Berburu Keluwek

“Buat Lebaran, mau masak apa, Ma?” Gayanya kaya mau masakin orang tua saja. Padahal nyatanya mama yang masak, saya yang angkut hasil matangnya ke rumah. Haha!

Jawabnya sungguh di luar dugaan, “Beliin Keluwek, Teh. Mama mau sambal keluwek…”

What? Lebaran mau nyambel keluwek? Nih lansia yang merangkap ibuku gak lagi ngidam, kan? Abis aneh aja, lebaran orang pada bikin opor, ketupat, sambal goreng ati, atau rendang, ini malah mau keluwek…

Masalahnya, bukan gak mau beliin, tapi keluwek sebagai bumbu masak tradisional, itu sudah cukup susah dicari, lho!

Buat yang belum paham, keluwek, atau kluwak adalah salah satu bumbu dapur yang sering digunakan untuk masakan khas Indonesia seperti rawon, brongkos, sup konro, pindang kudus, ayam kluwek, dll.

Selain sebagai penyedap masakan, tanamannya juga bisa dimanfaatkan untuk obat cacing, pengganti minyak kelapa, pestisida alami dan pengawet ikan.

Buah dan biji dari tanaman keluwek mengandung hidrogen sianida dan kolestrol tinggi yang dapat berbahaya jika dikonsumsi tanpa persiapan terlebih dahulu.

Merasa pusing dan mual adalah efek dari racun sianida yang dikandung keluwek jika memakan buah keluwek mentah alias belum diolah lebih dahulu.

Keluwek berasal dari buah yang dalam Bahasa Indonesianya disebut kepayang, pohon yang tumbuh liar atau setengah liar di hutan.

Orang Sunda menyebutnya kelewek, picung atau pucung, orang Jawa menyebutnya pucung, kluwak, atau kluwek, ngutip dari Wikipedia orang Toraja menyebutnya dengan pamarrasan.

Kluwek ini agak susah didapat, selain pengolahannya susah karena sebenarnya memiliki racun alami (itu pula yang membuat lahirnya peribahasa “Mabuk Kepayang”) artinya bukan cuma mabuk karena cinta, melainkan mabuk karena racun kepayang alias picung atau kluwek itu sendiri kalau tidak diolah lebih dulu dengan tepat.

Biasanya, yang “berani” mengolah picung atau keluwek ini adalah orang tua yang sudah berpengalaman. Mereka cukup tahu berapa lama kepayang ini direndam dalam air mengalir untuk menghilangkan racunnya. Jika sembarangan mengolah dan dimakan bisa-bisa menyebabkan kematian.

Buah keluwek biasanya dibiarkan dalam keadaan basah selama berhari-hari oleh penjualnya. Hal ini dilakukan agar cepat busuk sehingga lebih mudah untuk mengupas kulit dan sabutnya. Selain itu kandungan racun hidrogen sianidanya juga akan berkurang.

Setelah kulitnya dikupas akan terlihat biji dengan kulit yang keras mirip dengan batok kelapa. Di dalamnya ada daging yang berwarna putih, itu yang bisa kita gunakan untuk memasak.

Boleh intip ini hasil masakannya:

Tumis Picung

Untuk pengolahan biji keluwek, informasi dari para orang tua di kampung pertama-tama cuci biji keluwek sampai bersih di air yang mengalir seperti di sungai. Lalu rebus selama 1 jam. Setelah itu siapkan wadah tertutup yang sudah diberi abu di dasarnya, taruh keluwek di atasnya dan tutup lagi dengan abu. Biarkan selama kurang lebih 15 hari, sesudah itu baru bisa menggunakannya setelah dicuci dengan bersih.

Cara lain dengan menguburnya di tanah dengan daun pisang dan abu setelah biji keluwek direbus selama beberapa jam. Diamkan selama 40 hari. Dalam rentang waktu itu, biji keluwek akan berubah warna dari putih krem ke coklat tua hingga hitam.

