Terpuruk Karena Gaya Hidup Menjerit Saat Resesi

Terpuruk Karena Gaya Hidup Menjerit Saat Resesi

Beberapa kali suara telepon berbunyi. Berisik. Tapi anak saya tidak mengangkatnya setelah pertama kali berbunyi dilihat panggilan itu dari nomor baru alias tidak tersimpan dalam hape saya. Kebetulan saat itu anak sedang meminjam hape saya untuk belajar.

“Penting kali Bu, coba terima dulu. Ini mengganggu ga bisa baca jadinya.” Anak protes. Hape diserahkannya ke saya. Alasan sekaligus supaya ia bisa istirahat sejenak dari belajarnya secara daring.

Saya perhatikan, memang nomor tidak dikenali. Saat panggilan habis, saya lihat ternyata nomor itu mengirimkan pesan juga. Rupanya dari teman saat di Bandung.

Saya balas pesan, mengatakan kalau saat ini ga bisa terima telepon karena hp lagi dipakai anak belajar. Kalau ada perlu pesan saja. Disela anak belajar saya bisa balas.

Dan mengalirlah cerita dari teman saya itu… Intinya dia mau pinjam uang. Langsung saya tolak dengan halus. Kondisi sedang social distancing begini repot kalau harus ke ATM secara saya ga punya m-banking.

Teman saya tetap maksa. Memohon-mohon supaya dipinjamkan uang. Saya tanya untuk apa. Katanya buat bayar hutang. Saya tetap menolak lebih halus. Sedikit memberi solusi banyak lembaga peminjaman uang di luar sana. Prosesnya ada yang praktis.

Teman saya menolak. Cerita katanya justru saat ini dia tengah dikejar oleh debt kolektor dari sebuah pinjaman online. Waduh. Gawat. Tapi saya jadi penasaran. Makanya pesan terus dijawab, pelan-pelan terus mengorek keterangan. Usut punya usut dia sampai terlilit hutang karena memiliki gaya hidup yang tidak sesuai dengan penghasilan. Suaminya bekerja, tapi hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari.

Saya kasihan, tapi tetap tidak sanggup memberikannya pinjaman. Bukan tidak tega, tapi memang tidak punya. Uang bulanan untuk ibu saja, saya harus menunggu fee cair dulu dari hasil menulis pesanan. Kalau dekat, sekitar seribu dua ribu mungkin saya bisa memberinya tanpa harus dibayar. Tapi kalau meminjam dalam jumlah tertentu, saya tidak sanggup. Ke pinjaman online saja mengingkari, apalagi ke sebatas teman yang bukan lembaga. Akan banyak alasannya.

Malamnya, teman saya memohon bantuan lagi untuk dipinjamkan uang. Saya tidak balas. Eh dia terus-menerus menelpon sampai berisik. Tidak enak dengan keluarga, saya silent saja hapenya.

Sambil menemani anak sebelum tidur, saya merenungkan cerita teman saya itu. Jadi kepikiran mungkin begitu akibatnya jika kita tidak bisa menyeimbangkan gaya hidup dengan kondisi keuangan keluarga. Gaya hidup konsumtif yang akhirnya menjerat sendiri dalam kesusahan. Apapun kondisinya, mau sedang resesi atau tidak, kalau gaya hidupnya tidak seimbang dengan penghasilan, apalagi kalau gaya hidupnya melebihi dari pendapatan tetap, udah deh, bakal resesi beneran dalam kehidupannya. Tidak harus menunggu resesi global lebih dahulu, bangkrut udah jelas dalam genggaman.

Teman saya itu tahunya saya pulang kerja dari luar negeri. Dikiranya saya banyak duit kali. Tapi aminkan saja ya… Dia tidak tahu, sebagai manusia saya pun dibelit berbagai masalah hidup. Semakin tinggi pohon, semakin kencang angin yang bertiup. Setiap orang mengalami resesi. Hanya mungkin cara menghadapinya yang berbeda.

Sejak pulang kampung, saya tahu keadaan saya tidak akan selamanya dalam posisi nyaman. Ditambah kondisi perekonomian sekitar mulai banyak masalah. Teman-teman banyak yang dipehaka, nilai investasi turun, laju perekonomian pun melambat. Saat itulah saya segera mengambil tindakan dan menjadikannya sebuah gaya hidup yang wajib dijalankan. Saya tidak ingin terpuruk karena gaya hidup, menjerit saat resesi.

Apa persiapan menghadapi resesi? Menerapkan pola hidup sederhana. Saya menjauhkan diri dari gaya hidup konsumtif. Saya sangat menghindari belanja barang yang tidak perlu. Berat, tapi saya terus belajar.

Langkah lain yang diambil ialah menabung. Berapapun hasil usaha yang saya peroleh, termasuk yang diberikan suami, saya usahakan untuk menyisihkan sebagian. Menyisihkan sebelum membelanjakan.

