Suka Duka Ngasih Jajan Anak di Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor

Mau kaya mau miskin, uang jajan anak di Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor (PMDG) semua sama dibatasi sebesar sepuluh ribuan sehari.

Ini berdasarkan pengalaman saya sebagai wali santri saat ini ya. Karena bisa saja pengalaman saya beda dengan kondisi atau aturan beberapa taun lampau atau beberapa tahun kemudian… Dan harus tau antara Gontor Putra dan Gontor Putri juga besaran uang jajannya beda ya.

Mau berjuta-juta orang tua ngasih bekal buat anak di Gontor, yang bisa dinikmati anak per hari tetap hanya sepuluh ribu. Atau bisa saja lebih dari itu, tapi jatah besok dan selanjutnya bisa berkurang karena pengambilan uang jajan anak diberikan perminggu.

Jika sehari sepuluh ribu maka uang jajan untuk tujuh hari bisa mengambil sebesar 70.000.

Anak bisa saja menghabiskan semua uang itu dalam sehari. Tapi esok dan selanjutnya sampai tiba hari pengambilan uang bekal lagi, gak bakalan bisa jajan. Kok bisa? Kan uang jatahnya jajan tujuh hari udah sekaligus dihabiskan…

Ustadz bagian keuangan bekal anak tidak akan mudah memberikan uang jajan walaupun tabungan siswa nya masih banyak, sebelum sampai tiba waktunya dan atau ada alasan yang bisa dipertanggung jawabkan.

Siapa pun tidak boleh memberikan anak didik Gontor uang selain melalui tabungan siswa yang dikelola pihak pondok. Kalau ketahuan memberikan uang di luar tabsis, orang tua akan mendapatkan teguran dan anak yang bersangkutan akan mendapatkan sanksi dan hukuman.

Tujuannya apa ya jajan anak saja kok “dibatasi”? Ya, itu bagian tersendiri dari otoritas Gontor dalam mendidik anak supaya terbiasa hidup sederhana, tidak foya-foya, bisa menikmati dan mensyukuri yang sudah jadi rezekinya yang ditetapkan.

Dengan persamaan itu, mau anak sultan sekalipun kalau masih belajar di Gontor tetap besaran uang jajannya sama dengan anak dari kalangan biasa. Diharapkan tidak akan ada yang merasa unggul dalam hal besaran bekal.

Latanza Gontor Ponorogo
koperasi pelajar di Gontor Kampus 9 tidak selengkap di koperasi pelajar Gontor di Jawa.

Ketika Fahmi, anak saya ditempatkan di Gontor Kampus 9 Solok Sumbar, permasalahan muncul manakala berkaitan dengan jatah makan dari dapur asrama.

Ketika anak-anak lain menelepon kepada orang tuanya dan orang tuanya menceritakan lagi di grup wali santri kalau makanan d Gontor Kampus 9 itu katanya enak-enak serasa makan di warung nasi Padang, sebaliknya dengan anak saya, ia justru mengeluhkan jarang ambil jatah makan!

“Lho! Kenapa Mi? Ga boleh gitu, apalagi waktu sarapan, itu harus dilakukan supaya kuat. Jangan malas, paksakan makan ya, bla…bla…bla…” saya terus ngomel sampai panjang lebar. Maklum emak yang khawatir akan kondisi anaknya tau sendiri bagaimana kalau udah merepet. Bahasanya pasti kemana-mana.

Tau apa jawaban Fahmi?

“Ami malas makan kalau nasinya atau lauknya pedas Bu. Disini hampir setiap hari masakannya berbumbu pedas. Ami kan gak suka. Pernah maksa makan, tapi jadi ga bisa belajar ga bisa tidur karena sakit perut…”

Oalah, Mi… Kok melas tenan…

Pantas badanmu yang awalnya montok, kini jadi kurus kering. Selain karena lelah beraktivitas juga pikiran yang terus diperas ternyata juga karena asupan makanan yang tidak normal.

Tadinya saya mau kasih ide, ya udah kalau gak sarapan nasi beli roti atau apa saja yang bisa jadi pengganti sarapan di koperasi pelajar sana.

