Melepas Bibi Rasa Sahabat dan Kakak

Sepulang sekolah Fahmi berteriak dari depan. “Ibu, ada A Azis nih!” Saya yang lagi di belakang segera membukakan pintu. Bener saja, Azis sepupu paling kecil dari saudara pihak ibu saya sedang memarkirkan sepeda motornya.

Selain senang kedatangan adik sepupu –anak dari bibi paling kecil—ibunya Azis adalah adik bungsu ibu saya, saya juga langsung bertanya apakah ada hal penting lainnya? Secara biasanya jarang sekali main ke rumah di saat hari sekolah.

“Si mamah sakit, mau berobat. Abis dari rumah Teh Euis ambil uang kiriman Bapak buat berobat,” jelas Azis. Saya pun paham.

Bapaknya Azis, bekerja di Jakarta. Mungkin karena istrinya sakit, ia mengirimkan uang melalui anak perempuannya, Euis, yang rumahnya satu kecamatan dengan saya di Pagelaran ini. Sementara rumah keluarga bibi berdekatan dengan rumah ibu saya di kecamatan Sukanagara.

Azis bercerita kalau ibunya mungkin sakit lambung, secara yang dikeluhkan di bagian perut. Sudah lama ibunya itu sering merasa sakit, tapi seolah tidak dirasa. Alasannya, dengan obat warung saja juga sembuh.

Padahal, yang saya tahu dari saudara-saudara lain, bibi adik ibu paling bungsu ini setiap harinya selalu bekerja keras. Beternak domba salah satunya. Mulai mencari rumput sampai ngasih makan ia tak pernah absen. Demi memanen ternaknya itu saat lebaran Idul Adha.

Azis meninggalkan rumah dengan sepeda motornya setelah hujan reda. Disertai doa dan harapan, semoga ibunya, bibi saya, segera sembuh dari sakitnya.

Hingga tiga hari berlalu, saya pikir bibi sudah selesai berobat. Namun ternyata ia baru masuk ke puskesmas Sukanagara dan di sana bibi harus dirawat.

Azis yang masih sekolah tidak mungkin menemani ibunya di puskesmas. Akhirnya kakaknya, Wahyu yang sedang bekerja dan merantau di kota dipaksa pulang beserta istrinya untuk menemani bibi berobat.

Sehari di puskesmas, Wahyu bilang tidak ditangani dengan baik. Dokter ada tapi tidak memberikan informasi penyakit apa yang dialami bibi, hingga melalui foto dan video yang dishare Wahyu dan Euis, bibi tampak ngedrop.

Malamnya, Wahyu menginformasikan jika ibunya dibawa ke RSUD Pagelaran, berjarak sekitar satu kilometer dari rumah saya. Karena gak mungkin malam itu ke rumah sakit saya menunggu besok subuhnya menengok bibi. Sekaligus membawakan pesanannya yang disampaikan Wahyu berupa pakaian, handuk, dan air panas dalam termos.

Setelah solat subuh saya, suami dan Fahmi segera menuju ke IGD RSUD Pagelaran. Berjumpa dengan bibi yang sedang ditemani Wahyu dan istrinya Mila.

Saat itu kami berkomunikasi lancar meski bibi agak kesulitan dengan selang oksigen di sekitar wajahnya. Bibi kami paksa sarapan bubur. Wahyu bilang, dokter jaga mengatakan jika bibi kena kanker paru-paru akut. Waduh, saat itu saya udah pengen nangis saja. Selama ini bibi mengabaikan sakit yang dideritanya. Pas masuk rumah sakit, baru ketahuan justru dengan kondisi sudah parah.

Karena Fahmi dan suami akan sekolah, maka kami berpamitan. Tidak mengira jika pertemuan kami saat itu ternyata pertemuan terakhir. Karena siang sampai malam harinya, bibi masuk ICU dan keesokan harinya setelah subuh, Wahyu kirim pesan jika bibi baru saja mengembuskan napas terakhir.

Setelah subuh itu,  kami kembali ke rumah sakit. Saya langsung masuk ke ruangan dan menemui jenazah bibi yang sedang ditunggui paman. Saya raba kaki hingga tangan, semua masih hangat. Ya Allah, saya ikhlas melepas kepergian bibi rasa sahabat dan kakak ini.

Sambil menunggu urusan jenazah, saya terduduk di sampingnya. Suami menyuruh saya mengikutinya membaca doa dan surat. Tapi pandangan dan pendengaran saya rasanya gak karuan. Berbagai kisah tentang saya dan bibi berkelebatan datang dan pergi silih berganti.

Saya dan bibi beda usia lima tahun. Seingat saya, dulu bibi yang mengasuh saya ketika berlibur ke rumah nenek. Ketika bibi menikah, saya selalu diculik olehnya, dibawa ke rumah mereka dengan alasan teman kesepian karena suaminya sering merantau.

Setelah lulus sekolah, saya berpisah dengan bibi karena merantau ke luar negeri. Namun komunikasi tetap berjalan melalui surat, telepon sampai video. Banyak kisah yang sering kami bahas. Meski pertalian darah kami ini jelas antara bibi dan keponakan, tapi seolah sebagai sahabat dan seorang kakak saja saking dekatnya.

Meski kami sudah sama-sama berumahtangga namun kebiasaan kami saling curhat dan ngemil masih berlanjut. Setiap saya main ke Sukanagara bibi selalu antusias menyambut saya dengan nasi liwet. Membebaskan saya main ke kolam ikan, atau kebun dan tentu saja termasuk membebaskan saya mau membawa ikan dan atau hasil kebunnya itu.

