Suka Duka Ngasih Jajan Anak di Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor

Mau kaya mau miskin, uang jajan anak di Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor (PMDG) semua sama dibatasi sebesar sepuluh ribuan sehari.

Ini berdasarkan pengalaman saya sebagai wali santri saat ini ya. Karena bisa saja pengalaman saya beda dengan kondisi atau aturan beberapa taun lampau atau beberapa tahun kemudian… Dan harus tau antara Gontor Putra dan Gontor Putri juga besaran uang jajannya beda ya.

Mau berjuta-juta orang tua ngasih bekal buat anak di Gontor, yang bisa dinikmati anak per hari tetap hanya sepuluh ribu. Atau bisa saja lebih dari itu, tapi jatah besok dan selanjutnya bisa berkurang karena pengambilan uang jajan anak diberikan perminggu.

Jika sehari sepuluh ribu maka uang jajan untuk tujuh hari bisa mengambil sebesar 70.000.

Anak bisa saja menghabiskan semua uang itu dalam sehari. Tapi esok dan selanjutnya sampai tiba hari pengambilan uang bekal lagi, gak bakalan bisa jajan. Kok bisa? Kan uang jatahnya jajan tujuh hari udah sekaligus dihabiskan…

Ustadz bagian keuangan bekal anak tidak akan mudah memberikan uang jajan walaupun tabungan siswa nya masih banyak, sebelum sampai tiba waktunya dan atau ada alasan yang bisa dipertanggung jawabkan.

Siapa pun tidak boleh memberikan anak didik Gontor uang selain melalui tabungan siswa yang dikelola pihak pondok. Kalau ketahuan memberikan uang di luar tabsis, orang tua akan mendapatkan teguran dan anak yang bersangkutan akan mendapatkan sanksi dan hukuman.

Tujuannya apa ya jajan anak saja kok “dibatasi”? Ya, itu bagian tersendiri dari otoritas Gontor dalam mendidik anak supaya terbiasa hidup sederhana, tidak foya-foya, bisa menikmati dan mensyukuri yang sudah jadi rezekinya yang ditetapkan.

Dengan persamaan itu, mau anak sultan sekalipun kalau masih belajar di Gontor tetap besaran uang jajannya sama dengan anak dari kalangan biasa. Diharapkan tidak akan ada yang merasa unggul dalam hal besaran bekal.

Latanza Gontor Ponorogo
koperasi pelajar di Gontor Kampus 9 tidak selengkap di koperasi pelajar Gontor di Jawa.

Ketika Fahmi, anak saya ditempatkan di Gontor Kampus 9 Solok Sumbar, permasalahan muncul manakala berkaitan dengan jatah makan dari dapur asrama.

Ketika anak-anak lain menelepon kepada orang tuanya dan orang tuanya menceritakan lagi di grup wali santri kalau makanan d Gontor Kampus 9 itu katanya enak-enak serasa makan di warung nasi Padang, sebaliknya dengan anak saya, ia justru mengeluhkan jarang ambil jatah makan!

“Lho! Kenapa Mi? Ga boleh gitu, apalagi waktu sarapan, itu harus dilakukan supaya kuat. Jangan malas, paksakan makan ya, bla…bla…bla…” saya terus ngomel sampai panjang lebar. Maklum emak yang khawatir akan kondisi anaknya tau sendiri bagaimana kalau udah merepet. Bahasanya pasti kemana-mana.

Tau apa jawaban Fahmi?

“Ami malas makan kalau nasinya atau lauknya pedas Bu. Disini hampir setiap hari masakannya berbumbu pedas. Ami kan gak suka. Pernah maksa makan, tapi jadi ga bisa belajar ga bisa tidur karena sakit perut…”

Oalah, Mi… Kok melas tenan…

Pantas badanmu yang awalnya montok, kini jadi kurus kering. Selain karena lelah beraktivitas juga pikiran yang terus diperas ternyata juga karena asupan makanan yang tidak normal.

Tadinya saya mau kasih ide, ya udah kalau gak sarapan nasi beli roti atau apa saja yang bisa jadi pengganti sarapan di koperasi pelajar sana.

“Ya gak kenyang juga Bu. Harga roti disini satu buah bisa delapan ribu. Kalau pagi beli, siang dan sore Ami gak bisa jajan, kan uangnya hanya dijatah sepuluh ribu sehari …”

Gusti… Nangis bener saya mendengar laporan anak begitu.

Bener juga uang jajan yang dikasih lewat ustadz kan hanya sepuluh ribu saja. Tapi bagaimana dengan permasalahan makan anak saya ini? Apa setiap hari harus nahan lapar?

Roti buatan Gontor
Roti produk Gontor. Varian rasanya banyak. Rasanya enak. Saya sampai beli beberapa bekal pulang ke Cianjur

Ayahnya Fahmi bilang, coba Ami minta ke bagian piket dapur, jatah untuk Fahmi kalau pas lauk atau sayurnya pedas minta dipisah saja.

