa Warung Kondang, Desa Gasol, Desa Nagrak, Desa Tapal Kuda, Desa Buni Kasih, Desa Pacet, Desa Ciputri, Desa Mekaria, dan Desa Limbang Sari. Padahal masih ada banyak daerah lain yang juga sama terkena gempa dan mereka pun memerlukan bantuan.
Untuk penyaluran bantuan sejauh ini ada beberapa cara, pertama dengan datang langsung ke tenda pengungsi, atau datang langsung atau dikirim ke posko logistik pusat, dan bisa juga dikirim ke lembaga atau organisasi penggalangan dana & logistik.
Seperti yang saya lihat bantuan logistik alhamdulillah sepertianya cukup bahkan menumpuk di posko kota Cianjur. Permasalahan yang ada justru minim yang mendistribusikannya, terutama ke daerah-daerah terpencil.
Jelas ini perlu relawan distribusi logistik. Butuh pengantar logistik yang bisa menggunakan trail karena itu satu-satunya akses ke daerah yang akses jalannya tidak bisa dilalui kendaraan roda empat.
Desa Sarampad tempat sepupu dan keponakan menuntut ilmu luput dari tinjauan. Kami harus menjemput anak-anak Karena pihak sekolah menelepon mengabarkan sekolah roboh, anak didik semua dirumahkan secepatnya. Tidak ada kendaraan karena akses tertutup longsor. Akhirnya kami keliling. Kakak saya naik ojek turun ojek demi keselamatan bersama meski harus membayar per ojeg ratusan ribu rupiah.
Desa Mangunkerta yang juga masih berada di wilayah Cugenang sebagai titik pusat dampak gempa pun tidak menjadi daerah prioritas bantuan. Padahal banyak rumah rata dengan tanah dan korban meninggal dunia. Termasuk keluarga besar suami baik dari pihak ayah maupun ibu.
Kami ingin menjemput mereka tapi terkendala akses yang tertutup longsor dan kerentanan kesehatan para orang tua. Saat sepupu memilih bikin tenda sendiri secara ala-ala pun, banyak masyarakat sekitar kehilangan harta benda. Bagaimana jika rumah ditinggalkan ke pengungsian? bisa-bisa barang yang tak seberapa tapi hanya itu yang kami punya itu juga ikut lenyap.
Sebagai ibu rumah tangga satu keahlian yang bisa saya lakukan dengan sat set sat set adalah urusan dapur. Maka karena itu yang saya bisa, saya pun secara sederhana bikin gerakan dapur umum mini. Ya, paling enggak bisa memasok makanan buat keluarga di tenda manualnya. Syukur syukur bisa lebih dan dibagikan kepada sesama korban gempa juga.
Rumah almarhum mertua yang retak dan genting berjatuhan bisa segera ditutup supaya tidak membahayakan atau bikin rusak isi rumah. Dapur umum mini pun tercipta dengan peralatan sederhana juga.
Selanjutnya saya diantar suami yang sudah BDR sejak diumumkan Dinas Pendidikan pasca Gempa Cianjur belanja bahan makanan non instant dari pasar terdekat. Penting ya saya tekankan ini makanan non instan. Jika makanan instan sudah biasa maka saya ingin beda. Tepatnya ingin mereka yang kena bencana juga masih berkesempatan makan dengan menu normal. Bukan mie lagi-mie lagi. Alih-alih bisa sehat dan bahagia, yang ada bisa mengundang sakit pada dirinya.
Selain kirim makanan nasi bungkus yang sehat dan bernutrisi (meski tidak selalu dengan buah) dalam beberapa hari di awal bencana, kepada tenda pengungsi juga sebisa mungkin kirim gas, kompor, galon dan membelikan peralatan memasak sehingga mereka selanjutnya tidak bergantung kepada pemberian relawan.
Tahu sendiri orang tua dan anak-anak itu perut mereka tidak bisa disamakan dengan orang dewasa. Atau jika dipaksakan bisa, siap siap saja diikuti hal lain karena ketidak biasaan siklus hidup yang mereka jalani sebelumnya.
Tidak lupa juga memberikan bantuan peralatan mandi, membawakan selimut, alas tidur dll. Meski di rumah mereka ada, tapi rusak dan basah karena rumah kena gempa, lalu hujan terus mengguyur menjadikan isi rumah tak banyak bisa diambil manfaatnya lagi.
Bantuan makanan instan seperti yang kita lihat di media, dan saya lihat sendiri di lapangan, sesekali diperbolehkan. Daripada tidak ada makanan, bukan? Tapi saya juga ingin mempraktikkan jika para korban bencana juga harus makan sehat dan bergizi, agar pulih kondisi mereka tetap fit.
Begitu juga para relawan. Mie instant menurut penjelasan relawan lapangan itu malah kurang baik karena minim nutrisi dan butuh sangat banyak air. Padahal persediaan air minum bersih saat bencana ini langka.
Hal itu mungkin bagi pihak lain cukup ribet, merepotkan dan gak praktis. Tapi bayangkan dampak kedepannya?
Satu lagi, meski dalam kondisi bencana, kita tetap harus disiplin dalam penanganan sampah. Salut dengan relawan dari Dompet Dhuafa yang selain mengirim tenaga spesialis mereka juga memiliki team kebersihan sehingga lokasi dapur umum, penampungan dan posko selalu terjaga kebersihannya.
Jangan berpikir, ah lagi darurat bencana ini, jangan dulu mikirin soal sampah lah. Hust! Apa gak sadar, bisa saja bencana yang terjadi seperti banjir tuh salah satu penyebabnya juga adalah karena sampah? Selain sudah takdir Tuhan pastinya.
Sebagai emak rumah tangga yang bisanya sat set sat set di dapur saya mempelajari beberapa cara masak dan belanja bahan masakan agar minim sampah:
Beli minyak goreng dalam jerigen. Pakai galon untuk air minum dan persediaan air bersih, beli sayuran dalam karung, beras dalam sak, beli telur ayam dengan wadah dalam kotak kayu. Semua belanjaan itu jadi minim sampah plastik bukan?
Saat belanja bahan makanan, pilih bahan yang tahan lama disimpan tapi bergizi tinggi seperti kacang tanah, kacang hijau dll.
Demi menghemat harga dan meminimalisir sampah, sebaiknya membeli kemasan yang besar bukan saset-an. Jadi meski tetap ada yang kemasan, keukeuh masih bisa kita minimalisir ya.
Saat mendapatkan sumbangan bahan makanan basah, segera dahulukan untuk diolah dan dikonsumsi pada hari itu. Sehingga nutrisi masih bagus dan menghindarkan kerusakan sebelum diolah.
Dengan begitu, Insyaallah hal hal sepele itu akan membawa dampak yang cukup besar.
Intinya, sekecil apapun yang bisa kita lakukan, selama itu dalam kebenaran jangan kecil hati untuk menyuarakan dan bertindak. Mungkin kita bisa dibilang beda dengan yang lain. Tapi bukankah kita harus membiasakan yang benar, bukan membenarkan kebiasaan?
Seneng banget ternyata kebiasaan gotong-royong belum punah, ya. Aku juga suka banget mengamati bagaimana para tim penolong bekerja.