Hidup Minimalis Bukan Mie Instant
Pendapatan boleh maksimal, tapi gaya hidup tetap minimal. Sejak bekerja dan punya penghasilan sendiri, jargon itu sudah saya tanam kuat-kuat dan mempraktikkan nya hingga berumah tangga.
Gaya hidup setiap orang berbeda. Apalagi kalau dibandingkan antara orang kaya, dengan orang tidak punya. Kehidupan orang yang tinggal di kota, dengan masyarakat yang domisilinya di desa. Ibarat masalah hidup, semua orang memiliki dengan kadar yang berbeda-beda.
Jadi apa sih gaya hidup minimalis itu? Simplenya buat saya gaya hidup minimalis adalah hidup sederhana. Ya, semudah itu saja. Dan hidup sederhana memang sudah saya terapkan tidak hanya setelah punya penghasilan sendiri, melainkan sejak kecil. Orang tua sudah mendidik kami terbiasa hidup dengan segala keterbatasan.
Ke sekolah jalan kaki meski teman-teman merengek minta kendaraan roda dua dan pulang pergi sambil gaya-gayaan. Jajan di sekolah terbilang jarang, karena cukup sarapan saja dulu di rumah. Yang ada saya jualan jajanan anak sehingga saat waktu istirahat teman-teman yang jajan kepada saya.
Saat tahun ajaran baru saya tetap mengenakan pakaian seragam lama, selama itu masih bisa dipakai dan bersih. Begitu juga buku dan alat sekolah, cukup beli di pasar kampung. Tidak malu sekelas atau bahkan duduk sebangku dengan teman yang setiap habis liburan selalu mengenakan seragam baru, dan alat tulis serba bermerk beli di kota.
Meski jamannya sudah berbeda namun pola hidup sederhana tetap saya pertahankan. Setelah berkeluarga, kembali hidup sederhana saya turunkan kepada anak dan keluarga. Saya lihat kalau saat ini perlawanan yang dilakukan para pelaku hidup minimalis lebih kepada menolak gaya hidup konsumerisme.
Yah namanya juga jaman serba digital, belanja saja dilakukan secara online, mau beli apa saja, klik ini klik itu bayar sudah selesai. Ini godaan terbesar. Dan saya hatus tetap kuat membatasi diri. Tetap mengajarkan kepada diri sendiri dan anak untuk bisa mengerem dalam memenuhi kebutuhan. Tidak membeli barang apapun kalau tidak dibutuhkan…
Begitu juga dengan kondisi rumah. Siapa yang sudah tahu rumah saya di desa? Tidak ada barang istimewa sekalipun. Padahal kalau melihat rumput tetangga, eh salah. Maksudnya saya melihat sendiri kalau seorang istri teman suami meminta dibelikan furniture baru saat suaminya naik pangkat dari golongan tiga a ke tiga b. Saya? Hahaha… ((beruntung)) cuma berkeinginan jajan siomay dan beli sendal buat Fahmi. Gak ada keinginan minta beli apa gitu seperti istrinya teman suami itu? Aduh punten… Bukan tidak ingin tapi da buat apa atuh secara kalau tidak butuh, tetap hati ini tidak rela buat belanja-belanja. Hemat waktu, hemat tenaga, hemat uang pastinya.
Dengan menerapkan gaya hidup sederhana, alhamdulillah saya bisa (terbiasa) menahan diri untuk hal-hal yang sifatnya hanya keinginan dan mengutamakan kebutuhan.
Tahun ini target hidup minimalis saya dan keluarga seperti nya harus diperketat. Setelah berhasil menutup mata melewati masa-masa promo berbagai e-commerce saatnya banyak menabung untuk memenuhi kekosongan pos dana darurat setelah tahun kemarin terkuras habis untuk biaya berobat kecelakaan suami dan membeli barang pengganti di rumah yang hilang karena dibobol maling.
Senangnya banyak pasangan milenial yang ngontrak di sekitar kampung tempat tinggal mengaku ingin menerapkan gaya hidup sederhana atau minimalis ini. Senang dong saya. Berharap punya tetangga satu visi dan misi bisa menciptakan sebuah kampung yang harmonis. Yang satu warga dengan warga lainnya hidup rukun, sederhana, bukan saling memanasi satu sama lain. Hanya tentu saja harus diketahui kalau penerapan gaya hidup minimalis tidak seperti masak mie instan, yang bisa jadi dalam hitungan menit. Menerapkan pola hidup minimalisย tidak dapat dirasakan dalam waktu singkat. Harus ada konsistensi untuk mendapatkan semua manfaat dari gaya hidup minimalis.
“……..(beruntung)) cuma berkeinginan jajan siomay dan beli sendal buat Fahmi”
Bagian ini ingetin aku sama curhatan seorang saudara yang bilang sama suaminya hampir ga pernah di kasih uang belanja tapi dibeliin rumah, dikuliain sampai selesai. Dan suami bilang “Si Hani cuma aku beliin nasi Padang…..” Hahahaha.
