Pelajaran dari (Kiamat Kecil) Hidup Tanpa Listrik 3 Hari 3 Malam

Pelajaran dari (Kiamat Kecil) Hidup Tanpa Listrik 3 Hari 3 Malam

Badai Dahlia tidak hanya membawa bencana tapi juga membawa pelajaran hidup yang teramat berharga buat saya, keluarga dan mungkin seluruh warga Kabupaten Cianjur bagian selatan.

Karena hujan angin yang terjadi beberapa hari secara terus-menerus membuat tanah labil, pohon tumbang dan banyak tiang listrik tegangan tinggi rusak berat. Tertimpa pohon, tiang ambruk terbawa longsor dan tiang patah karena kerusakan. Semua itu membuat aliran listrik khususnya ke wilayah Sukanagara, Pagelaran, Tanggeng, Sindangbarang dan kecamatan lain di wilayah selatan Cianjur mati total.

Karena kerusakan cukup parah, ditambah lokasi kerusakan berada di kontur tanah yang rawan longsor, tebing disertai cuaca buruk mengakibatkan perbaikan tidak bisa dilakukan secepatnya. Dampaknya kami warga Pagelaran harus merasakan hidup dalam kegelapan selama hampir 3 hari 3 malam!

Bayangkan di zaman serba canggih dan modern ini, dimana apa-apa semua hampir menggunakan tenaga listrik tiba-tiba saja pada akhir November kemarin aliran listrik mati total tanpa persiapan sama sekali. Saya, keluarga dan tetangga hidup seperti ikan yang kekurangan air saja. Hahaha! Iya. Kami menggelepar blingsatan.

Malam peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW yang bertepatan dengan malam 1 Desember kami lalui dengan keributan kecil mengeluarkan lampu charge, mencari lilin, berusaha memperpanjang nyawa gadget dengan menggunakan power bank seadanya dibarengi perasaan takut karena di luar cuaca makin memperburuk suasana.

Sudah hujan dan angin tiada henti ditambah tidak ada listrik maka kampung kami hitam, gelap dan sepi. Menyerupai daerah mati. Anak saya Fahmi 3 malam itu tidur selalu megang saya. Kalau ketahuan pegangannya lepas dia bakal teriak dan mencari.

“Seperti tidur saat kemping di gunung saja, takut hujan anginnya besar. Mana gelap lagi,” begitu katanya sehingga ia tidak mau jauh dari saya karena takut.

3 hari 3 malam yang sangat berat kami lalui namun akhirnya berhasil kami lewatkan. Membayangkan semua dalam kondisi tenang saat ini, saya kumpulkan beberapa pengalaman yang saya dapat selama hidup tanpa listrik 3 hari 3 makam kemarin. Semua itu kemudian saya anggap sebagai pelajaran dari kiamat kecil yang kami rasakan.
Dan pelajarannya itu diantaranya:

 

1. Perlakuan Alam

Secara tidak langsung kerusakan listrik yang menimpa kami di wilayah Cianjur Selatan adalah teguran Sang Pencipta. Bagaimana manusia memperlakukan alam, sehingga alam pun kembali memperlakukan manusia dengan mudahnya.

Buang sampah di sungai, penebangan pohon (liar) tanpa reboisasi, boros sumber daya alam (termasuk boros listrik dan air) serta penggunaan zat kimia secara berlebihan semua itu menimbulkan dampak kerusakan yang tidak sedikit. Mungkin generasi saat ini tidak merasakan. Tapi bagiamana dengan anak cucu kelak?

Hujan badai seminggu lebih tanpa henti membuat aktivitas banyak terhambat. Longsor, pergerakan tanah, banjir, dan pohon tumbang menjadi penyebab listrik mati.

Mungkin… jika saja saya dan keluarga tidak buang sampah sembarangan (apalagi ke sungai) cerita kerusakan alam akan sedikit berkurang. Saat kerusakan alam dapat diminimalisir iklim dan perubahan cuaca tidak akan signifikan terganggu.

Terasa bersalah dan kesadaran “untuk hidup lebih baik” mulai muncul ketika dengan terpaksa mengalami “hidup susah” dimana segala pemenuhan kebutuhan dilakukan kembali secara manual. Mulai masak nasi, bikin air panas, penerangan pakai lampu cempor dan lilin (ada lampu charge tapi bertahan hanya semalam saja) dan saya beserta kekuarga hidup murni tanpa informasi dari luar karena sinyal ikut lenyap ditambah gadget terbatas nyawanya.

Setelah digembleng puasa gadget selama hampir 3 hari itu kini saat listrik menyala lagi dan semua kembali normal saya merasa harus lebih perhatian lagi supaya tidak boros dalam penggunaan sumber daya alam.

Setelah merasakan betapa kesalnya nge-charge hp dari tenaga listrik diesel karena super lamaaa… kini saya tak lagi membiarkan charger hp tetap nempel di stop kontak listrik rumah. Dulu biasanya dibiarkan saja. Kini segera cabut setelah selesai charge. Baru itu yang saya bisa. Besok moga akan ada kebiasaan kurang baik lainnya yang bisa saya ubah menjadi lebih baik.

2. Menumpuk Makanan

“Ibu lihat! Itu darah…”

Teriak Fahmi di hari kedua listrik mati total, mengejutkan kami. Dikira ada apa. Ternyata ada air yang menetes dari lemari pendingin. Tapi warnanya merah? Ya Allah ternyata daging, ikan dan semua dalam freezer meleleh!

