Anak jaman now pasti mudeng dengan istilah chilling dan healing yang akhir-akhir ini sangat populer di berbagai kalangan masyarakat. Biasanya, kedua istilah tersebut dipakai oleh orang yang lelah dengan rutinitas sehari-hari, lalu membutuhkan waktu khusus untuk mengisi energi diri dengan cara yang menyenangkan.
Bagaimana dengan penyandang disabilitas dan Orang Yang Pernah Menderita Kusta (OYPMK) apakah mereka memerlukan chilling dan healing juga?
Saya pribadi sih yes. Maksudnya, penyandang disabilitas dan OYPMK tentu saja butuh juga healing. Bukankah penyandang disabilitas dan OYPMK juga manusia?
Apalagi seperti kita tahu, penyandang disabilitas dan OYPMK kerap mendapat pandangan sebelah mata dari masyarakat. Mereka masih banyak yang mengalami tekanan karena sikap diskriminasi masyarakat.
Apalagi tidak hanya diskriminasi dari lingkungan sosial, acap kali OYPMK dan penyandang disabilitas memiliki self stigma (stigma diri) yang tinggi. Hilangnya rasa percaya diri dan cenderung menarik diri dari lingkungan sosial menjadi faktor sulitnya mereka kembali ke masyarakat.
Dalam kondisi seperti itu, tentu saja mereka butuh chilling dan healing… Meski kita tidak pernah tahu bagaimana chilling dan healing yang dibutuhkan para penyandang disabilitas dan OYPMK itu seperti apa?
Sampai saya berkesempatan menyimak YouTube Live Kantor Berita Radio di channel Berita KBR tentang edukasi seputar OYPMK dan penyandang disabilitas pada hari Rabu 14 Desember 2022.
Kali ini KBR menghadirkan topik “Chilling – Healing Bagi OYPMK, Perlukah?” dengan nara sumber Donna Swita – Executive Director Institute of Women Empowerment (IWE) dan Ardiansyah – OYPMK sekaligus Wakil Ketua Konsorsium Pelita (Peduli Disabilitas dan Kusta) Indonesia.
Ternyata tekanan kesulitan untuk OYPMK, diskriminasi tidak sedikit justru datang dari lingkungan keluarga sendiri. Seperti yang dialami narasumber Mas Ardiansyah. Awalnya ia memang menyembunyikan penyakit kusta yang dideritanya selama menjalani pengobatan di rumah sakit kusta di Makassar.
Untuk membangun rasa percaya diri pelan-pelan Ardiansyah mencoba terkoneksi dengan dunia luar. Sayang, stigma dan diskriminasi itu justru datang dari orang terdekat, yaitu sang Ibu. Orang yang seharusnya menjadi jajaran terdepan pemberi dukungan pada anaknya.
Ardiansyah dibatasi akses untuk ikut berkumpul bersama keluarga, tidak diperkenankan bertemu orang lain, bahkan tidak boleh tidur di sembarang tempat di dalam rumahnya. Belum lagi Ardiansyah harus makan di tempat makan yang terpisah khusus untuknya. Keluarga tidak mau tahu jika Ardiansyah sudah menyelesaikan masa pengobatan. Kejadian itu tertanam kuat di benaknya dan menjadi luka batin yang dimiliki Ardiansyah.
Bagaimana Ardiansyah seorang OYPMK bisa menyembuhkan luka batinnya?
Bicara tentang healing atau penyembuhan, ada beberapa aspek yang harus dilihat. Seperti fisik, psikis, mental, relasi dan spiritual. Baru penyembuhan seperti apa kemudian bisa ditentukan. Healing atau penyembuhan yang seperti apa yang dapat dilakukan sesuai dengan kebutuhan.
“Healing itu sebenarnya penyembuhan. Penyembuhan pada sesuatu yang terdampak terutama pada psikis dan emosi seseorang.” kata Donna selaku narasumber selanjutnya.