Tapi anak saya ga berani. Tahu sendiri Fahmi mah pemalu dan udah takut duluan. Mungkin karena itu selama ini memilih diam dan menahan lapar saja daripada maka yang pedas tidak disukainya.

Akhirnya saya cari info ke Bagian Pengasuhan. Menceritakan permasalahan anak sekaligus meminta solusi. Bukan minta anak diprioritaskan tapi kalau anak gak suka pedas, dipaksa juga jadi sakit dan malah repot, kan jadi merugikan banyak hal.

Akhirnya didapatkan solusinya Fahmi bisa minta nasi putihnya saja kalau pas lauk atau sayur dari dapur asrama berbumbu pedas. Sebagai pengganti lauknya, saya segera kirim paket berisi abon, kering tempe, kering kentang, bawang goreng dan olahan makanan tahan lama lainnya yang disukai anak.

Meskipun demikian saya tetap menasihati Fahmi untuk berlaku dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung. Secara hidup dan menuntut ilmu di daerah Sumatera Barat, Fahmi harus sedikit demi sedikit bisa menyesuaikan diri.

Mulai mencoba mencicipi masakan khas dari sana. Memang tidak suka pedas, tapi saya yakin akan bisa kalau terbiasa. Tidak bisa instan tapi tidak ada salahnya juga terus dicoba.

Alhamdulillah Fahmi nurut. Sedikit demi. sedikit Fahmi mencicipi lauk atau sayur dari dapur asrama walaupun pedas dan setelahnya harus minum berbotol-botol air putih. Tidak setiap hari tapi tidak bablas tidak makan seharian itu. Setidaknya begitulah yang disampaikan ustadz pembimbing dan mudabbir mengenai kondisi jam makan dan jatah Fahmi yang terbaru.

Merasa Fahmi akan bosan dengan menu begitu-begitu saja, saya nyari teman yang tinggal di sekitar Sumbar yang sekiranya bisa dimintai tolong untuk membelikan makanan siap antar ke pondok Gontor.

Maksud saya, saya kirim uang ke dia, lalu dia tolong pesankan makanan yang bisa dikirim ke pondok Gontor. Yang antar kan pihak ojol. Bukan dia yang harus naik transportasi umum menuju Gontor Kampus 9.

Saya cari info di daerah kabupaten Solok dan sekitarnya banyak penjual makanan dan minuman yang bisa pesan antar. Jarak satu jam kendaraan misal bus bisa lah ya pakai jasa kurir. Saya siap bayar ongkos demi bisa menyenangkan hati anak.

Kalau keperluan yang bukan makanan seperti peralatan olahraga, peralatan sekolah dan lainnya saya kan masih bisa beli online dari Cianjur dan dikirim ke Gontor Kampus 9 Solok Sumbar. Lama di jalan gak masalah. Tapi kalau beli makanan apalagi yang cepat saji, gak mungkin saya beli dari Jawa dikirim ke Solok kan?

Makanya saya cari teman di sekitar Sumbar yang bisa diminta bantuan.

Ada beberapa teman yang respon dari Padang, Bukittinggi dan sekitarnya tapi semua angkat tangan ga bisa bantu. Entah salah paham atau emang gaptek.

Tapi sampai ada yang bilang “Waduh! Gontor 9 itu kan di gunung lho, jauh banget itu… ga bisa lah ojol juga ke sana.”

Dia pikir saya belum kirim apa pun buat anak kali ya. Belum tahu kalau setiap ada kebutuhan anak seperti baju, sepatu, sampai hanger baju saja, saya beli online dari e-commerce. Kalau gak dikirim oleh kurir terus emang barang-barang itu bisa terbang sendiri?

Selama ini laporan kurir yang masuk ke saya juga selalu ontime sesuai estimasi. Dalam arti ke Gontor Kampus 9 yang posisinya di atas Bukit Mandi Mandian, itu jasa kurir sudah ada.

Tapi ya sudahlah saya tidak berani lagi melanjutkan minta tolong. Sudah pasti dia bilang begitu sama artinya menolak dimintai tolong.

Cukup meminta Fahmi bersabar aja dulu dan meminta Yang Maha Kuasa memberikan jalan terbaik dari permasalahan ini.

Sampai banyak momen da hari spesial yang dilewatkan begitu saja. Padahal saya ingin ngasih jajan kejutan semacam ayam goreng, pizza, atau jajanan lainnya yang selama di Gontor Kampus 9 susah Fahmi dapatkan.

Bukan sok punya duit, toh kalaupun cuma beli satu porsi buat anak tidak akan sebanding dengan kebahagiaan anak sehingga bisa memompa lagi semangat belajar dan ibadahnya. Tapi tetap kirim jajan kejutan itu belum kesampaian juga.

Sampai beberapa hari lalu ada wali santri kelas 5 yang bilang mau beli kebab untuk anaknya. Nanti dikirim dan dibawa oleh salah satu ustadz.

Tentu saja saya segera menawarkan diri boleh nebeng pesan? Gayung bersambut wali santri itu bersedia. Walaupun berupa kebab ala-ala bukan kebab merek terkenal seperti di Jawa, tapi saya yakin Fahmi pasti bakalan merasa terkejut, senang dan habis memakannya.