Berburu keluwek di pagelaran
Keluwek hasil buruan di pasar tradisional Pagelaran Cianjur

Olahan keluwek setengah matang yang sudah hilang kandungan racunnya, bisa ditumis dan jadi teman makan nasi. Rasanya pulen, seperti kacang tanah. Paling enak kalau ditumis pedas.

Keluwek yang dibiarkan mengering dan warnanya jadi menghitam, itulah yang jadi keluwek alias bumbu untuk masak rawon. Ibu saya lebaran ini ingin masak sambal dengan campuran keluwek ini.

Di pasar modern Sukanagara tempat ibu saya tinggal, katanya sudah mencari keluwek ini tapi tidak dapat. Karenanya ibu saya mendelegasikan pencarian keluwek kepada saya di Pagelaran, yang pasarnya lebih tradisional, buka cuma dua kali dalam seminggu yaitu hari Selasa dan Jumat.

Ternyata di pasar tradisional pun tidak mudah mendapatkan keluwek. Setiap hari pasar Selasa dan Jumat, sejak sebelum lebaran hingga Jumat lalu, saya selalu keliling pasar Pagelaran mencari keluwek tapi belum ketemu juga.

Boleh baca dulu ini:

Tumis Picung Olahan Kampung yang Nyaris Luntur

Bukan tidak ada, tapi menurut para pedagang pasar, biasanya yang menjual keluwek adalah para nenek yang sudah sepuh. Nah masih dalam suasana lebaran hingga Syawalan, mereka belum beraktivitas berdagang seperti biasa. Entah masih istirahat, atau masih berkumpul dengan anak cucunya.

Baru Selasa 17 Mei ini ketika tadi pagi saya ke pasar, akhirnya ketemu penjual keluwek di sudut pasar. Seorang ibu yang sudah sepuh tapi tetap bersemangat mencari nafkah dengan berjualan hasil bumi yang bagi sebagian orang mungkin tidak menarik.

Lalu bagaimana caranya memilih keluwek yang bagus di pasar?

1. Perhatikan batok luar

Hindari memilih batok yang berjamur. Bisa uji dengan cara mengocoknya. Pilih keluwek yang isinya terasa berat. Jika diperbolehkan minta bantuan pada penjual untuk membuka dan melihat isinya. Tapi saya tidak melakukan itu.

Keluwek yang bagus akan berwarna kehitaman dan empuk sehingga mudah untuk dihaluskan. Hindari keluwek yang masih muda, dengan warna kehijauan atau coklat muda.

Saat mencicipi keluwek, kalau rasanya agak pahit, maka itu kurang baik. Rasa pahit akan mempengaruhi masakan nantinya, bukan?

2. Hindari menyimpan kluwak di tempat lembab

Simpan keluwek dalam batok di wadah tertutup dan simpan di tempat yang kering. Kondisi yang lembab akan membuat kluwak lebih cepat berjamur.

Saat akan menggunakan keluwek, pecahkan batoknya dengan ulekan atau palu. Jangan lupa lapisi kluwak dengan kain terlebih dahulu agar tidak berantakan.

Selain keluwek, ibu penjual ini juga menyediakan bumbu dapur tradisional lain seperti kecombrang, daun jeruk, dan umbi-umbian lainnya.

Keluwek dijual dengan harga satu kg Rp.20ribu. wah cukup murah dibandingkan dengan usahanya mulai dari mengambil buah kepayang di hutan, lalu mengolahnya di aliran sungai untuk menghilangkan racun yang memerlukan waktu paling sedikit dua mingguan, belum lagi mengeringkannya hingga 40 hari.

Saya beli setengah kg keluwek untuk ibu saya. Ada sebanyak 22 buah. Lumayan banyak mengingat ibu kalau sekali bikin sambal paling banyak menggunakan tiga buah kelewek saja.

