Guru Inspiratif: Teladan Penjaga Lisan dan Perbuatan
Semua guru memiliki peran dan posisi sama dimata saya sebagai muridnya. Entah itu guru saat sekolah dasar di Bandung, guru sekolah menengah di Tasikmalaya, atau guru saat di SLTA di Cianjur. Tidak ada istilah guru kiler, karena semua guru bersikap baik kepada saya. Mungkin karena saya bukan anak bandel, cukup aktif di berbagai kegiatan dan atau dinilai cukup membanggakan,sehingga semu guru sangat berkesan, sangat menginspirasi dan membawa kenangan tersendiri.
Beda dengan anak-anak seusia saya saat sekolah, saya malah tidak punya guru mengaji. Karena yang mendidik saya mengaji sejak kecil ialah ibu saya sendiri. Saat anak-anak lain belajar ngaji ke rumah pak ustadz atau ustadzah, saya hanya di rumah saja. Menderas Juz Amma (saat itu belum ada buku belajar mengaji Iqra) hafalan doa dan ejaan Al Quran.
Begitu juga saat di Tasikmalaya meski pesantren berjarak hanya 200 m dari rumah tapi saya malah minta mengaji di rumah, belajar sama kakak sepupu dan paman/bibi yang sudah lebih jauh hafalan serta ilmu ngajinya.
Kini saat saya sudah berumah tangga saya justru baru mulai mengaji lagi. Tidak malu? Tidak. Justru saya merasa malu kalau saya akan kalah pengetahuan serta pemahaman ilmu agama oleh Fahmi, anak saya. Begitu juga suami. Meski kami punya tanggung jawab terhadap anak didik mengaji di rumah, justru mereka para santri itulah yang memicu suami untuk terus memperdalam ilmu dan wawasan dengan mengikuti belajar mengaji ke beberapa kajian dan pertemuan.
Dari beberapa tempat mengaji yang selama ini diikuti, saya dan suami sangat terkesan dengan seorang pengajar sekaligus ulama yang sangat dihormati. Beliau ternyata penerus dari seorang ulama ternama yang tiada lain guru mengaji ibu saya, beserta saudara (adik kakak) ibu saat belajar di pesantrennya dulu.
Ibu saya beserta saudara-saudaranya setelah menamatkan SD langsung mondok di Pondok Pesantren Al Muawanah, yang berada di Kampung Lebakwangi, Desa Bunijaya Kecamatan Pagelaran. Saat jaman ibu saya, ulama yang mengajar dan disegani ialah Apa Badri. Kini beliau telah tiada. Penggantinya yang utama adalah menantunya, yaitu Kang Pahru (demikian kami menyebutnya) yang tiada lain menjadi guru mengaji suami.
Yang menginspirasi dari Kang Pahru, selain penyampaian ilmu agama yang detail dan konsisten, juga kenetralannya dalam menghadapi berbagai masa pemilu atau pilkada. Kang Pahru jelas beda dari ulama-ulama lain yang kami lihat cenderung lebih memberatkan kepada salah satu kandidat atau partai. Tapi tidak dengan Kang Pahru.
Sejak pemilu, pilpres, pilkada Jabar, dan pilkada Cianjur banyak yang bertanya sebaiknya santri atau umat memilih mana? Kang Pahru hanya tersenyum bijak. Beliau tidak menyarankan untuk memilih satu pihak, melainkan balik mempertayakan dan menyarankan untuk bertanya kepada hati masing-masing, katanya pilihan tidak tergantung kepada beliau, melainkan ada di tangan masing-masing dan itu semua akan diminta pertanggung-jawabannya kelak oleh Nya.
Ini jelas sangat melegakan kami dan membuat kami semakin simpati. Membandingkan dengan ulama lain yang banyak diundang saat pengajian atau peringatan hari besar Islam, mereka justru cenderung menghakimi dan memihak kepada salah satu pihak. Entah karena sudah dibayar, dilobi, atau memang termasuk kakdernya juga. Wallahu’alam.
Di jaman politik yang serba kejam dan panas ini, kehadiran Kang Pahru seolah menjadi penyejuk serta pereda kegelisahan kami selama ini. Saya dan suami semakin mantap belajar dan berguru kepadanya, seorng guru sekaligus seorang ulama yang sangat menjaga lisan, serta perbuatannya. Satu hal yang sudah sangat sulit bisa kita temukan di jaman serba bisa disuap ini.
ilmu agama tetap harus dikerjar ya teh.
Enaknya punya guru yg netral dalam hal politik dan rendah hati itu malah bikin ngademin ya Teh. Gak bikin bosan belajar jadinya. Apalagi belajar agama. Masya allah semoga allah memudahkan Teh Okti dan keluarga dalam menuntut ilmu yang baik dan bermanfaat.