Obrolan di Dapur Tenda Tentang Pacaran di Usia Tua

Pacaran di Usia Tua: Modal Kecil Cinta Besar

Euleuh euleuh… geuning sadayana?” (Wah, ternyata semua ikut?) Sambutan Bu Neng begitu akrab dan hangat. Beliau rekan kerja suami di sekolah dan sesama pembina Pramuka. Hanya Bu Neng juga aktif di Kwartir Cabang Kabupaten Cianjur.

“Enggak semua sih, Bu. Ada yang tertinggal…” jawab saya asal.

“Lho, Saha?” Tanyanya heran? “Oh! Si Aa Fahmi ya. Bagaimana kabarnya di pondok? Semoga sehat selalu ya.” tuh, saking tanpa jaim nya, begitulah beliau selalu akrab bersama kami. Nanya sendiri, dijawab sendiri, untung saya masih bisa nahan tawa.

“Jadi ceritanya ini teh duaan terus aja ya kemanapun. Pacaran lagi di usia tua ini mah ya?” Bu Neng kembali bercanda.

“Betul Bu. Sekarang, kami pacaran lagi, lebih banyak berdua karena santu anggota lainnya sedang dikarantina.” Canda saya tak kalah absurd nya. Kami semua pun tertawa.

“Saya tinggal dulu, ya. Silakan atur aja semua baik putra maupun putri. Pengalaman kemping kalian lebih banyak daripada saya. Kalau ada kendala, segera hubungi buat kita cari solusinya bersama.” Pamit Bu Neng meninggalkan kami di area perkemahan, menuju sekretariat panitia Jambore Pramuka Kab Cianjur tengah November kemarin.

Kami berpisah dari area perkemahan tenda putri menuju tenda putra di sebelah bawah bagian dari Bumi Perkemahan Cibodas. Berhubung saya ikut suami, mau gak mau saya mendapatkan tempat untuk tenda di sana. Beruntungnya dekat aliran sungai dan kamar mandi umum.

Jamcab Cianjur

Sampai di lokasi perkemahan regu putra, ternyata tenda belum dipasang. Karena tanah becek dan banyak air menggenang, anak-anak yang meskipun sudah terlatih mendirikan tenda malah berdiam diri dengan alasan menunggu suami, sebagai pendamping regu.

Takut keburu hujan turun lagi, suami segera memerintahkan beberapa anak untuk pasang kayu sebagai alas tenda yang memang sudah disediakan panitia. Sementara saya, walaupun sebagian anak ada yang belum kenal langsung membantu mereka apa saja yang saya bisa, seperti cek perlengkapan tenda, cek persiapan dapur dan cek perlengkapan seragam.

Benar saja, hujan yang turun terus menerus membuat mereka malas gerak sehingga banyak diam dan akhirnya semua persiapan masih belum dilengkapi. Termasuk regu putri (walaupun sudah ada pendamping sendiri) tapi sepertinya persiapan belum sesuai rencana.

Hingga malam, perlengkapan pakaian khusus regu putra masih saya persiapkan (termasuk pakaian untuk pentas seni malam keesokannya).

Banyak berinteraksi dengan anak, mereka akhirnya semakin kenal dan akrab.

“Terimakasih Bu. Untung ada si ibu… kita jadi dibantuin. Pak Iwan belum tentu bisa bantuin soal pakaian ini,” kata sang ketua regu saat menerima kostum Joko Tingkir nya yang siap pakai.

“Ya iya. Bapak mana bisa bikin begituan, selama latihan kan juga bukan bapak yang pegang masalah kostum dan urusan dapur mah.” Suami berkilah. Karena saya tahu, sebenarnya dia bisa kok menjahit dan memasak. Malah lebih lihai dari saya.

Jamcab Cianjur
Pentas seni pertama masuk 5 besar

“Ibu suka ikut kemping jambore juga ya?” Faisal, anak kelas satu bertanya.

Saya jelaskan kalau ikut jambore Pramuka baru dua kali ini. Itu pun karena menemani suami. Tapi kalau kemping di alam bebas ya sering, malah udah mau pensiun sepertinya.

“Ibu ga ada siapa-siapa di rumah?” tanyanya lagi.

“Enggak ada. Makanya ikut ke tempat kemping jambore selain bisa bantu kalian, juga karena di rumah ga ada siapa-siapa. Putra ibu sedang mondok. Jadi kalau gak ikut kesini, di rumah sendirian.”