Benar saja, saya sampai menangis menerima telepon Fahmi yang bilang, “Ibu nuhun nya, kebab nya enak. Satu Ami kasih ke ustadz. Nuhun Ibu…”

Kebab Gontor Kampus 9
Jajan kebab, sesuatu yang langka di pondok karena akses terbatas

Sambil mengusap air mata, saya membayangkan Fahmi pasti senang dan biasanya kalau senang ia akan semakin semangat belajar dan ibadahnya.

Saya rasa ini hal wajar, usia Fahmi baru sebelas tahun, usia segitu masih perlu penyemangat dan dorongan supaya terpancing terus jiwa kemandiriannya. Semakin besar, kelak dan pemikirannya semakin dewasa, saya yakin tak perlu diiming-imingi jajanan, ia akan tahu sendiri bagaimana menempatkan diri.

“Kalau Ami suka, jadi semangat belajar dan ibadahnya, insyaallah bulan depan ibu beli jajan lagi ya…”

Sebulan sekali jajanin anak. Mood booster betah dan senang di pondok

Sebulan sekali, saya kira tidak akan sia-sia mengeluarkan uang dibawah 50 ribu demi bisa beli jajan anak dengan kondisi yang sudah saya ceritakan di atas.

Bukan saya mau memanjakan anak (saya dan wali santri lain juga sudah berdiskusi soal ini) tapi bikin anak semata wayang yang terbiasa apa-apa dibantu orang tua, kini belajar mandiri dengan segala kondisinya supaya betah dan nyaman adalah reward yang seimbang, bukan?

65 thoughts on “Suka Duka Ngasih Jajan Anak di Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor”

  1. jujur ya, aku sendiri pernah mondok 2x dengan model yang berbeda. 3 tahun pas MTs mondok di pondok yang tradisional, dan 3 tahun pas Aliyah di pondok modern.

    saat di pondok tradisional atau salaf, makanan hanya 2x siang pulang sekolah dan malam, itupun cuma nasi dan sayur bening yg rassanya entahlah. jd punya uang sendiri adalah jalan ninja biar tetap makan, uang saku tak ada aturan pokonya serba atur sendiri. disitulah aku bener2 tersiksa, uang saku dari ortu tak seberapa, mau minta lagi takut nyusahin, buat beli makanan terus juga gak bisa, sedang aku bener bener gak doyan makanan pondok. wal hasil aku jarang sarapan.. makan siang beli pas pulang sekolah, trus kalau malam kadang makan kadang males, kadag juga dikasih sama orang baru aku makan. Makanya aku kurus dan stress. Biar gak stress aku ikut aktif kegiatan sekolah.

    akhirnya yang seharusnya aliyah harus tetap lanjutin disana, aku tetap keluar aja dan pindah ke pondok yang modern. aku bialng jujur alasan dll ke bapak dan bapak menyetujui. Gila nya, itu bording scholl satu tahun hanya nerima 40 siswi aja wakakak dan pedenya aku ikut daftar tanpa punya cadangan sekolah lain. Alhamdulillah meski tesnya susah aku lolos.

    dan masyaAllah enak sekali mondok dan sekolah di pondok modern, makan 3x sehari lauk sayur lengkap enak, ada snack dan susu juga. jd gak pusing kalau gak punya uang. aku cm fokus belajar dan kegiatan, gak takut pula gak kebagian karena sudah dihitung pas perkamar… gak ada kesenjangan, anak anaknya juga pinter pinter sesuai bidangnya dan gak ada yg ngerendahin anak lain, semua aktif dan tumbuh bersama.

    Reply
    • Wah, ini jadi catatan banget buat aku kalau2 suatu saat maun masukin anak ke pondok. Soalnya aku blm pernah mondok jadi yang aku pikirkan mondok itu semua sama aja enaknya, cuma dituntut buat menjadi mandiri sehingga soal makan gak perlu pusing mikirin.

      Btw, balik ke cerita mbak Okti, kalau soal selera pedas, emang gak semua bisa dipaksakan, soalnya aku ngalamin sendiri habis makan makanan pedas perutku sakit banget bahkan pernah sampai mencret. Emang aku suka makan makanan pedas namun pedasnya di level rendah, kalau sudah level menengah itu udah panas perutku. Mau dipaksakan kayak apapun jg gak sanggup perutku.

      Reply
  2. MasyaAllah suka dukanya kerasa banget, semoga Fahmi betah ya di pondok dan bisa menuntut ilmu hingga apa yang dicita-citakan tercapai.
    Terharu baca cerita Fahmi yang hepi banget bisa makan kebab
    Memang perlu waktu untuk adaptasi soal makanan ini perlu proses, saya pun tidak tahan pedas jadi kalau makanan pedas saya milih untuk ambil lauknya saja atau sayurnya saja, bumbu dan kuahnya minimal banget untuk mengurangi rasa pedasnya

    Reply
  3. I feel you, Dek Fahmi. Tinggal dan sekolah di Pondok Pesantren tuh emang akan menyenangkan sekali bila sesekali mendapatkan makanan atau jajanan yang istimewa dari keluarga. Terlebih yang emang nggak ada di pondok, meski hanya kebab.