Ketika pernikahan Wahyu digelar tahun lalu, banyak yang bilang saya dan bibi yang paling sibuk mengurus semuanya, padahal Wahyu sendiri sudah menyerahkan semua urusan ke pihak wo.

Itu semua karena saya dan bibi merasa banyak kesamaan pandangan dalam merawat Wahyu. Jika dulu saya kecil diasuh bibi, maka kemudian, anak bibi yang kecil (Wahyu dan Azis) saya yang mengasuh.

Bibi yang tinggal di pedesaan, sering bertanya bagaimana merawat anak secara kekinian dan modern. Rasa penasarannya dengan sistem pengasuhan di luar negeri sangat tinggi. Saya yang belum paham sepenuhnya kadang menyarankan bibi untuk bersama-sama belajar bersama. Memperbanyak referensi bacaan seperti home education center dan rujukan lainnya.

Begitulah sehingga ke Wahyu dan Azis, seperti ke adik saya sendiri. Sementara dengan Euis, anak perempuan bibi paling besar, saya kurang dekat karena saat lahir Euis saya sedang merantau.

Lebaran kemarin saat keluarga besar berkumpul, bibi pernah cerita mengenai Azis yang memilih melanjutkan masuk pesantren daripada sekolah formal. Ayahnya menginginkan Azis masuk SMK, tapi mungkin karena lahir dan besar di lingkungan pedesaan yang suasana santrinya sangat kental, Azis cenderung menyukai masuk pondok.

Suami pun memberi pandangan jika Azis  serius masuk pondok, sekolah formal bisa diakali dengan masuk boarding school atau ambil kejar paket. Beberapa pesantren besar bahkan sudah memiliki yayasan yang menaungi sekolah Tsanawiyah dan Aliyah.

Silaturahmi berlebaran saat itu perbincangan saya dan bibi lebih banyak didominasi oleh persoalan sekolah anak dan pondok. Bibi seolah sudah memikirkan bagaimana pendidikan yang terbaik dan menitipkan masa depan anak bungsunya.

Sama-sama memiliki keinginan untuk memasukan anak ke pondok, saya pun berusaha banyak mendapatkan informasi terkait sistem pendidikan sejenis. Mulai banyak konsultasi ke yang sudah berpengalaman dan membaca banyak referensi. Blog homeschooling salah satunya.

Kini semua itu seolah menjadi sebuah wasiat, bagaimana pendidikan Azis, putra bungsunya menjadi tanggung jawab kami, setelah bibi berpulang pada Sabtu pagi kemarin.

Selamat jalan Bibi rasa sahabat dan kakak. Semoga husnul khotimah. Aamiin…

11 thoughts on “Melepas Bibi Rasa Sahabat dan Kakak”

  1. Sedih bacanya
    Kehilangan orang terdekat apalagi yang paling berharga bagi kita tentu sangat berat. Kalau dalam keluarga, aku lebih dekat ke nenekku. Tapi karena kami sudah tinggal beda kota, momen ketemuan bareng itu yang paling aku sukai.

    Reply
  2. Innalillahi wa inna ilaihi rajiun..
    Semoga bibi husnul khatimah ya teh.
    Kuat banget berarti bibi nahan rasa sakit, sampe gak ketauan kanker paru sudah stadium lanjut begitu ya teh.
    Rasanya seperti kehilangan banyak orang ya teh karena bukan hanya bibi, tapi beliau seperti bestie sendiri.
    Kakak tempat bersandar meski aslinya adalah bibi.

    Btw anak saya yang besar juga rencana home schooling teh.

    Reply
  3. Ya Allah .. kenangan manis dengan bibi akan tetap tinggal terus ya Teh .. indahnya punya bibi rasa kakak. Turut berdukacita ya Teh. Senang membaca tentang beliau yang senang belajar dan berpikiran terbuka, sampai suka nanya2 juga ke Teh Okti. Semoga anak2nya sukses semua.

    Reply
  4. Alfatihah, Ya Allah anugerahkanlah khusnul khatimah.. senang sekali direzkikan kehadiran bibi seperti itu yang bisa menjalin kasih hingga di akhir hayat.. semoga amanah anak dari bibi bisa memperpanjang ikatan tali kasih, agar menjadi anak soleh yang selalu mendoakan ibunya di alam kubur.

    Reply
  5. Saya bbrp bulan yang lalu juga baru kehilangan ibunda tercinta.
    Rasa tak percaya masih ada sampai sekarang.
    Bukannya tak ikhlas, tapi seperti kata andmesh, hati ini hanya rindu.

    Mengenai hs, dulu saya berencana hs. Tapi gak kuat saya.
    Akhirnya cari pkbm online de

    Reply
  6. Turut berduka ya, Teh
    Semoga bibinya Teh Okti, yang rasa sahabat dan kakak bagi Teh Okti diampuni dosa dan mendapat tempat terbaik di sisi-Nya. Keluarga juga diberi ketabahan dan keikhlasan
    Bedanya cuma 5 tahun, berasa kakak beneran bibinya ya

    Reply
  7. Aduh sedihnya. Kebayang pengasuhnya Mae pas kecil di Bali. Dia diasuh 4 tahun aja bisa senempel itu sama mbaknya. Nangis nangis pas kami harus pindah ke Surabaya. Apalagi sampai remaja dan dewasa. Duuuuh, pasti di hati banget.

    Reply
  8. Turut berduka cita ya Mba, memang berat kehilangan orang yang kita sayangi. Saudaraku beberapa waktu lalu juga meninggal, bahkan tidak bisa bertemu disaat terakhirnya.

    Reply

Leave a Reply to Zen Cancel reply

Verified by ExactMetrics