Kedelapan orang anggota tegu putra pilihan dari sekolah tempat suami ngajar itu pun mengerti. Setelah semua beres dan siap, mereka tinggal mengikuti upacara pembukaan.

Padahal saya bawa tenda sendiri. Tapi Bu Neng sudah menyiapkan tenda yang cukup untuk saya. Alhamdulillah walau hujan terus mengguyur, tapi bisa tidur lumayan nyenyak.

Senangnya lagi suasana di Bumi Perkemahan Cibodas ini sangat mendukung untuk mengerjakan beberapa pekerjaan yang belum terselesaikan. Akhirnya sekali kayuh dua tiga pulau terlampaui. Ikut suami, bisa membantu anak-anak sekaligus menyelesaikan pekerjaan sendiri.

Saat sarapan pagi, pendamping putri merasa takjub ketika menyaksikan saya menyiapkan sarapan untuk suami. Walaupun sederhana tapi penuh cinta dan kebersamaan. Anak-anak regu putra juga tak ketinggalan, sehingga menimbulkan keriuhan yang acapkali bikin tetangga Kwartir lain melirik ke tenda kami karena mungkin merasa terganggu atau penasaran, melihat kami makan bersama sambil bercanda.

Saat hujan deras, kami duduk bersama di bawah naungan terpal di depan tenda. Menikmati suara hujan sambil berbagi cerita mimpi masa depan. Eaa…

Ketika perwakilan regu telah selesai mengikuti kegiatan dan sesekali mereka mengeluh, ada kekhawatiran kemungkinan kalah, saya justru tetap menyemangati mereka.

“Apapun hasilnya kita terima saja. Bersyukur hari ini kita masih sehat dan bisa mewakili kecamatan berada di sini. Percaya kalau kegagalan itu sukses yang tertunda asal kita bisa memperbaikinya.”

Dukungan itu semoga membuat mereka bangkit. Bahagia melihatnya ketika di tengah hujan badai sekalipun mereka tetap saling menggenggam tangan, semangat untuk mempersembahkan hasil terbaik untuk mengharumkan nama Kwartir.

Jamcab Cianjur
Akhirnya perjuangan membuahkan hasil. Kwartir kami juara dua pentas seni.

Kesuksesan itu bukan tentang apa yang kita raih, tapi tentang bagaimana kita menjalankan dan mendapatkan pelajaran hidup yang bermanfaat dari semua proses yang dilewati.

Hasilnya, pentas seni yang dikhawatirkan gagal Alhamdulillah berhasil masuk lima besar. Itu tandanya malam api unggun nanti harus tampil lagi untuk memperebutkan juara sebenarnya.

“Pasangan romantis kita ini berjasa banget nih bisa membawa semangat buat anak-anak masuk babak final.” Kata Bu Neng seperti biasa sambil bercanda.

“Nah anak-anak contoh bagus ini sebenarnya. Jangan pacaran dulu kalau masih sekolah. Pacaran nya ntar aja seperti Pak Iwan dan istrinya kalau sudah tua…” lanjut Bu Neng dan semua pun tertawa.

“Tapi betul lho, barudak… nanti setelah kalian dewasa dan jadi orang tua, akan terasa kalau kesetiaan dan dukungan pasangan itu lebih berharga daripada harta. Betul kan Bu?”

Loh, Bu Neng kok malah meminta pendapat saya, sih? Kena todong nih. Akhirnya saya tersenyum dan mengangguk.

Jamcab Cianjur
Istirahat di Kebun Raya Cibodas dijadikan sesi curhat anak-anak

Sebagaimana yang saya share kepada mereka, kalau kebahagiaan lahir itu muncul bisa dari hal sederhana, seperti makan bersama, saling mendengar, dan saling percaya.

Saya dan suami dianggap mereka pasangan ideal dan harmonis, padahal kami juga sering banget bertengkar.Justru perjalanan bahagia itu ketika bisa menikmati prosesi secara bersama, dan kebahagiaan bagi seseorang bisa jadi bukan tujuan akhir.

Ketika anak-anak kembali mengikuti kegiatan di hari terakhir jambore, di dapur tenda tinggal saya dan suami, Bu Neng dan Kak Ryan dari Kwarcab dan Bu Zahra pendamping putri serta Kak Fikri dan temannya dari Pasirkuda yang baru datang. Kami pun melanjutkan obrolan.