“Ya gak kenyang juga Bu. Harga roti disini satu buah bisa delapan ribu. Kalau pagi beli, siang dan sore Ami gak bisa jajan, kan uangnya hanya dijatah sepuluh ribu sehari …”

Gusti… Nangis bener saya mendengar laporan anak begitu.

Bener juga uang jajan yang dikasih lewat ustadz kan hanya sepuluh ribu saja. Tapi bagaimana dengan permasalahan makan anak saya ini? Apa setiap hari harus nahan lapar?

Roti buatan Gontor
Roti produk Gontor. Varian rasanya banyak. Rasanya enak. Saya sampai beli beberapa bekal pulang ke Cianjur

Ayahnya Fahmi bilang, coba Ami minta ke bagian piket dapur, jatah untuk Fahmi kalau pas lauk atau sayurnya pedas minta dipisah saja.

Tapi anak saya ga berani. Tahu sendiri Fahmi mah pemalu dan udah takut duluan. Mungkin karena itu selama ini memilih diam dan menahan lapar saja daripada maka yang pedas tidak disukainya.

Akhirnya saya cari info ke Bagian Pengasuhan. Menceritakan permasalahan anak sekaligus meminta solusi. Bukan minta anak diprioritaskan tapi kalau anak gak suka pedas, dipaksa juga jadi sakit dan malah repot, kan jadi merugikan banyak hal.

Akhirnya didapatkan solusinya Fahmi bisa minta nasi putihnya saja kalau pas lauk atau sayur dari dapur asrama berbumbu pedas. Sebagai pengganti lauknya, saya segera kirim paket berisi abon, kering tempe, kering kentang, bawang goreng dan olahan makanan tahan lama lainnya yang disukai anak.

Meskipun demikian saya tetap menasihati Fahmi untuk berlaku dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung. Secara hidup dan menuntut ilmu di daerah Sumatera Barat, Fahmi harus sedikit demi sedikit bisa menyesuaikan diri.

Mulai mencoba mencicipi masakan khas dari sana. Memang tidak suka pedas, tapi saya yakin akan bisa kalau terbiasa. Tidak bisa instan tapi tidak ada salahnya juga terus dicoba.

Alhamdulillah Fahmi nurut. Sedikit demi. sedikit Fahmi mencicipi lauk atau sayur dari dapur asrama walaupun pedas dan setelahnya harus minum berbotol-botol air putih. Tidak setiap hari tapi tidak bablas tidak makan seharian itu. Setidaknya begitulah yang disampaikan ustadz pembimbing dan mudabbir mengenai kondisi jam makan dan jatah Fahmi yang terbaru.

Merasa Fahmi akan bosan dengan menu begitu-begitu saja, saya nyari teman yang tinggal di sekitar Sumbar yang sekiranya bisa dimintai tolong untuk membelikan makanan siap antar ke pondok Gontor.

Maksud saya, saya kirim uang ke dia, lalu dia tolong pesankan makanan yang bisa dikirim ke pondok Gontor. Yang antar kan pihak ojol. Bukan dia yang harus naik transportasi umum menuju Gontor Kampus 9.

Saya cari info di daerah kabupaten Solok dan sekitarnya banyak penjual makanan dan minuman yang bisa pesan antar. Jarak satu jam kendaraan misal bus bisa lah ya pakai jasa kurir. Saya siap bayar ongkos demi bisa menyenangkan hati anak.

Kalau keperluan yang bukan makanan seperti peralatan olahraga, peralatan sekolah dan lainnya saya kan masih bisa beli online dari Cianjur dan dikirim ke Gontor Kampus 9 Solok Sumbar. Lama di jalan gak masalah. Tapi kalau beli makanan apalagi yang cepat saji, gak mungkin saya beli dari Jawa dikirim ke Solok kan?

Makanya saya cari teman di sekitar Sumbar yang bisa diminta bantuan.

Ada beberapa teman yang respon dari Padang, Bukittinggi dan sekitarnya tapi semua angkat tangan ga bisa bantu. Entah salah paham atau emang gaptek.

Tapi sampai ada yang bilang “Waduh! Gontor 9 itu kan di gunung lho, jauh banget itu… ga bisa lah ojol juga ke sana.”