    Reply
    • Fahmi semangat, ya. Ternyata makan di pondok sana disesuaikan dengan daerahnya. Padahal meskipun di Sumbar sebaiknya makanannya yang umum dikonsumsi masyarakat kita aja seperti ayam goreng dan semacamnya. Kalau masakan pedas khas Sumbar memang tidak semua anak bisa makan karena rasanya yang pedas.

      Reply
  4. Kalau Pondok Pesantrennya profesional pastinya anak asuhnya betah dan senang menimba ilmu, juga jadi belajar mandiri ya teh . Semoga sukses dikemudian hari ya Dek Fahmi

    Reply
  5. Wah berkah banget bisa mondokin anak di pesantren sekelas Gontor, semoga tercapai snwua cita-cita anak dan keluarga semuanya ya

    Reply
  6. Wah, Teh, kebayang sih kalau anakku yang kondisinya begitu. Alhamdulillah masih bisa dikomunikasikan ke ustadznya ya, walaupun memang solusinya sepertinya tetap harus belajar pelan-pelan. Dan bersyukur juga boleh ya dikirim makanan siap makan (di tempat anakku nggak boleh dikirim makanan yang nggak awet soalnya), jadi bisa untuk selingan, meski untuk mengirimkannya juga agak menantang. Semoga lancar dan berkah ya studinya.

    Reply
    • Sebenere yo kasihan ya, kalau Fahmi nggak suka makanan pedas, tapi di sana kebanyakan menunya pedas. Kalau selalu nggak makan kasihan juga anaknya. Kalau harus membedakan sendiri kok ya kasihan bagian dapurnya. Kecuali memang ada beberapa anak yang seperti Fahmi. Jadi bikin menunya untuk beberapa orang.

      Baiknya Fahmi. Dia masih bersedia untuk menyesuaikan diri dengan menu di sekitarnya. Pelan-pelan saja ya, Dek. Semoga kamu segera bisa menyesuaikan diri.

      Reply
  7. Teh,,,apa pondok gak ada kebijakan untuk anak-anak yang gak bisa makan makanan tertentu untuk memberi menu pengganti yaa. Kalau masalah gak suka mungkin bisa dilatih, tapi kalau misal alergi dan masalah berhubungan medis lainnya, masa cuma jadinya dikasih nasi putihnya saja tanpa ada menu pengganti? apa bisa ortu memberi usulan ke pihak pondok.
    Anak pondok memang kereen mental ditempa untuk jadi kuat dan masalah uang jajan yang dijatah ini bagus banget bisa melatih anak dalam manajemen keuangannya. tapi boleh saran juga ke pondok agar harga makanannya gak mahal-mahal. Kalau beli roti harganya 8rbm kasian jadi gak bisa beli jajan yg lain lagi.

    Reply
  8. Teeeeeh, terharu banget bacanya. Kebayang sih beratnya gimana. Lah, anakku kos masih satu kota (cuma ujung-ujungan dan butuh 2 jam sekali jalan) aja, aku kepikiran macem2.

    Semoga rezeki selalu lancar dan berkah ya Teeeeh.

    Reply
  9. Semoga Fahmi tetap semangat dan betah belajar di pondok ya. Mungkin awal-awal masa adaptasi akan berasa berat apalagi yang berkaitan dengan makanan. Mau ga mau namanya makanan itu selera masing masing ya mbak. Senang banget Fahmi pas dapat kebab ya, aku jadi ikutan senang

    Reply
  10. Teh Okti, tulisan Teh tentang suka duka ngasih jajan anak di Gontor itu bener-bener ngena banget! Sebagai sesama orang tua, aku bisa ngerasain gimana campur aduknya perasaan antara ingin memanjakan anak dan mendukung kemandiriannya.

    Cerita tentang Fahmi yang harus beradaptasi dengan makanan pedas di pondok, dan bagaimana Teh Okti mencari solusi dengan penuh kasih sayang, menunjukkan betapa besar peran orang tua dalam mendampingi anak-anaknya. Salut atas kesabaran dan keteguhan Teh dalam menghadapi tantangan ini.

    Semoga Fahmi semakin betah di pondok, dan semoga Teh Okti terus diberikan kekuatan dan kebijaksanaan dalam mendampingi perjalanan pendidikan anak-anak. Tulisan Teh ini sangat menginspirasi dan membuka wawasan bagi banyak orang tua lainnya.

    Reply
  11. Sebagai orang asli Sumatera Barat saya paham banget sih teh okti, tentang kuliner di sini. Saya baru merasakan setelah merantau ke Jakarta, saat pulang kampung saya tersadarkan “kok lauk di rumah selalu disambelin yah?, seperti telur balado, ikan balado, ayam balado, tempe tahu balado, bahkan terung balado”. Kalau nggak balado, yah digulai. Itu udah template resep masakan di sumatera barat. Padahal di Jakarta, kita bisa loh bikin tahu tempe tumis atau tumis terong tanpa sambel dan enak kok.

