Kuliner Jadul Surabi

“Yah, habis. Gak kebagian Mak?” Air mata udah menggenang dengan sendirinya. Salah siapa dibangunkan untuk solat subuh malah lelet. Eh kesiangan beneran jadinya kue surabinya gak kebagian.

“Ada nih Emak sisihkan. Emak tadi tanya ke adikmu, katanya si teteh mah masih di rumah. Ntar ke sininya siang. Ya udah Emak simpankan saja sebelum kehabisan. Makanya besok lagi kalau dibangunkan jangan kebluk. Malu atuh parawan kalah bangun pagi sama ayam…”

Malu tapi cuek saja. Segera menghabiskan kue surabi (orang secara umum mengenalnya dengan nama serabi) Emak yang sudah dicampur kinca (kuah terbuat dari gula merah yang dicairkan). Tidak bosan meski setiap pagi surabi kinca ini selalu jadi menu sarapan sebelum berangkat ke sekolah. Kerak kering di pinggir surabi punya sensasi khas saat kami gigit. Ah, kenangan masa kecil yang sangat indah.

Apa kabar masa kecilku di Gumuruh, Batununggal Kodya Bandung? Hampir sepuluh tahun tinggal di sana banyak kenangan yang masih teringat sampai sekarang. Meski kondisinya tentu saja sudah banyak jauh berbeda.

Emak dan Abah tetanggaku sewaktu masih tinggal di Gang Masjid At Taufik, Jalan Gumuruh. Rumah kami beda RT. Saya di samping masjid, sementara Emak di depan masjid agak ke belakang mendekati makan dan sungai. Kalau di luruskan rumah kami terhalang lapangan depan masjid dan jalan Gumuruh.

Emak berjualan surabi setiap pagi. Adonan berbahan dasar tepung terigu, tepung beras, telur, dan air kelapa atau santan selalu diaduk Abah penuh semangat. Dari sanalah penghasilan satu-satunya untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Ada dua jenis surabi yang dijualnya. Surabi oncom yang rasanya gurih pedas, dan surabi kinca yang manis kesukaan kami. Setelah subuh hingga habis Emak akan ada di pinggir jalan Gumuruh, percis depan lapangan masjid di samping gang menuju makam.

Setiap pagi juga sejak ingat sampai kami pindah saya dan adik selalu siduru (menghangatkan badan dekat perapian) di lapak dagang Emak. Kami sangat senang karena Emak baik, selalu memberi kami surabi kinca yang legit. Belakangan baru saya tahu tanpa sepengetahuan kami kalau ibu saya selalu membayar surabi yang kami makan itu.

Ya kalau dipikir-pikir sekarang kasihan banget kalau Emak setiap pagi memberikan surabi buat kami secara cuma-cuma. Padahal perekonomian kami tak jauh beda. Saat itu mungkin karena saya masih kecil, pikirnya enak saja dikasih gratis.

Setelah pindah rumah, tak ada lagi kabar tentang Emak dan Abah. Kabar teman sekelas waktu SD pun yang rumahnya pinggir jalan terhalang tiga rumah ke lapak Emak berdagang sama sekali tidak ada kabarnya. Kami hilang kontak. Saat itu kan belum ada telepon.

Selama itu, sekian puluh tahun saya tidak makan lagi kue surabi. Terakhir makan surabi sekitar tiga tahun lalu karena di Sukanagara Cianjur tempat ibu saya tinggal sekarang ada kedai Soerabi Bandung. Saya ke sana biar gak ketinggalan info lokasi wisata kuliner hits saat itu. Hehe… Tentu saja surabi yang dihidangkan sudah jauh lebih modern. Tak lagi berupa surabi jadul bertopingkan oncom atau dikuah kinca, melainkan surabi kekinian dengan toping yang beraneka macam. Greentea, cokelat, keju, strawberry, durian dan lainnya.

 

Ah meleleh rasanya ingat surabi (serabi) jadi ingat Emak dan Abah. Meski mereka orang lain, tapi seolah nenek dan kakek sendiri saja.

Setiap main ke rumahnya di jalan menuju makam, meski sempit dan banyak asap karena mereka tidak memiliki kompor, jadi masak menggunakan hawu (perapian) tapi saya dan adik selalu betah. Setiap dimarahi bapak, lari ke rumah Emak. Haha … Kaburnya gak berani jauh.

Terakhir kali ke Gumuruh, main ke rumah teman masa kecil yang dulunya kami tetanggaan, sekitar lima tahun yang lalu. Tidak ada lagi lapak dagangan Emak. Semua berubah jadi kawasan perumahan elit. Tidak ada yang tahu juga kabar Emak dan Abah. Teman masa kecilku di Gumuruh yang sekarang kerja di Rumah Sakit Mata Cicendo bilang dulu waktu kami masih SMP, Emak dan Abah juga warga sekitar pemakaman semua juga pada pindah. Tapi entah kemana. Secara yang ada sekarang di sekitar itu angkatan anak dan cucunya mana tahu kondisi jaman dulu.

Kangen makan kue surabi jadul buatan Emak dan Abah, meski hal itu tidak mungkin bisa terlaksana. Semoga almarhumah Emak dan Abah mendapatkan keridhoan Nya. Aamiin…

17 thoughts on “Kuliner Jadul Surabi”

  1. Kalo di Medan, serabi nanti bakalan rame pas bulan ramadhan di pasar dadakan pinggir jalan. Jadi salah satu menu takjil berbuka. Tapi memang enak, sih. palagi kalo masih hangat …

    Reply
  2. sugan teh yang dimaksud emak adalah mamahnya Teh Okti

    tapi setuju teh, surabi teh ngangenin pisan

    apalagi surabi yang asli yang tepung berasnya digiling ngadadak

    bukan buatan pabrik

    Reply
  3. Sajian kuliner jadul selalu membuat kangen penikmatnya, rasanya yang tidak aneh-aneh, bahannya yang juga tidak banayk campuran, membuat kita makin menikmatinya. Surabi kesukaan saya juga, loh Mbak.

    Reply
  4. surabi emang mantul banget sih, rasanya itu mengingatkan pada masa kecil. tapi sekarang banyak banget lho surabi modern dengan berbagai rasa, bisa juga dicobain satu-satu. meskipun ujung-ujung nya pasti kangen rasa surabi original

    Reply
  5. Duh jadi pengen makan surabi deh teh, pengen yang original rasa oncom dan pengen yang toppingnya manis-manis enakeun pisan sambil ngopi yaaa

    Reply
  6. Aamiiin..semoga emak dan abah senantiasa mendapatkan ridho Allah SWT.. Ngomongin surabi, jadi ingat penjual surabi dekat rumah ibu. Kalau lagi nginap di sana, ya sarapannya tidak lain dan tidak bukan adalah surabi itu.

    Reply
  7. Dari berbagai inovasi rasa surabi, favorit saya tetap yang original, rasa gurih disiram santan. Pernah nyoba disiram kinca/air gula merah, ternyata nggak cocok di lidah saya. Orang jadul sukanya yang jadul gini deh. Hihi

    Reply

Leave a Comment

Verified by ExactMetrics