Terlahir dari keluarga tak mampu, tak membuatku kecil hati atau minder. Meski memang ada sebagian dari mereka yang mencemooh kemelaratan kami.
Berhasil menamatkan sekolah bukan berarti aku mampu, tapi ada perjuangan emak dan adikku yang berdarah-darah, mengorbankan segalanya hanya demi aku bisa lulus sekolah. Emak peyemangatku supaya terus berprestasi.
Ya, karena pertimbangan ekonomi yang sangat minim, aku harus terus mempertahankan prestasi supaya tetap bisa dapat beasiswa. Bersyukur Tuhan memberiku keberanian serta sedikit kecerdasan hingga nilai selalu di atas rata-rata. Karenanya aku bisa melanjutkan sekolah berkat bantuan beasiswa, tepatnya santunan dari sekolah. Aku diberikan keringanan dalam pembayaran. Untuk makan, biaya sekolah adik dan biaya hidup sehari-hari, bapak kerja serabutan di kota.
Saat kelas 2 SLTP, bapak meninggal. Aku tinggal bersama adik karena emak memutuskan bekerja ke kota demi bisa membiayaiku.
Di SLTA aku masih bisa mempertahankan prestasi. Aku mendapat beasiswa sebesar Rp. 100 ribu per tiga bulan. Uang itu tahun 1997 bisa bayar SPP 3 bulan. Untuk makan dan lain-lain mengandalkan kiriman hasil emak bekerja.
Penghasilan emak pas-pasan. Itu pun kami sudah mengirit. Beras termurah kami beli dengan lauk ikan teri. Sering kami makan dengan garam saja. Sampai adikku memutuskan keluar sekolah. Ia memilih kerja serabutan di pasar demi bisa punya penghasilan tambahan.
Gubuk lapuk peninggalan bapak satu-satunya makin bobrok. Saat hujan, bocor dimana-mana karena sengnya bolong-bolong berkarat. Pernah aku dan adik susah payah naik ke atap, memasangkan seng yang terbang tertiup angin saat hujan besar. Air hujan bercampur air mata kami deras mengalir menganak sungai di pipi. Ya Allah… Semelarat inikah keluargaku?
Tekatku semakin kuat. Aku harus membahagiakan emak, juga harus membalaskan pengorbanan adikku yang rela mengalah tidak sekolah hanya demi supaya aku bisa terbiayai.
Keinginan segera kerja tak bisa kutahan lagi. Tapi kerja apa? Emak yang kerja di kota malah pulang karena di Jakarta terjadi kerusuhan. Kriris ekonomi dan runtuhnya orde baru membuat kondisi negara tidak stabil. Banyak pekerja kena PHK.
Saat ada informasi jadi TKI, mantap aku mau. Biar kerja sebagai pembantu asal halal dan bisa memperbaiki perekonomian keluarga. Hidup prihatin selama di penampungan, survive mendapatkan job diantara ribuan calon TKI yang ingin segera terbang aku lalui dengan sabar.
Singapura, Hongkong dan Taiwan tempatku kerja gaya hidupnya bebas dan keras. Bertolak belakang dengan keadaan di kampung. Kondisi itu menempaku untuk hidup lebih tegar dan prihatin. Aku dituntut dewasa dengan sendirinya.
Saat libur, aku gunakan kerja paruh waktu atau berdagang. Sen demi sen uang yang didapat kukumpulkan untuk modal emak dan adik. Supaya mereka bisa hidup lebih baik.
Tidak hanya itu, aku juga berpikir masa depanku. Saat jadi TKI aku punya penghasilan. Tapi bagaimana setelah pulang kampung? Aku tidak mungkin selamanya jadi TKI. Suatu saat aku pulang dan dituntut harus punya bekal serta persiapan. Hal inilah yang menjadi awal titik balik hidupku.
Karenanya waktu tidur aku gunakan untuk online. Belajar menulis, banyak membaca dan berinteraksi dengan teman baru dunia maya. Aku mati-matian mendalami nulis dan baca, dipublish di internet dan mengirimkannya ke media cetak Hongkong dan Taiwan. Karyaku dimuat, dapat honor. Aku terpacu terus menulis. Berharap perjuangan ini sebagai perubahan dalam hidupku, bisa punya lahan usaha yang mampu menghidupi keluarga.
Hasil dari kerja kerasku belajar menulis dan membaca di sela padatnya pekerjaan prestasiku pun mulai muncul. Selain artikel, ada juga cerpen dan novel yang berhasil dibukukan. Aku beberapa kali menjuarai lomba menulis baik di Indonesia maupun di Taiwan. Sampai salah satu media cetak di Taiwan menawariku jadi kontributornya. Tentu saja aku terima. Selain sarana belajar juga ada penghasilan tambahan.
Mungkin karena melihat kesungguhanku dalam dunia tulis menulis, sepulangnya ke Indonesia media tersebut menawariku menjadi karyawan tetapnya. Aku terima meski harus lebih kerja keras supaya hasil kerjaku sebagai jurnalis di media tersebut terus maksimal.
Aku teringat perkataan guru mengaji bahwa Tuhan tidak akan merubah nasib suatu kaum jika kaum tersebut tidak merubanhnya. Aku memang berasal dari keluarga miskin. Perekonomian keluargaku morat-marit. Tapi aku tidak ingin selamanya hidupku demikian. Karenanya aku harus merobah diri supaya keluar dari kemiskinan. Aku harus bangkit dari keterpurukanku. Titik balik kehidupanku yang awalnya melarat kini bisa tercukupi semua kebutuhan. Meski aku bukan lulusan sarjana tapi kini aku bisa bekerja sebagai jurnalis dan berpenghasilan tetap tiap bulannya.
Keterpurukanku di masa lalu dalam hal ekonomi sudah terobati. Rumah yang ditempati sudah permanen, kehidupan emak tercukupi dan lebih baik, adik pun sudah punya usaha sendiri.
Tuhan tahu aku bekerja dengan sepenuh hati. Kerja kerasku kini membuahkan hasil. Meski tidak kaya tapi Alhamdulillah hidupku kini sejahtera.
Tulisan serupa sebelumnya saya tulis di sini