Hasilnya, alhamdulillah, meski tidak kaya, tapi kebutuhan tetap bisa terpenuhi. Meski tidak besar, namun saat ada keperluan mendadak, uang tabungan bisa dijadikan alternatif dan cadangan. Bahagia ketika bisa satu pemikiran dengan suami dimana menurut kami lebih baik hidup apa adanya tapi jiwa bebas lepas karena tidak dililit hutang.

16 thoughts on “Terpuruk Karena Gaya Hidup Menjerit Saat Resesi”

  1. Setuju utk tidak meminjami teh Okti
    Karena seperti menggarami lautan
    Uang pinjaman hanya akan berakhir untuk membayar hutang berbunga yang tak ada habisnya
    Jadi dia harus mendatangi pemberi hutang untuk mendapat solusi
    Bukannya nyari pinjaman yang ngga mungkin terbayar

    Reply
  2. Pinjol emang menggodaaaa mba. Tapi kalo gak hati-hati ya bisa terlilit utang. Bunganya ngalah-ngalahin bunga bank. Hehehe. Jadi ya harus pintar-pintar memilih platform pinjol, dan yang terpenting harus yang sudah di-acc OJK.

    Reply
  3. Resesi memang keadaan peralihan yang mengajak semuanya untuk lebih waspada dan hati-hati dalam berbisnis, termasuk memengaruhi pemasukan keuangan. Gaya hidup ketika resesi lebih baik berhemat aja…

    Reply
  4. Gaya hidup konsumtif ini memang bisa membelit orang ya Teh..enggak sadar akhirnya untuk memenuhi gaya hidup ini sampai berutang sana-sini. Duh ngeri. memang pola hidup sederhana dan sesuai kemampuan kita yang mesti diterapkan ya

    Reply
  5. Nah bener tuh mbak, ke pinjaman online aja gak bisa nepatin bayarnya, apalagi ke temennya sendiri. Saya juga pernah karena gak tega kasih pinjem, tapi abis ituuu nagihnya, huhuhuhuu galakan yang dipinjemin keknya

    Reply
  6. Serba salah memang kalo urusan per-duit-an gini ya Teh.
    Sikap mental ala perang memang kudu kita terapkan mulai sekarang: Harus Hemat, strategis, siapkan dana darurat, jangan gampang hutangin apalagi cari hutang

    Reply
  7. Kasihan ya bermasalah karena kesalahan sendiri.. Makanya Islam mengharamkan riba ya seperti itu sangat merusak akhirnya terlebih ini pinjam karena gaya hidup bukan karena utk kebutuhan primer. Pinjem ke ojol untuk kebutuhan primer aja sudah salah..Semoga temannya bisa dapat solusi dan menjadikan ini sebagai pembelajaran yang berharga utk hidupnya…

    Reply
  8. Gaya hidup harus disesuaikan dengan penghasilan. Kalo lebih besar gaya, siap-siap aja dengan hutang dimana-mana. Dan setuju banget ama sikapnya mbak, sebisa mungkin bisa tegas untuk tidak meminjamkan uang pada orang yang belum tentu mengembalikan sesuai janjinya.

    Reply
  9. Semenjak aku menutup kartu kreditku, hidupku jauh lebih sederhana hahaha soalnya sebelumnya berasa punya duit lebih, jadi belanja suka kalap sekarang mah kalo gak ada duit ya gak belanja dulu. Lebih tenang juga sih karna ga punya hutang . Bila masa resesi datang pun jadi lebih tenang karena ga ada tanggungan

    Reply
  10. Memang benar kata pepatah hemat pangkal kaya, jadi hidup agak irit itu lebih baik daripada kelihatan wah tapi hasil utang. Ini pelajaran buat aku juga teh.

    Reply
  11. Tuntutan gaya hidup yang di luar kemampuan yang justru melilitkan pada masalah. Jujur aku geram dgn orang2 yg enteng banget soal hutang piutang (gali lobang dan tutup lobang)
    Belajar dari pengalaman jadinya malah sakit hati karena pernah merasa iba

    Reply
  12. Karena kebanyakan gaya, jadi punya hutang deh.
    Suatu kali saya pernah terheran-heran, saat teman sekantor saya bertanya, berapa anggaran saya untuk gaya hidup selama sebulan. Lalu saya tanya, gaya hidup tuh maksudnya gimana? Dia bilang, jalan-jalan ke mall, makan di resto/cafe.

    Waduh, kalau saya, masakan rumahan pun anak-anak sudah terima. Kalau bosan masakan saya, gantian suami yang masak. Karena walau nama masakannya sama, rasa masakan hasil olahan suami dan saya itu berbeda. kata anak-anak, masakan suami lebih enak.

    Reply

Leave a Comment

Verified by ExactMetrics