Balada Warga Tak Punya Tetangga

Balada Warga Tak Punya Tetangga

Sejak adzan berkumandang jendela rumah di ujung jalan kampung itu mulai terbuka satu per satu. Sebagai rumah paling sisi di batas desa, yang lebih dekat kepada aliran sungai dari pada rumah tetangga membuat suara keciprat air lebih nyaring terdengar di sana dari pada suara televisi layaknya di rumah yang berdempeten seperti rumah kontrakan.

Asap mengepul dari lubang angin di belakang rumah. Minyak panas yang mengeluarkan bunyi khas ketika telur pecah dan isinya ditumpahkan di atasnya membawa bau harum yang mengundang lapar. Kebiasaan di pedesaan, sarapan menjadi keharusan sebelum melakukan pekerjaan apapun.

“Kuuur… Kuur… Kuuuur…”

Tidak lama keluar seorang wanita dengan sepiring dedak di tangannya. Membuka pintu kandang ayam, membagi-bagikan dedak menjadi beberapa bagian supaya ayam jantan, ayam betina dan ayam yang masih belum disapih semua kebagian rata.

Selesai mengurus peliharaan, termasuk memberi pakan ikan mujair di kolam samping kandang ayam, bergegas ia kembali ke dalam rumah. Rengekan anak semata wayangnya tidak bisa menyalip pendengaran. Apapun yang dipegang segera dilepaskan. Kecuali anaknya sudah bisa main sendiri dan ia bisa melepasnya.

“Ayah kerja dulu ya,” pamit sang kepala keluarga setelah jam di dinding hampir menunjukkan pukul 7. Deru sepeda motor butut yang setia menemaninya membelah kesunyian kampung. Membuat bu-ibu tetangga di kontrakan yang dilewatinya menoleh, memastikan kalau yang mengendaranya ialah penghuni rumah di ujung jalan kampung.

“Kalau aku, suami sudah berangkat kerja, ya tinggal senangnya. Ngopi kek, ngabubur lah, ngawuduk lah. Bukannya memenjarakan diri. Macam orang tidak punya tetangga.” Celetuk seorang pembeli sayur di warung tengah kampung yang dilewati deru sepeda motor penghuni ujung jalan.

Sepagi itu, mereka diantaranya penghuni kontrakan sudah pada kumpul mengerubuti warung.

“Enggak bosan kali ya mengurung diri dan anak di rumah?” Perempuan lainnya menimpali.

“Mereka sudah terbiasa, Bu. Dan di rumah juga bukan cuma nonton saja seperti kita. Mereka mah punya kegiatan.”

“Tahu dari mana, Bi?” Sedikit menyelidik, jengah.

“Tahu saja. Kan saya sering ke rumahnya kalau mau ambil kayu bakar.”

“Emang kerjaan istrinya itu apa? Ngasuh anak seperti kita kan?”

“Setelah selesai mencuci dan beres-beres rumah, ibunya buka internet. Memberikan pelajaran untuk anak, sambil bekerja. Itu yang sering saya lihat mah.”

“Walah, orang kampung saja pakai banyak gaya.”

“Itu seharian kaya gitu kerjaannya, Bi?”

“Ya tidak, Bu. Sampai sekitar jam sepuluh. Setelah itu ibunya siapkan masak untuk makan siang. Anaknya kadang ikut. Kadang main saja di halaman atau belakang. Sesekali mereka juga suka keluar kok jalan-jalan.”

“Apa tadi buka internet ya? Emang kerja kitu teh dapat duit? Naon sih kerjaanna?”

Si Bibi tukang warung tersenyum. “Blogger, Bu. Ya atuh kalau tidak mah mana mungkin dikerjakan, Bu…”

“Tapi kerja gitu-gitu amat meni sampai ka tidak kenal tetangga, kok bisa ya?”

“Ih, ari Ibu. Kata siapa tidak kenal tetangga? Mereka tidak mengenal kita. Tapi blogger mah mengenal dunia luar. Temannya bukan hanya tetangga di sekitar rumah. Tapi lebih banyak dari luar daerah.”

“Tapi keukeuh we teu natangga ah!”

Si Bibi pemilik warung mengeryitkan bulu yang berbaris di atas matanya. Dalam hati memuji tetangganya penghuni rumah di ujung jalan kampung. Yang sudah membuat tetangga lainnya setiap pagi, setiap hari selalu bertanya kenapa tidak pernah keluar rumah, kenapa tidak pernah nongkrong-nongkrong seperti mereka.

Jadi blogger di daerah memang rentan dikira tidak gaul sama tetangga. Padahal pilihan orang mau ngapain saja kenapa juga diurusin, ya?

 

18 thoughts on “Balada Warga Tak Punya Tetangga”

  1. Baiknya memang jaga jarak sih, karena biasanya banyakan menggosip dan ujung-ujungnya bertengkar. Saya udah lihat banyak kejadian di tetangga saya

    Reply
  2. Teteh….sama kita mah…hehe. Saya juga jarang nongkrong. Ada kesempatan lebih baik ngblog, ikut kelas online. Ya untuk kita dan anak-anak juga. Tetangga juga banyak yang bilang saya suka ngurung di rumah. Tapi ya sama, di rmh tv cuma 1 jam/hari, hp cuma 10 menit/hari (ini juga nggak tiap hari). Ya berkegiatan, ngobrola, apapun yang seru2…hihi. Aku punya teman… Hihi

    Reply
  3. Saya juga jarang keluar sih mbak. Sesekali aja pas ngajak anak keluar jalan sore.
    Kebetulan tinggal di lingkungan baru, jd tetangga jg rata2 masih adaptasi. Apalagi bnyk ibu bekerja di kantor, jd mereka hanya pakai rumahnya buat tidur hehe. Paling banter kami saling nyapa di grup WA sama arisan sebulan sekali (itupun baru mulai hehe).

    Reply
  4. Saya juga jarang ngobrol sama tetangga. Pulang kerja udah sore. Trus aktivitas ama anak sampai dia tidur. Paling say hello aja pas nyapu halaman saat pagi hari, itupun nggak lama karena persiapan kerja. Tetangga memang ada yang suka ngomongin, mengganggap kurang gaul. Bodo ah. Yg penting berusaha ikut arisan sebulan sekali hehe

    Reply
  5. Memangnya sama sekali nggak pernah ngumpul sama tetangga? Sesekali kayaknya perlu :)) Biar mereka makin penasaran aja sih

    Reply
  6. mungkin gak hanya blogger di daerah aja Teh, di lingkungan perumahan juga apapun pekerjaannya semisal gak nongol-nongol, kayak dicariin, “Udah lama gak keliatan?”
    btw, ngawuduk apa itu Teh?

    Reply

Leave a Comment

Verified by ExactMetrics