Setiap hari pasar di kecamatan, saya selalu berangkat untuk membeli berbagai ikan, sayur dan buah. Kalau sekali saja tidak ke pasar, dalam benak saya muter mencari jalan. Besok masak apa dong? Di kulkas kan tidak ada apa-apa. Begitu dan selalu begitu.

Tapi buktinya, saat listrik mati ini saya bagai digampar oleh bahan makanan yang selalu saya simpan-simpan itu. Karena kalau tidak segera dimasak pasti rusak (mubadzir) maka saya berinisiatif langsung mengeluarkan semua sayur dan ikan dari kulkas dan segera memilah mana yang harus segera diselamatkan.

Ayam 0.5 kg, daging sapi 2kg, ikan 0.5 kg ditambah bakso dan sosis beberapa bungkus. Itu yang harus saya eksekusi secepatnya dari freezer. Belum ikan asin, pindang, tahu tempe, dan sayuran hijau beberapa plastik di bagian bawah kulkas.

Ternyata selama ini saya bilang ga ada yang bisa dimasak itu bohong. Tuhan menampar saya dan membukakan mata ini dengan memperlihatkan semua bahan makanan dalam lemari pendingin yang harus segera dimasak. Akhirnya sebisa mungkin semua itu saya masak. Karena tidak mungkin habis kami makan (ditambah hati tidak tenang dan tidak ada nafsu makan karena ketakutan akan ada bencana susulan lainnya) maka hasil olahan itu kami berikan saja kepada yang lebih berhak.

Ini cara Tuhan memperingati saya yang selalu merasa kekurangan terkait makanan.
Minggu hari pasar ini saya seperti biasa kembali berangkat ke pasar. Tapi sudah diniatkan ke pasar kali ini beli sayur dan ikan sebagai lauk pauk SECUKUPNYA saja.

Pelajaran saat listrik mati membuat saya harus mengeluarkan semua apa yang saya simpan cukup sekali saja saya alami. Selebihnya biar saya serahkan kepada Nya.

3. Tergantung Gadget

Hari pertama listrik mati saya masih bisa intip hape meski sinyal datang dan pergi. Power bank masih bisa membantu memperpanjang nyawa hape. Baru hari kedua sampai malam keempat saya benar-benar pasrah karena hape mati total.

Orang pun berbondong-bondong numpang nge-charge hp di rumah tetangga yang punya mesin diesel. Suami juga sempat charge hp di mesjid yang setiap waktu solat menyalakan diesel. Karena itu medsos suami sesekali aktif dan update status terkait kondisi kampung.

Selebihnya saya memilih diam saja. Saya pikir mungkin saat listrik mati total ini saatnya saya istirahat dari aktivitas dunia maya yang selama ini menjadi usaha dan sekaligus sumber penghasilan saya.
Dua hari terakhir itu saya belajar ikhlas untuk melupakan gadget, media sosial, blog serta semua tetek bengeknya. Selama listrik mati saya isi hari lebih banyak dengan gogoleran bareng anak, bermain menemani anak-anak mengaji, dan aktivitas produktif lainnya.

Listrik mati memberikan pelajaran hidup kepada saya untuk lebih bisa memanajemen waktu terkait dunia nyata dan dunia maya. Seharusnya setelah listrik kembali nyala saya lebih bisa mengontrol diri dalam menggunakan gadget dan internet. Semoga.

4. Peduli Sesama 

Namanya juga bencana, meski tidak separah di Pacitan atau Bali, namun tetap kejadian yang tidak terduga itu menggiring manusia menjadi lebih peduli dan saling bantu, tanpa melihat siapa dan orang mana.

Kalau saja listrik tidak mati, mungkin tidak akan ada warga kampung yang silih berganti datang ke rumah orang terkaya di kampung meski niatnya datang hanya untuk numpang ngecharge ponsel dari tenaga diesel yang dimilikinya. Karena listrik mati, interaksi dan peduli sesama itu timbul dan mendekatkan satu sama lain.

“Teh, mau cas hp gak? Saya mau ke rumah Pak Anu numpang nge cas. Kalau mau saya bawa sekalian…” ucap seorang anak tetangga menawarkan diri.

Dia jadi peduli kepada saya dan baik mendayu! ke saya adahal beberapa hari sebelumnya saling sapa saja kagak. Hehehe…

Begitu juga soal makanan, serta hal-hal lain yang sifatnya diperlukan umum. Warga yang punya tampa diminta langsung bersedia untuk berbagi dengan tetangga. Ah, betapa indah kehidupan ini jika setiap saat –tampa harus menunggu ada bencana dulu—satu sama lain saling peduli.

5. Kepompong Kiamat Kecil

Ada banyak sisi positif yang saya temukan dan hikmah dari masa-masa kurang lebih 3 hari 3 malam hidup dalam kegelapan alias tanpa adanya aliran listrik. Ibarat kepompong, mungkin 3 hari itu menjadi masa-masa penggodokan (puasa) kami sebelum keluar dari masa sulit itu dan memasuki zona nyaman setelah kami menjelma menjadi (ibarat) kupu-kupu.

Kiamat kecil yang telah kami lalui itu semoga berhasil menggembleng kami menjadi pribadi yang lebih baik saat listrik kembali menyala lagi. Insya Allah

Leave a Comment

Verified by ExactMetrics