Ya iya dong, kalo ga sadar gimana mau bisa naik kendaraan ya? Hehe…
Maksudku sadar di sini, adalah bukan sekadar sadar dalam artian bangun, tidak tidur, atau sadar tidak dalam keadaan pingsan. Bukan sekadar sadar itu, tapi sadar0dalam arti menyadari akan kondisi diri, menyadari akan kelemahan diri, dan kesadaran untuk berserah diri.
Kejadian tadi pagi saat aku naik Bus Parung Indah di Puncak, adalah yang membuatku tersadar juga untuk segera menyadari dan membuat tulisan ini sebagai koreksi dan pelajaran untuk diri sendiri.
Saat bus yang aku tumpangi dalam posisi menurun dan belok kiri, tiba-tiba di depan ada mobil pribadi avanza hitam tengah mau berbelok berseberangan arah. Tentu saja sopir bus Parung Indah ini mengerem mendadak. Berdecit. Dan sekian sentimeter lagi kena ke mobil avanza hitam itu sebelum akhirnya benar-benar berhenti.
Sopir avanza hitam diam aja. Tapi yang duduk di sebelah kiri si sopir mencak-mencak sambil melotot ke arah sopir Bus Parung Indah. Kami semua yang ada di bis melihatnya dengan jelas karena posisi kami di bis lebih tinggi dari mobil avanza hitam itu.
Mungkin yang mencak-mencak itu yang punya avanza. Atau dia pejabat yang arogan, masalah segitu saja sampai melotot dan mengeluarkan bahasa yang tidak pantas untuk dikeluarkan oleh seseorang dengan pakaian serba necis itu.
Sopir bus Parung Indah hanya mengangkat tangan dan bilang “Saya sudah berusaha mengerem, Pak. Ya direm pun tidak bisa langsung berhenti…” Katanya dalam nada tenang. Tapi si pemilik avanza itu terus saja ngotot. Tahu macet bukannya segera jalan supaya mobil mengkilapnya itu tidak menghalangi jalan lewat kendaraan lain.
Dari logat bicaranya, ternyata sopir Bus Parung Indah ini mungkin tidak bisa berbahasa Sunda. Makanya dia hanya menjawab dalam dua kalimat pendek sajan itu pun dengan bahasa Indonesia.
Yang aku tahu, kebanyakan sopir bus Parung Indah atau bus sejenis lainnya kalau jurusan Cianjur – Jakarta itu sopirnya orang daerah (Sunda). Kalau saja sopirnya bisa dan mengerti bahasa Sunda, pasti dia akan menjawab kembali caci-maki si pemilik avanza arogan tadi.
Tidak berapa jauh dari lokasi itu, tiba-tiba di depan bus yang aku tumpangi lagi-lagi ada mobil pribadi warna hitam yang langsung belok menghalangi jalan bus. Kembali rem mendadak dilakukan sopir bus Parung Indah walau kali ini dia sedikit mengoceh, “Kalau mau belok ya kasih tanda, jangan main langsung gitu… Tunggu kosong dulu.”
Si sopir mobil pribadi itu membunyikan klakson dan mengangkat tangannya. Entah tanda ucapan terimakasih, atau minta maaf. Yang jelas dia tidak akan mendengar perkataan sopir bus yang aku tumpangi karena pelannya.
Karena kedua sopir sepertinya saling mengalah, tidak lama jalan pun lancar lagi. Perjalanan kembali normal.
Nah, dari dua peristiwa itulah yang secara tidak langsung menyadarkanku akan artinya kesadaran. Sadar dalam berkendaraan itu penting. Sopir avanza mungkin sadar, makanya dia diam saja. Tapi pemiliknya yang tidak sadar, tidak menyadari kondisi, maupun siapa yang salah atau benar, makanya main caci maki orang saja. Bukannya permasalahan selesai dengan baik dan penuh kesadaran, tapi justru memperumit permasalahan sehingga timbul berbagai permasalahan baru.
Lain lagi saat sopir mobil pribadi yang kedua, meski mungkin tidak tahu siapa yang salah dan atau benar, dia tetap menyadari posisinya yang memang menghalangi jalan orang. Tanpa tahu diomeli orang lain dia dengan rendah hati dan sadar segera mengakuinya, dengan tanda mengangkat tangan dan membunyikan klakson.
Karena kedua belah pihak saling sadar dan menyadari posisi di jalan, saling mengalah akhirnya macet bisa dihindari secepat mungkin. Kedua pihak juga berlalu dengan perasaan tenang, tanpa masalah atau rasa marah. Dengan begitu kesadaran saat berkendara itu memang penting, bukan? (Ol)