Healing tidak selalu berbentuk traveling, karena healing bagi setiap orang berbeda. Bisa saja seseorang menjadikan membaca sebagai healing dari permasalahannya. Atau bergabung pada sebuah komunitas dan menyibukkan diri di sana, saking enjoynya, kegiatannya itu bisa menyembuhkan beban batin yang selama ini dimilikinya.
Aktivitas apapun yang disukai bisa banget dijadikan alat untuk merelease stress. Dan aktivitas itu bisa dilakukan oleh siapa saja termasuk penyandang disabilitas dan OYPMK.
Agar tak terus berada di lingkungan yang membuat batinnya terluka, Ardiansyah keluar dari lingkungan keluarganya dan bertemu dengan teman-teman komunitas NLR Indonesia. Komunitas yang siap menerima dirinya dengan tanpa stigma.
“Komunitas NLR banyak memberikan penguatan kapasitas kepada saya, sehingga saya bisa fokus di gerakan organisasi kusta dan disabilitas ini sejak tahun 2018.” Jelas Ardiansyah.
Sebelum aktif di organisasi Pelita, Adriansyah yang sempat bekerja di Konsultan Perencanaan. Ardiansyah belajar bersosialisasi dengan orang-orang baru untuk terus mengasah rasa percaya dirinya. Hal itu jadi pengingat bagi Ardiansyah bahwa satu-satunya yang bisa mengubah kehidupannya adalah dirinya sendiri.
Ardiansyah juga memberanikan diri untuk memberikan edukasi kepada keluarganya yang justru menjadi pelaku diskriminasi terhadap OYPMK.
Diakui Ardiansyah, healing sangat penting bagi seorang OYPMK karena biasanya sangat menutup diri sehingga tidak memiliki teman untuk bercerita. Stigma masyarakat yang begitu kental membuat semangat dan mental OYPMK naik turun naik dan turun lagi.
Padahal, ternyata meskipun OYPMK tidak bisa bebas bercerita kepada orang lain, masih banyak cara lainnya yang bisa dilakukan sekadar mendapatkan healing seperti dengan menulis, journaling, bikin podcast dan sebagainya.
Apapun yang bisa kita ungkapkan meski lewat sebuah cerita dalam tulisan, bagi OYPMK hal itu bisa jadi sebuah healing yang tak tergantikan. Apalagi jaman sekarang banyak media yang bisa memfasilitasi seperti media sosial, blog, atau melalui aktualisasi diri melalui rekaman video dan atau audio.
Sebagai masyarakat melek digital, sudahkah kita menghilangkan stigma buruk terhadap penyandang disabilitas dan OYPMK? Jangan sampai kita ikut menyumbang luka batin seperti yang dialami Mas Ardiansyah.
Ada banyak kisah seputar Penyandang disabilitas dan OYPMK yang bisa kita simak di 105 radio jaringan KBR seluruh Indonesia dari Aceh hingga Papua. Rekaman live streaming via website KBR.ID atau di channel YouTube Berita KBR juga bisa ya.
Semoga dengan semakin banyak informasi yang kita dapat tentang dunia penyandang disabilitas dan OYPMK semakin tinggi rasa peduli kita terhadap mereka dengan tidak lagi memandang mereka dengan sebelah mata.
Semua orang punya hak yg setara y Teh.
Termasuk OYPMK
Chill and heal pastinya jg berhak mereka lakoni dgn baik yah
sedih banget ya?
karena itu penting banget tulisan2 informatif seperti ini
agar masyarakat tidak memarginalkan OYPMK
karena OYPMK punya hak dan kewajiban yang sama dengan warga lainnya
adikku salah satu OYPMK. Alhamdulillah gak sampe kehilangan anggota tubuhnya, tapi saat menjalani pengobatan adikku mengalami lumayan banyak diskriminasi, salah satunya dari atasannya di kantor. Untunglah kami sebagai keluarga selalu menguatkannya. Alhamdulillah, setelah 1 tahun berobat, adikku dinyatakan sembuh oleh dokter. Kulitnya kembali sehat dan bersih (waktu menjalani pengobatan kulitnya menghitam dan membengkak, huhuhu)