Lebaran sudah dua minggu berlalu. Cangkang ketupat kecewa masih tersisa satu buah di pojok dapur. Mengkerut dan kering. Isinya sudah habis dimakan semut dan seranngga lain.
Lebaran kali ini tidak seperti biasanya. Kesedihan yang dirasakan suami yang disebabkan berduka ditinggal ibu tercinta masih sangat kuat melekat. Dan semua itu cukup berdampak pada tradisi lebaran yang dirasakan menjadi hambar.
Dua lebaran lalu, aku dan suami selalu membuat ketupat sendiri. Tidak banyak memang, hanya sekitar 30 biji. Daunnya pun dapat minta dari tetangga. Berasnya beras baru yang beberapa saat didapat dari panen. Pengolahannya pun begitu teliti, supaya hasilnya kenyal, terasa bumbu dan tahan beberapa hari.
Lebaran kali ini, bertepatan dengan tiga puluh hari meninggalnya mama mertua. Suami tidak semangat membuat ketupat sendiri. Karena dipastikan akan ada tetangga yang mengirim hantaran, sebagai penghantar balik aku pikir hidangan ketupat sangat cocok. Selain moment lebaran yang identik dengan ketupat, juga aku tak perlu ribet memasak banyak menu, cukup opor ayam saja, ditambah kerupuk dan taburan bawang goreng.
Ketupatnya sepakat memesan dari sebuah keluarga yang katanya sudah terbiasa membuat ketupat dan melayani pesanan setiap pembeli. Maka kami pun memesan sebanyak 40 biji. Dua puluh ukuran sedang, dua puluh lagi ukuran besar.
Lebaran hari Senin, kesepakatan awal ketupat sudah bisa diambil hari Minggu pagi. Uang sudah kami beri semuanya, tidak memakai istilah uang muka atau beli setengah-setengah. Kami pun tak lagi banyak pikiran. Siap menyambut lebaran…
Kekecewaan itu sudah kami rasakan saat mengambil pesanan ketupat kami. Katanya ketupatnya belum siap! Kok bisa? Padahal kami datang mengambil hari Minggu sore, bukan pagi sebagaimana kesepakatan bersama. Kata si penjual, sibuk banyak pembeli yang datang mendadak. Dia tidak mencatat siapa yang memesan duluan, sementara salahnya siapa yang datang membeli justru dikasihnya ketupat yang sudah ada.
Kami hanya dijanjikan malam harinya ketupat baru bisa diambil. Aku yang sudah kecewa memaksa untuk menunggu, daripada malu oleh tetangga, yang sudah pada mengirimkan hantarannya. Masa aku tidak membalas makanan dari mereka?
Si penjual ketupat akhirnya memberikan sebagian dahulu ketupatnya. Aku hitung ada 15 biji. Berarti sisa 25 lagi. Itu pun entah yang ukuran sedang atau ukuran besar, aku lihat sama saja meski harganya berbeda.
Aku telepon, memastikan apakah ketupat sudah siap, jawabnya belum. Aku mulai marah, si penjual sudah ingkar janji dua kali. Nekat, Minggu malam hari, setelah ada pengumuman dari Pemerintah di TV lebaran jatuh esok hari, aku dan suami kembali mengambil sisa ketupat lagi. Biar akan aku tunggu di rumahnya sampai ketupat ada.
Saat kami datang, si empunya rumah terlihat gelagapan dan bersalah. Emang Gue Pikirin? Sambil menggendong anak yang sudah tidur aku menunggu di luar. Si penjual ketupat keluar, dengan berdalih ketupat belum matang. Aku diam saja. Menunggu sampai matang dan membawa pulang apa yang sudah aku beli. Suami diam saja.
Si penjual ketupat bilang, ada ketupat sudah matang, tapi dibuat dengan beras cere`dan kalau mau ambil, harus tambah uang karena harga beda. Aku diam saja. Merasa itu di luar kesepakatan jual beli kami di awal.
Tahu aku cuekin, si penjual bilang hal serupa kepada suami. Tidak tega melihat bayi yang aku gendong dan karena hari semakin malam, suami mengambil jalan tercepat, dia sepakat mau ambil ketupat cere` itu dan menambah uang.
Saat kami bilang kami baru menerima 15, si penjual bilang dia sudah memberikan ketupat sore tadi 17. Aku melongo. Aku sendiri yang menghitung kok, dan aku tidak pikun. Suami memberi isyarat supaya aku mengalah. Aku yang sudah kelewat marah sudah tidak mau berurusan lagi kembali hanya diam.
Kalau benar kami dikasih 17, berarti sisanya 23 biji lagi. Tapi saat di rumah aku hitung, ketupat yang dibungkus dan diikatnya itu hanya ada 22 biji. Dan meski suami sudah menambah uang demi bisa mendapat ketupat dari beras cere` ternyata dari 22 biji itu yang terbuat dari beras cere`nya hanya ada 8 biji! Sisanya sama seperti ketupat yang sore hari sudah kami bawa dulu.
Semakin kesalnya semua ukuran ketupat sama. Padahal jelas kami membeli ketupat dengan ukuran yang berbeda, sesuai dengan harganya dan kami pun sudah membayarnya pula.
Lebaran, saat semuanya saling memaafkan. Aku maafkan perlakuan si penjual ketupat yang sudah mengecewakan kami. Tapi kami tidak akan lagi membeli ketupat darinya, terlebih ketupat buatannya tidak bertahan lama sampai 4 hari sebagaimana yang dijanjikannya.
Belum tiga hari, ketupat sudah mengucurkan air dan butiran nasinya sudah terlihat. Ketupat tidak kenyal dan keras lagi. Belasan ketupat kami buang begitu saja. Padahal perjuangan untuk mendapatkannya tidak mudah…
Meski sudah lewat dua minggu, aku dan keluarga ucapkan Selamat Lebaran. Lupakan ketupat kecewa itu dan maafkan khilaf serta salah kami…
(Ol)