Merasa bersyukur di jaman serba modern sekarang, saat orang tua memiliki keinginan serba jadul tapi masih bisa dicari dan diusahakan. Tidak menutup kemungkinan, kelak pengolah kepayang sudah pada berpulang, keberadaan kelewek ini semakin langka dan akhirnya jadi sesuatu yang tinggal kenangan.

14 thoughts on “Berburu Keluwek”

  1. Jujur, sampai sekarang saya belum pernah masak sendiri, masakan yang berbahan keluwek (di Kediri kami nyebutnya kluwak). Karena ya itu, kuatir ga bisa nyiapin jadi malah bikin masakan ga enak. Kalau versi Ibu saya paling sering kluwak buat bikin rawon atau brongkos . Kalau kakak saya dijadikan bahan bikin Sambel Lele Ireng (ireng=hitam). Saya bagian makan:)

    Reply
  2. sebagai tukang foto makanan, aku pun dikasih tahu rahasia cari kluwek ini buat bahan masakan. apa yang teh okti bilang bener, kluwek yang bagus akan mempengaruhi ke citarasa makanan kita jadinya lebih sedap dan warnanya bagus.

    salah satu yang sering dijumpai ya itu si rawon, aku sendiri agak kesulitan foto rawon karena warnanya gelep semua heheh

    Reply
  3. Olahan keluwek yang pernah daku coba itu rawon, dibawain sama kolega. Rasanya nampol banget, bikin nambah karena pas jam makan siang.

    Reply
  4. Kluwek yang saya tahu dipakai untuk rawon dan brongkos, jadi baru tahu ada masakan lain yang bisa dimasak menggunakan kluwek ini. Tandain dulu, nanti bisa dicoba deh

    Reply
  5. Ooh rupanya dari situ ya istilah mabuk kepayang.
    Kalau orang Bugis menyebut KALOA’, Teh. Saya ingat almarhumah nenek dulu pernah menyebutnya dan saya melihat keluwek ini di kampung dulu.

    Reply
  6. aq juga suka masak masakan yang berbahan keluek teh, alhamdulillah keluwek disini sangat mudah ditemukan. tapi jujur aq belum pernah tau kalo ada sambel dengan campuran keluwek, jadi penasaran pengen minta resepnya ya.

    Reply
  7. Mabuk kepayang terdengar lebih “romantis” daripada mabuk keluwek sih :))
    Aku belum pernah masak pakai kluwek ini, Teh, karena nggak tau ngolahnya gimana. Kalo pengen rawon ya .. beli jadi.

    Kluwek, kecombrang, penjual yang udah sepuh … heuheu… seperti sebuah paket yang datang dari masa lalu.

    Reply
  8. Kayaknya di Sumatera, khususnya Sumatera Utara, masakan itu hampir tidak ada yang menggunakan Kluwak (saya mengenalnya dengan nama Kluwak juga).
    Jadi Kluwak ini kurang dikenali oleh ibu-ibu di daerah saya.
    Di warung-warung yang jualan sayuran pun gak pernah ditemui kluwak ini.
    Di Denpasar sendiri, saya jarang nemu daun kunyit, baik di pasar, maupun di penjual sayur. Padahal itu cukup umum di darah asal saya.
    Ibarat kata pepatah, lain padang lain belalang. Lain lubuk lain ikannya.

    Reply
  9. Informatif banget Teh,, di Sumatra Utara ada kabupaten namanya Asahan,, nah di Asahan itu ada kecamatannya namanya Sei atau Sungai Kepayang. Kali karena banyak tumbuh kluwek ini yah,, hmm br tahu ternyata itu bahan bikin rawon ya, noted

    Reply
  10. Di sini juga masih sering ada keluwek di pasar tradisional, eh bahkan modern market jg masih ada sih kadang2. Hihi.. kalau ngolahnya aku ngga pernah coba wkkw selalu dimasakin emak

    Reply

Leave a Comment

Verified by ExactMetrics