Dia pikir saya belum kirim apa pun buat anak kali ya. Belum tahu kalau setiap ada kebutuhan anak seperti baju, sepatu, sampai hanger baju saja, saya beli online dari e-commerce. Kalau gak dikirim oleh kurir terus emang barang-barang itu bisa terbang sendiri?

Selama ini laporan kurir yang masuk ke saya juga selalu ontime sesuai estimasi. Dalam arti ke Gontor Kampus 9 yang posisinya di atas Bukit Mandi Mandian, itu jasa kurir sudah ada.

Tapi ya sudahlah saya tidak berani lagi melanjutkan minta tolong. Sudah pasti dia bilang begitu sama artinya menolak dimintai tolong.

Cukup meminta Fahmi bersabar aja dulu dan meminta Yang Maha Kuasa memberikan jalan terbaik dari permasalahan ini.

Sampai banyak momen da hari spesial yang dilewatkan begitu saja. Padahal saya ingin ngasih jajan kejutan semacam ayam goreng, pizza, atau jajanan lainnya yang selama di Gontor Kampus 9 susah Fahmi dapatkan.

Bukan sok punya duit, toh kalaupun cuma beli satu porsi buat anak tidak akan sebanding dengan kebahagiaan anak sehingga bisa memompa lagi semangat belajar dan ibadahnya. Tapi tetap kirim jajan kejutan itu belum kesampaian juga.

Sampai beberapa hari lalu ada wali santri kelas 5 yang bilang mau beli kebab untuk anaknya. Nanti dikirim dan dibawa oleh salah satu ustadz.

Tentu saja saya segera menawarkan diri boleh nebeng pesan? Gayung bersambut wali santri itu bersedia. Walaupun berupa kebab ala-ala bukan kebab merek terkenal seperti di Jawa, tapi saya yakin Fahmi pasti bakalan merasa terkejut, senang dan habis memakannya.

Benar saja, saya sampai menangis menerima telepon Fahmi yang bilang, “Ibu nuhun nya, kebab nya enak. Satu Ami kasih ke ustadz. Nuhun Ibu…”

Kebab Gontor Kampus 9
Jajan kebab, sesuatu yang langka di pondok karena akses terbatas

Sambil mengusap air mata, saya membayangkan Fahmi pasti senang dan biasanya kalau senang ia akan semakin semangat belajar dan ibadahnya.

Saya rasa ini hal wajar, usia Fahmi baru sebelas tahun, usia segitu masih perlu penyemangat dan dorongan supaya terpancing terus jiwa kemandiriannya. Semakin besar, kelak dan pemikirannya semakin dewasa, saya yakin tak perlu diiming-imingi jajanan, ia akan tahu sendiri bagaimana menempatkan diri.

“Kalau Ami suka, jadi semangat belajar dan ibadahnya, insyaallah bulan depan ibu beli jajan lagi ya…”

Sebulan sekali jajanin anak. Mood booster betah dan senang di pondok

Sebulan sekali, saya kira tidak akan sia-sia mengeluarkan uang dibawah 50 ribu demi bisa beli jajan anak dengan kondisi yang sudah saya ceritakan di atas.

Bukan saya mau memanjakan anak (saya dan wali santri lain juga sudah berdiskusi soal ini) tapi bikin anak semata wayang yang terbiasa apa-apa dibantu orang tua, kini belajar mandiri dengan segala kondisinya supaya betah dan nyaman adalah reward yang seimbang, bukan?

17 thoughts on “Suka Duka Ngasih Jajan Anak di Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor”

  1. jujur ya, aku sendiri pernah mondok 2x dengan model yang berbeda. 3 tahun pas MTs mondok di pondok yang tradisional, dan 3 tahun pas Aliyah di pondok modern.

    saat di pondok tradisional atau salaf, makanan hanya 2x siang pulang sekolah dan malam, itupun cuma nasi dan sayur bening yg rassanya entahlah. jd punya uang sendiri adalah jalan ninja biar tetap makan, uang saku tak ada aturan pokonya serba atur sendiri. disitulah aku bener2 tersiksa, uang saku dari ortu tak seberapa, mau minta lagi takut nyusahin, buat beli makanan terus juga gak bisa, sedang aku bener bener gak doyan makanan pondok. wal hasil aku jarang sarapan.. makan siang beli pas pulang sekolah, trus kalau malam kadang makan kadang males, kadag juga dikasih sama orang baru aku makan. Makanya aku kurus dan stress. Biar gak stress aku ikut aktif kegiatan sekolah.

