Kalau sakit karena dipukul mungkin hanya terasa sesaat. Tapi jika sakit karena tajamnya omongan seseorang, rasanya sampai kapan pun pedihnya akan terasa.
Jadi ibu rumah tangga yang kerjaannya di rumah saja sebenarnya bukan keinginan saya. Jauh di lubuk hati paling dalam, saya berjuang bertahun-tahun merantau ke negeri orang tujuan awalnya ialah ingin punya modal untuk melanjutkan sekolah dan kelak mempermudah saya bisa mendapatkan pekerjaan. Jaman sekarang selain skill pendidikan terakhir pun ikut menentukan.
Tapi tidak semudah membalikkan telapak tangan, semesta pun selalu kurang mendukung. Meski sampai sekarang niat itu selalu ada, tapi prioritas dan kendala yang begitu kuat selalu menjegal semuanya.
Membawa saya pada akhirnya harus pasrah dengan semua keadaan. Berujung terkurung dalam sekat tidak berbatas yang namanya rumah tangga. Kesibukan dengan keluarga dan sekitar membujuk saya harus bisa menerima semua ini dengan imbalan tak berhingga dari sebuah kata ikhlas.
Malu jika bertemu teman-teman yang karirnya sudah semakin moncer. Gaya hidup jangan ditanya. Meski tinggal di lingkungan pedesaan, soal lifestyle tanpa diminta mereka sudah lebih dahulu naik tingkat. Termasuk soal pendidikan. Alasan tuntutan karir dan pekerjaan mereka kembali melanjutkan sekolah. Tepatnya bukan melanjutkan sih, melainkan membeli ijazah.
Mereka sendiri ada yang bercerita. Otak sebenarnya sudah tidak mampu untuk berpikir apalagi membuat tugas dan segala macam demi mendapatkan nilai. Begitulah, ucapan warna-warni seperti balon, indah, tapi isinya angin.
Jalan menggunakan joki, jasa pembuatan makalah dan tugas serta memilih sekolah instan pun menjadi pilihan. Tak masalah selama mampu membayar. Tak mampu pun berusaha pinjam sana sini dulu karena yakin nanti bisa balik modal setelah pangkat dan golongan naik dengan sendirinya. Ya, namanya juga teman. Ada yang baik, ada juga yang munafik.
Kadang saya bertanya dan berandai-andai. Kenapa Tuhan bisa menempatkan banyak hal di luar kemampuan manusia. Andai semuanya berpihak kepada saya. Andai yang berkesempatan melanjutkan sekolah itu saya, pasti tidak akan saya sia-siakan kemampuan berpikir dan niat yang masih meletup-letup dalam dada ini.
Ada yang berkata bahwa impian yang saya miliki ini terlampau besar. Biar gak makan hati, saya bilang saja bahwa justru ia yang berpikiran yang terlalu kecil.
Mungkin sebongkah berlian memang tidak pantas disandingkan dengan kerikil, makanya Tuhan memisahkannya…
Mereka memiliki kesempatan, tapi kenapa disia-siakan. Saya yang berjuang mati-matian mendapatkan kesempatan itu, kenapa harus merasa cukup dan menerima dengan semua ini? Apa harus menunggu jadi janda terlebih dahulu sehingga saya bisa mengambil keputusan tanpa rintangan? Astagfirullah…
Dasar tak puas dengan kondisi yang dimiliki, meski serba terbatas, saya tetap melakukan apa yang menjadi hobi dan pencapaian. Gak banyak berharap sih, niat untuk latihan dan terus berlatih saja. Ibarat pisau, setajam apa pun ia jika tidak diasah, suatu saat akan berkarat dan tumpul juga. Begitu juga dengan pikiran saya.
Menulis, membaca, membuat hal baru, mampir main ke Blog Sunglow Mama, sekecil apa pun itu selalu saya sempatkan di sela waktu luang yang saya miliki. Kadung mendapatkan julukan ibu rumah tangga yang kerjaannya di rumah saja, semakin lama saya semakin enjoy dengan kondisi ini.
Di rumah saja bukan berarti tidur, nonton atau tak mengerjakan apapun. Adanya internet yang bisa diakses Alhamdulillah telah memudahkan saya untuk merasa tetap jadi wanita karir meski tidak selalu menghasilkan uang.
Eh! Buat apa juga mencari uang, secara untuk semua kebutuhan sudah pasti ada yang menafkahi. Begitulah pemikiran saya menasihati diri jika kecewa mendapatkan job atau gagal menang lomba. Haha …
Tapi sebaliknya, self reward pun selalu saya lakukan jika saya mendapatkan rezeki dan kepuasan dalam menjalankan hobi dan imbalan dari sebuah pencapaian. Bukan mau memanjakan tapi lebih ke mengapresiasi diri saja. Pelecut supaya semangat tetap bergelora dan rasa tidak percaya diri semakin menjauh. Membuktikan jika ternyata suatu saat saya juga mampu.
Tidak mengenyam sekolah tinggi bukan berarti kelar hidup loe. Selagi kita masih bisa bersyukur, mencari peluang dan menjadikannya sebagai lahan usaha insyaallah kemudahan Nya itu nyata.
Di rumah saja, tapi receh demi receh bisa saya kumpulkan. Who knows, mereka yang dulu menyepelekan dan mengiris hati ini dengan ketajaman lidahnya setengah menutup muka meminjam uang kepada saya. Bukankah perjalanan hidup indah yang sesungguhnya adalah ketika seseorang mampu untuk berbagi? Lihat! Begitu elegan bukan cara Tuhan memperlihatkan kepada kita kenapa semua hamba itu harus menjaga lisan dan pikiran?