    Memang di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung, tapi pihak pesantren harus sadar kalau santrinya dari berbagai daerah. Sebaiknya mulai memodifikasi masakan, misal untuk ayam balado jadi ayam goreng dan sambel dipisah. Jangankan anak pesantren, jamaah haji umrah di Mekah aja diberikan makanan Indonesia, seharusnya kan mengikuti masakan di negara arab sana.

    Reply
  12. Pastiiiiii diluar sana banyak orang tua santri yang merasa relatable dengan cerita ini ya kak. Pengorbanan dan ikhtiar Ibu dalam memastikan anak nyaman belajar patut diacungi jempol. Semoga Allah balas kebaikan Ibundaaaaa dan Fahmi semakin sukses di pondok.

    Reply
  13. Kalo daftar di gontor itu pembagian kampusnya tidak bisa memilih yaa? tergantung keputusan dari sekolah kah?
    Kebetulan ada dua ponakan saya juga sudah lulus dari gontor tapi alhamdulillahnya keduanya dpt kampus di jawa yaitu di ngawi sama ponorogo jadi masih dekat dengan rumah dan setiap minggu dulu bisa dikunjungi sekalian bawain pesanana dan lauk juga buat mereka 🙂

    Reply
  14. Bahagia ya mba, Fahmi bisa betah dan sabar…., jajan dibatasi mungkin agar tidak ada anak-anak yang ngerasa rendah diri melihat teman banyak jajan…jadi sama aja gitu… , Sukses buat fahmi….

    Reply
  15. Ga terbayang ya saat kita lagi makan enak eh anak gimana makannya di pondok pesantren? Fahmi keren bisa beradaptasi sedikit demi sedikit ngerasain sayuran pedas dll. ALhamdulillaah boleh dapat 1 nasi aja ya kalau menu lainnya pedas semua. Senangnya makan kebab walau sederhana tetapi pasti istimewa ya barakallah.

    Reply
  16. Kisah suka duka memberi jajan anak di Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor ini sangat menyentuh. Dari pengalaman ini terlihat bagaimana perhatian kecil seperti memberi jajan bisa membawa kebahagiaan, sekaligus mengajarkan kita kesabaran dan empati.

    Reply
  17. Memang banyak suka dukanya saat anak – anak menuntut ilmu jauh dari kita ya mbaa. Anakku juga sedang sekolah jauh dari rumah dan setiap ada kesempatan kita sering video call untuk tanya kondisi dan keadaannya, termasuk urusan makanan. Semoga anak – anak kita sehat selalu yaaa…

    Reply
  18. Membiasakan hidup hemat di Pondok Gontor dengan batasan uang jajan hanya 10 ribu per hari, menurut saya baik sekali.Mungkin soal jenis makanannya perlu waktu adaptasi, ala bisa karena biasa, Fahmi lama-lama akan bisa menerima. Culture shock termasuk soal makanan dimanapun pasti ada. Semangat Fahmi dan ibunya, semoga di rantau sehat selalu yaa

    Reply
  19. Suka duka menyekolahkan anak di pondok dan bording schoola adalah urusan makanan ya teh. Pengalamanku juga sama teh. Anakku ada yg ga cocok dengan menu di dapur asrama. Kalo urusan seenak masihlah bisa diakali tapi kalo ga bisa makan pedas atau alergi ini yang agak ribet urusannya. Semoga Fahmi dimudahkan dan dilancarkan y teh sekolahnya

    Reply
  20. Bisa ngerasain sih kalo anak sekolah jauh gitu dan harus mondok. Tapi demi membentuk karakter anak mandiri dan lebih baik ya, Teh, apalagi di Gontor. Biar jauh ortu tetap harus pantau, termasuk soal makan. Pasti ada solusi terbaik dan bisa nambah semangat belajar dan beribadah. Sukses selalu buat adik Fahmi, juga Teh Okti sekeluarga.

    Reply
  21. Jadi teringat tetanggaku yang anak-anaknya di gontor teh. Pas kunjungan pakdenya dititipi makanan untuk anaknya. Kalo beli buat jatah sekamar anaknya hehehe.

    Trus kalo ponakanku di jogja, sekolah di LHI Cuma jatah 50K perpekan teh.

    Reply
  22. Di era pondok lain, santri bisa minta kiriman ortunya makanan by ojol (gofood..dll) setiap hari – anak teman saya seperti ini, dan belinya untuk 7 teman sekamarnya- Gontor membatasi jajan hanya 10 ribu per hari , bagus sih menurut saya.
    Ini mendorong kemandirian dan tanggung jawab santri untuk mengelola keuangan dengan bijak, mengembangkan keterampilan menabung dan hidup sederhana, serta menghindari pemborosan, yang semuanya bertujuan untuk membangun karakter yang kuat dan disiplin

    Reply
  23. Wah, aku baru tahu lho di gontor itu ada bagian yang mengatur dan mengawasi uang saku anak dari orang tua. Ini sebenarnya ada baiknya ya, karena bisa ngajarin anak untuk hidup hemat dan bisa mengelola keuangan dengan bijak. Tapi ternyata dukanya juga nggak kalah wah Teh. Aku jadi ngebayangin anakku sendiri yang nggak bisa makan pedas dan harus jauh dari orang tuanya. Asli udah overthinking Teh.