    akhirnya yang seharusnya aliyah harus tetap lanjutin disana, aku tetap keluar aja dan pindah ke pondok yang modern. aku bialng jujur alasan dll ke bapak dan bapak menyetujui. Gila nya, itu bording scholl satu tahun hanya nerima 40 siswi aja wakakak dan pedenya aku ikut daftar tanpa punya cadangan sekolah lain. Alhamdulillah meski tesnya susah aku lolos.

    dan masyaAllah enak sekali mondok dan sekolah di pondok modern, makan 3x sehari lauk sayur lengkap enak, ada snack dan susu juga. jd gak pusing kalau gak punya uang. aku cm fokus belajar dan kegiatan, gak takut pula gak kebagian karena sudah dihitung pas perkamar… gak ada kesenjangan, anak anaknya juga pinter pinter sesuai bidangnya dan gak ada yg ngerendahin anak lain, semua aktif dan tumbuh bersama.

    Reply
  2. MasyaAllah suka dukanya kerasa banget, semoga Fahmi betah ya di pondok dan bisa menuntut ilmu hingga apa yang dicita-citakan tercapai.
    Terharu baca cerita Fahmi yang hepi banget bisa makan kebab
    Memang perlu waktu untuk adaptasi soal makanan ini perlu proses, saya pun tidak tahan pedas jadi kalau makanan pedas saya milih untuk ambil lauknya saja atau sayurnya saja, bumbu dan kuahnya minimal banget untuk mengurangi rasa pedasnya

    Reply
  3. I feel you, Dek Fahmi. Tinggal dan sekolah di Pondok Pesantren tuh emang akan menyenangkan sekali bila sesekali mendapatkan makanan atau jajanan yang istimewa dari keluarga. Terlebih yang emang nggak ada di pondok, meski hanya kebab.

    Reply
    • Fahmi semangat, ya. Ternyata makan di pondok sana disesuaikan dengan daerahnya. Padahal meskipun di Sumbar sebaiknya makanannya yang umum dikonsumsi masyarakat kita aja seperti ayam goreng dan semacamnya. Kalau masakan pedas khas Sumbar memang tidak semua anak bisa makan karena rasanya yang pedas.

      Reply
  4. Kalau Pondok Pesantrennya profesional pastinya anak asuhnya betah dan senang menimba ilmu, juga jadi belajar mandiri ya teh . Semoga sukses dikemudian hari ya Dek Fahmi

    Reply
  5. Wah berkah banget bisa mondokin anak di pesantren sekelas Gontor, semoga tercapai snwua cita-cita anak dan keluarga semuanya ya

    Reply
  6. Wah, Teh, kebayang sih kalau anakku yang kondisinya begitu. Alhamdulillah masih bisa dikomunikasikan ke ustadznya ya, walaupun memang solusinya sepertinya tetap harus belajar pelan-pelan. Dan bersyukur juga boleh ya dikirim makanan siap makan (di tempat anakku nggak boleh dikirim makanan yang nggak awet soalnya), jadi bisa untuk selingan, meski untuk mengirimkannya juga agak menantang. Semoga lancar dan berkah ya studinya.

    Reply
  7. Teh,,,apa pondok gak ada kebijakan untuk anak-anak yang gak bisa makan makanan tertentu untuk memberi menu pengganti yaa. Kalau masalah gak suka mungkin bisa dilatih, tapi kalau misal alergi dan masalah berhubungan medis lainnya, masa cuma jadinya dikasih nasi putihnya saja tanpa ada menu pengganti? apa bisa ortu memberi usulan ke pihak pondok.
    Anak pondok memang kereen mental ditempa untuk jadi kuat dan masalah uang jajan yang dijatah ini bagus banget bisa melatih anak dalam manajemen keuangannya. tapi boleh saran juga ke pondok agar harga makanannya gak mahal-mahal. Kalau beli roti harganya 8rbm kasian jadi gak bisa beli jajan yg lain lagi.