Tidak lagi peduli dengan tetangga yang nyinyir bilang saya tidak bergaul dengan masyarakat terdekat, tak masalah tetangga acuh mencap saya kaum rebahan yang pekerjaan nya menjajah suami. Kehidupan ini hanya saling memandang. Mereka tidak perlu tahu bagaimana bahagianya saya. Saya lebih baik menyibukkan diri bagaimana mempertanggungjawabkan apa yang saya lakukan ini di hadapan Nya.
mirip kehidupan saya sekarang, Teh Okti
tinggal di kampung, tetangga sering ngumpul-ngumpul ngerumpi depan rumah
hanya saya yang gak pernah ikut
karena harus ngejar dedlen atau riweuh ngulik blog 😀
Bagus sekali refleksinya. Seperti kata orang Polandia mbak, ‘urip iku sawang-sinawang.’ Saya yakin ada banyak dari mereka yang sebenarnya iri sama Teh Okti. Semangat.
Seperti sebuah kata pepatah “Sebaik-baiknya manusia adalah mereka yang bermanfaat/memberikan manfaat bagi orang lain”. Dan ini maknanya dalam banget. Semua manusia punya takdirnya masing-masing. Semua sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa. Tinggal kita meninggalkan jejak kebaikan di setiap langkahnya.
Saya suka tulisan Teh Okti ini. Mengingatkan kita untuk mawas diri. Melakukan hal baik dan terbaik, setidaknya buat diri kita dan keluarga.
Awal-awal nikah sampai anak satu masih ovt kalau liat temen yang sakses kehidupan rumah tangga dan karirnya. Sampai di wag kampus suka cerita ini dan itu..
Aku hanya bisa diam… “Masa mau cerita tentang perkembangan anak batita yang semua orang juga tau, bisanya baru nangis.” ((kasaran gitu ya..))
Jadi aku pun tenggelam dalam kesedihan diri sendiri.
Tapi sekarang, uda berbeda sudut pandang. Rasanya nyaman aja di rumah… temenannya sama dunia maya dan kalau ada yang bikin ovt malah bisa jadi konten di blog, heheh..
Ternyata manusia tuh sesimpel itu yaa, teh..
Menjadi manfaat buat diri sendiri banyak caranya..tapi kalau saya yang pasti tidak boleh lupakan 3 hal supaya jadi orang bermanfaat. Yaitu jangan lupa ucapakan; Terima Kasih, ucapakan Sapa salam dan ucapkan kata Tolong.
Aku sedang merasakan itu. Betapa ada saudara yang nyinyir mengapa aku yang di kuliahkan sampai kelar S1 hanya berdiam diri di rumah saja.
Tapi, aku mengerti. Karena mereka belum memahami ada pekerjaan yang bisa kita kerjakan di rumah dengan riang yang tentu akan mengundang uang.
Jadi, aku memilih diam saja. Dan berlalu sembari mengerjakan semua tugas dan kewajibanku. Hehehe…
Sepakat mbak, orang lain nggak perlu tahu lah apa yang terjadi di dalam rumah kita. Omongan tetangga/teman yang kadang menyakitkan/meremehkan emang bisa bikin emosi ya, tapi buat apa juga kita jelaskan panjang lebar tentang diri dan hidup kita pada mereka. Sepanjang pengalaman saya, pandangan mereka pada kita tak akan berubah.
Coba aja daftar di universitas terbuka mbak, nggak perlu ke luar rumah tuh karena kuliahnya online. Kuliah beneran, bukan cuma beli ijazah
Setuju Mba, menyibukkan diri dengan hal-hal yang bermanfaat karena semua yang kita lakukan harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Nyinyiran lisan ini memang luar biasa sih dampaknya, ada saat membuat down banget dan ada kalanya jadi bahan bakar semangat untuk terus bergerak lebih-lebih kalau kita punya passion trus dapat fee sebagai bonus…
Kalau mendengarkan kata orang akan tidak ada habisnya ya Teh.
Balik lagi jadinya ke diri sendiri, bagaimana menerimanya.
Karena dengan menerimanya sekaligus bersyukur, dan dengan bersyukur maka akan banyak nikmat yang bertambah, aamiin. SemangatCiee Teteh
Ah iya bener ya Teh, kalau terus mendengarkan omongan orang lain nggak akan ada habisnya. Lebih baik Kita fokus ama diri sendiri dan keluarga. Bahagia juga diri sendiri yang menciptakan
Pokoknya omongan negatif gak usah di tanggapi dengan hati. Cuekin aja yang penting kita benar kelakuan dan benar
orang yang banyak urusin orang lain itu biasanya gak bahagia hidupnya, Mba. Memang udah paling benar gak perlu pedulikan apa kata mereka yang nyinyir itu
kalau kita memperhatikan terus-terusan “rumput tetangga lebih ijo”, kita nggak bakalan maju-maju karena sibuk membandingkan terus
yang penting kita sendiri berusaha untuk terus membenahi diri, menambah skill diri, lakukan yang kita mau dan mampu, itu sudah cukup dan pastinya bisa bikin kita hepi versi kita sendiri
setuju teh capek banget soalnya kalau dengerin nyinyiran tetangga dengan segala pemikirannya tentang kita. Mending enjoy dan fokus menjalani hal-hal yang kita miliki ya. Mereka gak perlu tahu meski dicap kaum rebahan aslinya bisa mengumpulkan recehan demi recehan menjadi banyak 🙂