    Semoga, Fahmi di sana selalu sehat ya, Teh. 🙂

    Reply
  24. Gontor semakin lama semakin lengkap dan memperhatikan para siswanya. Oh ya, salahsatu tokoh yang saya kenal intelektualitas nya adalah alam. Nurcholis Majid pendiri Universitas Paramadina

    Reply
  25. Teh Okti, cerita ‘jajan dibatasi sepuluh ribu sehari’ ini tuh bikin senyum-senyum bahagia—tersenyum karena lucu, sekaligus kagum sama kedewasaan pondok dan seorang ibu. Beneran ‘ngena’ banget nih: cara sederhana tapi keren buat ngajarin anak hidup hemat dan tetap bersyukur. Terus semangat ya, Teh, semoga Fahmi tetap betah dan makin mandiri!

    Reply
  26. Kadang salah satu permasalahan kalau kita tinggal di luar daerah asli itu ya makanannya ya, Teh karena beda banget sama yang biasa dimakan. Untungnya bisa nemu solusi yang tepat nih buat makannya fahmi jadi bisa tenang dikit

    Reply
  27. Ya Allah teh, cureumbay aku bayangkan Fahmi kesulitan makan makanan pedas di sana. Pastinya ia kesulitan pisan ya. Alhamdulillah, Fahmi cerita dan teteh peka. Sehingga dikomunikasikan juga. Syukurlah sesekali bisa kirim jajanan enak buat Fahmi, walau sempat geram sama yang mau teteh titip tapi menolak huhuhu. Untungnya bisa kirim kebab jalur orang yang memang bersedia.

    Terkait uang saku, di patok tentu ada banyak kebaikan di dalamnya ya. Semangat Fahmi semoga menjadi anak cerdas, berbudi luhur dan sukses di kemudian hari aamiin.

    Reply
  28. Ternyata anak yang ga suka makan pedas akan membawa tantangan tersendiri ya teh. Kebalikan sekali dengan saya yg besar di wilayah yg kental dengan menu masakan Padang, pas lanjut pendidikan ke Jawa, tiap hari makan NasPad bikin boncos tapi mau makan yg ala wartegan lidah belum terbiasa.

    Semoga nak Fahmi bisa segera beradaptasi dan ada rekan blogger di lokasi terdekat kampus sekolahnya yang baca dan sekiranya bisa membantu mengirimkan jajan sesekali.

    Reply
  29. Pembatasan uang jajan ini sangat menantang ya, apalagi bagi anak-anak seumur Fahmi yang pastinya masih ingin jajan. Tapi insya Allah latihan mengelola keuangan ini akan sangat bermanfaat sampai mereka dewasa nanti.

    Reply
  30. Ya semoga pelan-pelan bisa beradaptasi dengan citarasa masakan di sana, ya. Kalaupun sudah bisa menikmatinya, tapi yakin deh kalau dikirimin makanan dari luar pondok bakal tetap seneng. Karena berasa dapat kejutan dari orang tua

    Reply
    • Aamiin, aku pun setelah membaca cerita teh Okti terkait Fahmi yang tidak suka makanan pedas dan mesti beradaptasi dengan makanan pedas dengan uang saku terbatas. Sangat menantang sekali.

      Beneran mentalnya dibentuk sedari dini. Semoga saja kedepannya Fahmi bisa makan makanan pedas sehingga ia tak perlu lagi nahan lapar atau hanya makan nasi saja. Semangat dek Fahmi semoga lancar belajarmu di pondok ya nak.

      Reply
  31. Betapa besar perjuangan dan cinta orang tua demi kebahagiaan anaknya, bahkan untuk hal sesederhana jajan. Salut dengan Ibu yang terus mencari solusi terbaik agar Fahmi bisa nyaman dan betah di pondok. Semoga Fahmi semakin semangat belajar dan ibadahnya!

    Reply
  32. Ketika anak harus menuntut ilmu jauh dari rumah pastinya ibu selalu kepikiran ya Apakah anak itu makannya cukup Tidurnya enak. Semoga saja Ananda Fahmi bisa cepat beradaptasi dengan makanan di pesantren dan sehat selalu.

    Reply
  33. Selain memperdalam ilmu agama, pesantren nyatanya belajar life skill juga ya, belajar adaptasi dan nyari solusi sejak dini. Sebagai ibu, pastinya ikut merasa khawatir kalau anak sulit makan karena gak cocok, apalagi pedas. Semoga kelak fahmi jadi anak yang soleh, berbakti pada orang tua dan masyarakat ya, Aaamiin.