Hidup sederhana itu emang mindset ya, Teh. Seneng kalau bisa mempertahankan.
Seminimalisnya kami kalau dibanding ortu di kampung masih aja dikatain boros.
Hahaha… Betul. Orang tua emang juara ya
Dulu godaan hidup minimalis adalah kartu kredit ya mbaaa. Sekarang selain kartu kredit, ditambah lagi aneka produk yg berseliweran di medsos dan marketplace benjol alias belanja online. Harus kuat iman dan mengingatkan lagi komitmen keuangan keluarga.
Betul. Jaman sekarang godaannya ada pada benjol apalagi tanggal cantik seperti 1010. 1111 atau 1212 hehehe
konsisten itu memang sangat penting ya mba. untuk konsisten gak buang sampah sembarangan aja susahnya itu duuuh ntahlah. apalagi konsisten dalam hidup minimalis. tapi bukannya gk mungkin memang kak kalau dicoba.
Bergaya minimalis awalnya saya tau pada vlog raditya dika. Beliau menjual barang-barang yang mubazir. Misalkan koleksi jam tangannya yang mahal-mahal. Dia memutuskan hanya memiliki 1 jam tangan saja
Yup. Kalau gak butuh, buat apa kita beli atau kita simpan? Bahkan dalam Islam, ada riwayat yang menjelaskan semua barang yg kita miliki dipakai atau tidak akan dimintai pertanggungjawaban nya…
gaya hidup minimalis setiap orang berbeda – beda yah mba, dan saya setuju banget dengan hal itu. Bagaimana pun cara masing – masing orang yang terpenting adalah pencapaian dari hasil hidup minimlis itu sendiri ya mba ๐
Hidup minimalis buat saya, membeli sesuatu yang dibutuhkan, bukan diinginkan ๐
Cuman ya kebutuhan tiap orang memang beda-beda, jadinya kadang minimalis setiap orang juga tidak bisa disamakan ๐
Kalau saya, tidak masalah ada yang hidup lebih, asal tidak merugikan orang lain ๐
Makin ke sini aku juga merasa makin hidup sederhana euy. Soalnya udh pernah hedon dulu waktu muda hahaha jadi skrg mah alhamdulillah udh punya semua, gak terlalu lagi pengen belanja2 kyk dl di awal2 kerja. Sdh mulai beres deh hahaha
Hidup sederhana itu lebih menyenangkan ya mba, jadi nggak terpengaruh dengan gaya orang. Yang penting kita nyaman dengan apa yang kita miliki.
Setuju banget teh
Jika kita udah menikmati hasil dari hidup minimalis, rasanya sayang banget jika buang buang uang
Saya juga menerapkan gaya hidup minimalis sejak kecil. Kalau godaannya sekadar ecommerce sih, saya sangat bisa nahan. Bahkan, pakaian Si Kecil hampir bisa dihitung berapa yang saya belikan sendiri. Kalau memang masih bisa dipakai, kan ya? Kenapa enggak. Masa bodoh dibilang bajunya itu-itu saja. Meski ada saja teman yang selalu belikan baju buat dia kalau habis dari mana-mana. Alhamdulillah … tapi ya, setahun sekali pasti nyempetin buat liburan sih. Biar minimalis, piknik itu wajib buat saya dan keluarga. Biar nggak stres karena di rumah terus.
Emang apapun kudu dibiasakan sejak kecil ya mbak.
Termasuk hidup minimalis ini.
Meski kadang sedikit banyak terpapar juga gaya hidup kapitalis (karena tuntutan pekerjaan) tapi minimal ada remnya.
Sekarang saya masih tinggal sama orangtua, mbak. Beliau yang ngajak tinggal bareng, biar bisa dekat sama cucu-cucu katanya. Rumah orangtua tuh asli luas banget, sayangnya barangnya pun banyak. Printilannya bikin penuh rumah. Jadi walaupun luas, malah kelihatan sempit. Rencananya kalau sudah tinggal dengan keluarga kecil sendiri nanti, saya mau menerapkan gaya hidup minimalis saja. Pusing juga lihat rumah penuh dengan barang-barang yang gak penting.
Setuju teh sama gaya hidup minimalis, alias gak beli barang-barang yang kurang dibutuhkan dan disortir lagi kalo ada barang yang jarang dipake dan masih bagus lebih baik dijual lagi atau disumbangin. Setiap orang pastinya juga punya seleranya masing-masing dalam menerapkan gaya hidup minimalis. Intinya sih, kita juga gak perlu panas liat rumput tetangga lebih hijau.
Setuju dengan cara Mbak Okti berhemat.
Semoga barang yang hilangs eger tergantikan ya.
Kalau saya pribadi, hidup rukun bertetangga lebih kepada hubungan antar personal, saling menghargai, saling bertukar oleh-oleh dan sebagainya. Saya tidak terlalu menilai dari sudut kemewahannya. Jika mereka punya barag baru, saya juga ikut senang. Jika pun tidak, ikut berbahagia denga kesederhanaannya.
Kerena kebutuhan hidup dan interest tiap orang berbeda-beda.