Absurd nya Bu Zahra yang masih lajang, malah minta motivasi bagaimana tips pernikahan bahagia. Katanya melihat saya dan suami kok kompak banget.

Sepertinya Bu Zahra ini dapat informasi beracun dari Bu Neng. Mengingat saya aja baru mengenal Bu Zahra itu ya kali ini karena Bu Zahra memang baru masuk jadi tenaga kependidikan di sekolah tempat suami dan Bu Neng ngajar semester ini.

“Tepat sekali, Bu Zahra bertanya pada ahlinya, “ konyolnya Bu Neng malah ngomporin begitu. Katanya sebagai sesepuh di situ (usia saya dan suami memang paling tua bahkan dibanding Bu Neng sekalipun) sudah seharusnya saya dan suami menurunkan ilmunya kepada anak muda (pada akhirnya kami mengetahui kalau teman Kak Fikri yang diajak dari Pasirkuda, ternyata itu calon nya Bu Zahra).

Mau gak mau cerita saya pun mengalir begitu saja. Kalau pernikahan bahagia bukanlah dongeng yang hanya ada di buku cerita. Pernikahan bahagia itu bisa nyata, asal tumbuh dari komitmen, kesabaran, dan cinta yang terus dipupuk setiap hari.

Banyak pasangan bermimpi memiliki pernikahan yang langgeng, rumah tangga harmonis namun sering lupa bahwa kebahagiaan tidak datang dengan sendirinya—melainkan harus diciptakan.

Kunci pernikahan bahagia menurut pengalaman saya sih harus dilandasi dengan komunikasi yang jujur. Jangan biarkan masalah kecil menumpuk. Bicara dengan hati, dengarkan dengan telinga, dan pahami dengan jiwa.

Walaupun saya dan suami dulunya teman sekolah dan usia tidak banyak jauhnya namun kami jelas memiliki banyak perbedaan. Saling menghargai perbedaan adalah kunci selanjutnya.

Jamcab Cianjur

Pasangan bukanlah cermin diri kita. Justru perbedaanlah yang membuat hubungan kaya dan penuh warna.

Saya dan suami memulai semua dari nol. Diawali dengan kebersamaan sederhana (bahkan sampai sekarang pun kami tetap hidup sederhana) karena kami meyakini kebahagiaan tidak selalu berarti serba mewah.

Ikut acara suami kegiatan kemping dari sekolah dan membantu sebisanya bisa jadi momen paling berharga dan jadi kenangan indah. Sebaliknya kalau saya ada acara blogger atau terkait pekerjaan lainnya suami berusaha mengantar dan jika bisa ikut berpartisipasi.

Saya dan suami saling mendukung. Dukungan tanpa syarat itu yang menjadikan saat pasangan jatuh, pasangan lainnya segera genggam tangannya. Saat pasangan berhasil, rayakan bersama. Dukungan adalah energi yang menjaga cinta tetap hidup.

Saya dan suami semakin lengket bukan karena bucin. Tapi karena memiliki tujuan yang sama. Merencanakan masa depan termasuk bagaimana membesarkan anak.

“Buat Bu Zahra, Kak Rian dan Kak Fikri serta Kak yang satu ini (sampai saat itu saya belum tahu siapa nama calon nya Bu Zahra ) cukup tentukan saja dulu dengan pasangan nya kelak, apakah ada tujuan bersama.

Rencanakan dari hal kecil seperti menabung hingga mimpi besar seperti membangun rumah. Tujuan bersama akan membuat perjalanan kita nantinya jadi lebih bermakna dan terarah.

”Huhuy!…”

Tepuk tangan dan seruan tiba-tiba dari Bu Neng membuyarkan suasana di dapur tenda yang awalnya hening jadi riuh lagi.

Jamcab Cianjur

Mungkin ini hikmah dari keberangkatan anak semata wayang kami ke pondok pesantren. Jadinya setiap hari saya dan suami bisa fokus mengisi waktu.

Ibarat membuat buku, setiap hari kami mengisi halaman baru dalam buku dengan cinta dan kebersamaan.

Dalam buku itu ada bab penuh tawa, ada bab penuh air mata, tapi semuanya membentuk kisah indah.

Pernikahan bahagia bukan tentang siapa yang paling sempurna, melainkan siapa yang paling setia untuk tetap ada.

Pesan motivasi saya dan suami tidak muluk-muluk, “Bahagia itu bukan tentang memiliki segalanya, tetapi tentang selalu merasa cukup dengan kehadiran pasangan di sisi kita.”