    Reply
  8. Teeeeeh, terharu banget bacanya. Kebayang sih beratnya gimana. Lah, anakku kos masih satu kota (cuma ujung-ujungan dan butuh 2 jam sekali jalan) aja, aku kepikiran macem2.

    Semoga rezeki selalu lancar dan berkah ya Teeeeh.

    Reply
  9. Semoga Fahmi tetap semangat dan betah belajar di pondok ya. Mungkin awal-awal masa adaptasi akan berasa berat apalagi yang berkaitan dengan makanan. Mau ga mau namanya makanan itu selera masing masing ya mbak. Senang banget Fahmi pas dapat kebab ya, aku jadi ikutan senang

    Reply
  10. Teh Okti, tulisan Teh tentang suka duka ngasih jajan anak di Gontor itu bener-bener ngena banget! Sebagai sesama orang tua, aku bisa ngerasain gimana campur aduknya perasaan antara ingin memanjakan anak dan mendukung kemandiriannya.

    Cerita tentang Fahmi yang harus beradaptasi dengan makanan pedas di pondok, dan bagaimana Teh Okti mencari solusi dengan penuh kasih sayang, menunjukkan betapa besar peran orang tua dalam mendampingi anak-anaknya. Salut atas kesabaran dan keteguhan Teh dalam menghadapi tantangan ini.

    Semoga Fahmi semakin betah di pondok, dan semoga Teh Okti terus diberikan kekuatan dan kebijaksanaan dalam mendampingi perjalanan pendidikan anak-anak. Tulisan Teh ini sangat menginspirasi dan membuka wawasan bagi banyak orang tua lainnya.

    Reply
  11. Sebagai orang asli Sumatera Barat saya paham banget sih teh okti, tentang kuliner di sini. Saya baru merasakan setelah merantau ke Jakarta, saat pulang kampung saya tersadarkan “kok lauk di rumah selalu disambelin yah?, seperti telur balado, ikan balado, ayam balado, tempe tahu balado, bahkan terung balado”. Kalau nggak balado, yah digulai. Itu udah template resep masakan di sumatera barat. Padahal di Jakarta, kita bisa loh bikin tahu tempe tumis atau tumis terong tanpa sambel dan enak kok.

    Memang di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung, tapi pihak pesantren harus sadar kalau santrinya dari berbagai daerah. Sebaiknya mulai memodifikasi masakan, misal untuk ayam balado jadi ayam goreng dan sambel dipisah. Jangankan anak pesantren, jamaah haji umrah di Mekah aja diberikan makanan Indonesia, seharusnya kan mengikuti masakan di negara arab sana.

    Reply
  12. Pastiiiiii diluar sana banyak orang tua santri yang merasa relatable dengan cerita ini ya kak. Pengorbanan dan ikhtiar Ibu dalam memastikan anak nyaman belajar patut diacungi jempol. Semoga Allah balas kebaikan Ibundaaaaa dan Fahmi semakin sukses di pondok.

    Reply
  13. Kalo daftar di gontor itu pembagian kampusnya tidak bisa memilih yaa? tergantung keputusan dari sekolah kah?
    Kebetulan ada dua ponakan saya juga sudah lulus dari gontor tapi alhamdulillahnya keduanya dpt kampus di jawa yaitu di ngawi sama ponorogo jadi masih dekat dengan rumah dan setiap minggu dulu bisa dikunjungi sekalian bawain pesanana dan lauk juga buat mereka 🙂

    Reply
  14. Bahagia ya mba, Fahmi bisa betah dan sabar…., jajan dibatasi mungkin agar tidak ada anak-anak yang ngerasa rendah diri melihat teman banyak jajan…jadi sama aja gitu… , Sukses buat fahmi….

    Reply
  15. Ga terbayang ya saat kita lagi makan enak eh anak gimana makannya di pondok pesantren? Fahmi keren bisa beradaptasi sedikit demi sedikit ngerasain sayuran pedas dll. ALhamdulillaah boleh dapat 1 nasi aja ya kalau menu lainnya pedas semua. Senangnya makan kebab walau sederhana tetapi pasti istimewa ya barakallah.

    Reply

Leave a Comment

Verified by ExactMetrics