Saat makan siang, mama mertua tampak repot karena banyak nasi yang berjatuhan. Begitu juga saat minum, airnya pada tumpah membasahi baju dan lantai.
“Perasaan ini kaya bengo (penyok karena urat syaraf tidak berfungsi, jadi seperti mati sebelah). Coba lihat,” kata mama sambil meraba-raba wajah, terutama bagian mulut dan bibirnya.
Aku memeriksanya, benar saja wajah mama sudah berubah. Bibir sebelah kanan ketarik ke atas, sementara sebelah kiri tak berobah seperti biasa. Mungkin itu yang menyebabkan makanan berjatuhan dan air yang diminum tidak bisa ditampung mulut keseluruhan. Bibir bawah maupun atas yang sebelah kanan membuka dan sulit ditutup (bibir dikatupkan).
“Gak apa-apa, dulu nenek juga begini, tidak lama kok, padahal termasuk parah,” kata mama. “Sampai tiga bulan baru sembuh lagi…” Lanjutnya.
“Tidak sakit, Ma?”
“Tidak. Ini karena ada urat syaraf yang kena. Nanti baik lagi.”
Aku lalu hanya diam. Takut salah perkataan atau salah faham. Tapi dalam hatiku meringis juga. Dan aku teringat pengalaman waktu masih sekolah di SMP di Tasikmalaya.
Suatu hari setelah wudhu untuk sholat ashar, aku merasa air yang aku kumur selalu memuncrat, tidak bisa aku tahan. Sekembalinya dari air (pancuran) — maklum di kampung, mandi jauh ke kolam berpancuran milik orang lain– aku langsung mencari cermin dan berkaca.
Ya Allah! Wajahku penyok! Sebagian seperti mati, khususnya yang sebelah kanan! Itu sebabnya bibir tak bisa merapat. Berkedip saja kelopak mata sebelah kanan susah/lambat sekali. Alis sebelah kanan malah tak bisa digerakan. Aku sangat bingung, malu dan ketakutan!
Ya, aku takut bagaimana kalau tidak bisa sembuh. Aku takut karena aku tinggal hanya dengan nenek yang tidak bisa apa-apa. Orang tuaku jauh di Cianjur. Saat itu belum ada telepon genggam. Mau ke dokter hanya ada ke puskesmas di Desa Langkob, itu yang terdekat dan mungkin yang bisa kami jangkau baik jarak maupun harganya.
Aku juga malu karena teman-teman menertawakan wajahku yang penyok. Walau sebagian teman dekat sangat prihatin dan ikut mensuportku supaya tenang, bisa sembuh dan mengantar berobat ke puskesmas.
Saat itu mantri di puskesmas bilang kadar garam dalam tubuhku tinggi. Aku disarankan tidak dulu makan ikan asin, dan diberi obat.
Seminggu kemudian, alhamdulillah wajahku kembali hidup, tidak mati sebelah lagi. Meski tidak seperti semula, masih ada sebagian yang belum bisa digerakan, tapi aku sudah bersyukur banget. Sampai sekarang malah mata sebelah kananku tampak lebih kecil daripada yang kiri. Tapi bagiku sudah lebih baik, itu tidak terlalu kentara.
Kini mama bengonya malah makin parah. Sebelah kanan mulutnya gak bisa dikatupkan karena tertarik ke atas. Kalau bicara juga terdengar lain. Seperti sengau dan tidak begitu jelas.
Apakah kadar garam dalam tubuh mama juga terlalu tinggi hingga jadi bengo begitu? Soalnya akhir-akhir ini kalau makan masakanku, mama suka ditambahi lagi garam. Makan kerupuk saja suka komplain kalau tidak terasa asinnya.
Yapi mama bilang ada urat syaraf yang kena? Apakah ada kaitannya dengan strooke yang diderita mama? Aku tak tahu pasti. Yang jelas, semoga mama cepat sembuh hingga bisa makan dan minum kembali normal. Wajahnya juga tidak penyok lagi. Amin! (Ol)