    Reply
  34. Iyyaaa banget, teh..
    Aku suka mau jajanin anak-anak dengan syarat mereka mau shaum sunnah.
    Biasanya mereka mengabari via musyrifah ((Ustadzah yang menjaga di asrama)).

    Kalau masalah uang jajan, di pesantren anakku dibatasi 20rb/hari.
    Tapii.. ya ituu.. kalo makanan gak cocok ini, jadi cenderung jajan ajaaa..
    Padahal aku suka nasehatin “Apapun makanan yang disediakan di mahad, dimakan yaa.. karena catering uda masakin se-enak mungkin agar anak-anak terpenuhi kebutuhan gizinya.”

    Rasanya luar biasa memang ketika anak bercerita dan mencoba terus beradaptasi dengan keadaan di pondok.

    Semoga Allaah kuatkan ananda dan berikan kemudahan atas segala tantangan yang dihadapi.

    Barakallaahu fiik, teh Okti.. uda berbagi kisah.

    Reply
    • orang tua memang kayaknya harus pintar menyiasati ya kalau soal jajan dan makan anak di pesantren ini. apalagi kalau misalnya makanannya nggak cocok atau malah alergi kayaknya perlu perhatian khusus ya, mbak

      Reply
      • Iyaa, ka Antung.
        Bener banget.

        Kalo anaknya alergi, ini tricky banget yaa..
        Temen kaka ada yang suka bolak-balik Klinik aja, perkara alergi.

        Jadi, anaknya sendiri kudu aware.. meski uda nitip nitipkeun sama Ustadzah.

        Reply
  35. Kaka Fahmi moga sehat-sehat di sana ya. Iya sih kayanya karena budaya sana jadi makanannya serba pedas. Untunglah udah dapat solusinya ya Teh. Bisa kirim keringan buat anak. Happy banget ya Kaka Fahmi dikirim kebab. Temen-temennya juga pada senang.

    Reply
  36. Daku pernah diajarin sama temen kalau kelojotan makan pedas, minum air putih hangat sama minum susu, biar gak begitu sakit perut. Sehat² ya dedek Fahmi dalam menimba ilmu di sana

    Reply
  37. Wah ternyata di dalam pondok ada toko buat beli2 keperluan termasuk jajan ya. Baru tahu ternyata tabungan siswa dipegang sama petugas di sana ya, tapi tiap harinya dikasi 10 ribu ke anak. Bagus sih kyk gini jadi jajannya gk ada yang terlalu berlebihan.
    Waduh kasihan Fahmi kurang cocok ya sama lauk di sana pedes2, tapi syukurlah ya mulai adaptasi, biasanya bisa kok. Dulu saya awal pindah jkt gk suka nasduk, sotomi, eh ternyata lama2 terbiasa juga lidahnya hehe.
    Mungkin teman2 yang dimintain tolong itu rumahnya kejauhan trus ojolnya jarang yang mau terima orderan ke pondoknya kali ya?
    Tapi masih disiasati dengan mengirimkan lauk2 kering ya? Dan untungnya masih bisa mengkomunikasikan soal hambatan makanan ke pihak pondok.
    Oh ya mbak kalau anak di pesantren gitu apa ortunya juga ada grup WA-nya?
    Btw penasaran juga, kalau buat anak2 ini ada gak sih semacam dapur umum tempat anak2 bisa masak2 yg gampang2 kek ngangetin makanan, bikin indomi, bikin susu dll gitu?

    Reply
  38. Pembatasan uang jajan harian ini bagus sih menurutku, walaupun kita sebagai orang tua pastinya merasa kasian ngeliat anak kita pengen jajan tapi jatah uangnya udh abis. Cuma mau bagaimanapun ini bagus buat membangun mindset anak supaya mereka bisa belajar hemat.

    Reply
  39. Mudah-mudahan Fahmi segera bisa adaptasi ya sama makanan di pondok. Nasi padang lho itu Fahmi hehehehe. Kalo beli di kota laen bisa 25 ribu sebungkus pake rendang.
    Etapi walau uang jajan dibatasi, santri masih boleh ya terima kiriman makanan dari ortu atau wali?

    Reply
  40. Jadi terharu banget baca cerita ini, Teh. Saya juga mengalami, klo pas anak dapat jajanan dari salah satu walisantri yg nitip ke gurunya, kelihatan banget para santri happy luar biasa. Semangat selalu yaaa Fahmi.

    Reply
  41. Saya dulu kuliah di Yogya saja agak berat soal makanan karena di Yogya sendiri masakannya banyak yang manis-manis. Tapi bisa dilalui dengan perlahan-lahan. Tapi beruntung bisa menyekolahkan anak di Pondok Gontor 9. Semoga sehat selalu dan diberikan kebahagiaan bersama keluarga sampai berkumpul kembali bersama anak tersayang. Amin

    Reply
  42. Duh, baca ini jadi ikut kebayang rasanya punya anak di pondok teh. Memang ya, aturan jajan sepuluh ribu per hari itu keliatannya kecil, tapi ternyata banyak banget makna di baliknya. Biar anak gak foya-foya, belajar hidup sederhana, dan semua santri diperlakukan sama. Salut sih sama sistem Gontor.