“Ehem! Ehem! Gak salah nih aku ajak kamu jauh jauh biar bisa nemanin ayang bebeb,” ujar Kak Fikri sambil melirik temannya yang hanya mesem-mesem menahan tawa. Dan saya baru merasa curiga ketika Bu Zahra pun secara bersamaan terlihat grogi. Oalah, malu-malu kucing rupanya.

Untung apa yang saya sampaikan hanya berdasarkan pengalaman sendiri saja. Pas tahu dari Bu Neng kalau teman Kak Fikri itu memang calon nya Bu Zahra. Jadi walaupun malu-maluin ga apalah toh itu memang pengalaman saya dan suami.

Andai waktu istirahat masih lama, mungkin kami akan terus bertukar cerita. Obrolan saat itu bubar dengan sendirinya ketika hujan kembali turun dan semua kembali ke tenda masing-masing. Persiapan makan malam harus segera disiapkan.

9 thoughts on “Obrolan di Dapur Tenda Tentang Pacaran di Usia Tua”

  1. Menarik banget nih, ngebahas soal pacaran di usia tua bikin aku mikir ulang. Kadang kita lupa bahwa cinta dan kebersamaan nggak punya batas usia. Jadi ngingetin kalau kasih sayang bisa datang di waktu yang paling tak terduga

    Reply
  2. Hahahah bikin saya ketawa tapi juga terharu. Suasananya kebayang seperti sedang duduk santai sambil dengar cerita yang lucu tapi juga menyentuh. Ada rasa lega melihat bahwa cinta tidak pernah terlambat dan selalu punya ruang di hati siapa saja. Cerita seperti ini bikin kita sadar bahwa kebahagiaan bisa muncul dari percakapan sederhana

    Reply
  3. Baca Cibodas, saya jadi ingat pernah gethering Saat masih bekerja di sebuah PT di kawasan Industri Pulo Gadung Mbak. Tapi apa ini yang dipakai buat perkemahan juga ya? Pastinya pas pulang beli kripik bayam hehehe.
    Nah. Karena sekarang berduaan saja dengan Pak Iwan. Karena Fahmi mondok, jadi memang kayak orang pacaran saja ya Mbak..banyaknya waktu bersama Membuat quality time semakin meningkat.

    Reply
  4. Asyiknyaa … kemah sambil pacaran lagi sama suami.
    Setuju, Teh, kebersamaan dengan pasangan memang harus kita ciptakan supaya bisa terasa pacaran terus.
    Jadi pingin kemping juga, tapi kayaknya harus ditunda dulu soalnya lagi musim hujan. Saya gak begitu kuat kalau harus bermalam di tenda di tengah cuaca dingin.

    Reply
  5. Wah senangnya bisa quality time berdua bareng pasangan halal. Kalau saya anak-anak masih pada usia sekolah dasar di rumah, yang mondok baru si sulung, jadi nge-date nya masih suka banyakan.. hehe.
    Tapi kadang pergi berdua juga kalau anak-anak bisa dititipkan, karena pacaran dengan pasangan halal itu memang penting, ya biar komunikasi intim kita tetap terjalin tanpa terhalang usia

    Reply
  6. Obrolan di dapur tenda ini hangat dan membumi sekali! Kisah “pacaran di usia tua” Bapak dan Ibu benar-benar menginspirasi. Melihat Bapak dan Ibu tetap kompak dan saling dukung, bahkan saat kemping sambil membimbing anak-anak, itu definisi cinta sejati yang sederhana namun kuat. Pesan bahwa kebahagiaan harus diciptakan, bukan sekadar dinantikan, sungguh mengena.

    Reply
  7. Ahhh setuju sekali kalau bahagia itu bukan tentang punya segalanya, tapi gimana caranya buat ngerasa ‘cukup’ . Cukup dalam segala hal ya mba. Pasangan, orang tua, anak juga rejeki lainnya. Langgeng terus ya mba

    Reply
  8. Kalau untuk pasangan suami istri pacaran itu perlu untuk merawat cinta…apalagi kalau sudah lama nikahnya..kalau gak dirawaat yaa ntar luntur cintanya….saya juga suka kemping berdua suami buat salah satu upaya merawat cinta….seruuu sih kemping tuh

    Reply

Leave a Reply to Andrew Pradana Cancel reply

Verified by ExactMetrics