    Tapi bagian cerita Fahmi sampai kurus karena gak doyan pedas itu bikin hati ikut melo. Mana jauh dari rumah pula. Untung akhirnya ketemu solusi. Campur aduk antara pengen anak kuat dan mandiri, tapi tetep gak tega liat mereka harus nahan lapar atau kangen makanan rumah.

    Reply
  43. Jatah uang mingguan ini, aku langsung keinget cerita asrama dari penulis Enid blyton ☺️. Di mana anak2 asrama juga dibatasi mingguan uangnya.

    Baguuuus sih. Jadikan semua murid sama rata ya mbak . Ga ada lagi yg merasa uangnya terlalu banyak, sementara lainnya sedikit. Setuju dengan sistem begini. Tapi dengan catatan keperluan anak lainnya ya memang sudah terpenuhi.

    Berarti kalo dikirimin makanan kering ga masalah ya mba… Bisa menghemat uang jajan mereka juga .

    Masalah pedas ini hrsnya jadi perhatian oleh pihak sana. Jadi keinget anakku, yg juga ga bisa pedes samasekali . Bisa2 ga makan dia kalo di sana

    Reply
  44. Kebayang dan berasa banget bagaimana perasaan Teteh. Kalau anak susah makan begitu karena menu yang disediakan, tentu bikin hati nggak tenang. Ibu mana yang bisa makan nikmat lahap kalau di sana anaknya nggak selera makan. Ya Allah.

    Baru tahu nih kalau selama berada di dalam asrama, siswa difiknya diberi jatah dana maksimal untuk pegangan harian. Iya sih, jadi mengajarkan untuk mengelola keuangan juga jadinya.

    Reply
  45. Di Era sekarang ini mau di manapun, akan selalu ada cara mendapatkan apa yang di perlukan. Apalagi soal makanan. Walau memang butuh mencari koneksi dan mau mencari peluangnya.

    Aku tuh senang banget dengan aturan pondok pesantren darussalam gontor ini, soal kesamaan dan terbatas uang jajan. Melatih anak untuk belajar cukup. Semoga aturan terus bisa berjalan dengan baik dan bisa membuat anak-anak tumbuh sesuai dengan tujuan aturannya.

    Reply
  46. Masyaallah, semoga Fahmi diberi kesehatan, betah mondoknya, jd anak solih, bermanfaat ilmunya.

    Mondok emang banyak ujian, gak cuma dari uang jajan harian, tapi kdang dari pakaian yg sering ilang krna blm terbiasa dg aktivitas mandiri. Kadng pelajaran bkin pusing. Tp di situlah letak kenangan yang gak bakal terlupakan

    Semangat mondoknya. Aku dl pengen banget ke gontor. Tp dananya kurang hihi jaman dl banget soalnya, blm ada online kayak skrang. Semoga barokah ilmunya fahmi

    Reply
  47. Kebabnya terlihat enak sekaliii…ALhamdulillah Fahmi suka ya, teh Okti
    Semoga berikutnya bisa dikirim lagi jajan buat selingan di pondoknya.
    Semoga dumudahkan belajarnya, dilancarkan rezeki Teh Okti dan suami dan diseharkan semua. Aamiin

    Reply
  48. Gontor jadi salah satu cara untuk melatih disiplin dan adaptasi juga ya teh,,bertemu dengan banyak orang dari berbagai pulau..harus benar2 mandiri tinggal di pondok…
    Meskipun sempat mengalami kendala alhamdulillah fahmi berhasil melalui nya tanpa harus komplain dan lain2…

    Reply
  49. Sebenarnya kebijakan biaya makan 10ribu sehari ada baiknya untuk melatih mental anak ya. Tapi disesuaikan juga dengan harga standar. Mungkin memang sudah kenyang disana harga segitu ya, saya kurang tahu. Tapi semestinya menu makan lebih netral, jangan pedas saja adanya

    Reply
  50. Cara Gontor dengan menjatah para santrinya dengan uang jajan 10 ribu perhari selain mendidik para santri untuk hidup hemat dan sederhana, juga untuk menghilangkan kesenjangan sosial antar santri juga ya Teh. Semoga Fahmi cepat beradaftasi dengan makanan yang disediakan biar Fahminya bisa belajar dengan happy, emaknya juga tenang.

    Reply
  51. Menitipkan anak di pesantren memang ada suka dukanya, termasuk soal jajan yang perlu diatur agar tetap sehat dan bermanfaat. Pengalaman seperti ini bisa jadi pembelajaran berharga bagi orang tua dalam mendampingi anak dari jauh.

    Reply
  52. Ya Allah, Fahmi sama seperti anak aku yang nggak bisa makan pedas. Kebayang juga kalau kelak dia mondok, mungkin akan mengalami seperti yang Fahmi rasakan. Bismillah,, semangat selalu belajarnya ya Fahmi. Semoga Allah mudahkan dan jaga Fahmi…

    Reply

Leave a Comment

Verified by ExactMetrics