Menjelajah Tiga Negara Dapat apa?

Sepuluh tahun lebih bekerja di luar negeri banyak sekali makna hidup yang saya temukan. Mulai dari terbukanya mata hati dan pikiran, mengenal pergaulan dunia luar, interaksi penduduk lokal Singapura, Hongkong dan Taiwan, bertambahnya teman dan saudara bahkan bertambah orang tua, sampai soal pendidikan dan finansial. Tidak tertinggal permasalahan seputar jodoh!

Sepertinya cukup menarik untuk diulas satu per satu, bukan? Teh Ani memang keren nih dalam mengambil topik untuk setiap tema berbeda pada ODOP awal tahun ini. Yang pasti, buah dari perjalanan itu, bukan hanya semata dapat pemandangan indah yang bisa kita lihat, tapi juga makna lain yang bisa kita gali lebih dalam.

Jadi kembali ke pengalaman saya saja berangkat ke luar negeri sebagai TKW, makna yang saya dapat diantaranya:

Terbukanya mata hati dan pikiran

Sedikitpun tidak ada cita-cita jadi TKW. Sejak sekolah SD sampai SLTA, saya belajar keras demi bisa mendapatkan beasiswa dan mengenyam pendidikan setinggi-tingginya. Kondisi keluarga saya memang kurang mampu. Tanpa beasiswa mungkin saya belum tentu memiliki ijazah.

Tahun 99, tahun kelulusan saya itu bertepatan dengan lengsernya rezim Orde Baru dan diikuti krisis moneter melanda Indonesia bahkan dunia. Jangankan melanjutkan sekolah, atau mencari pekerjaan, yang sudah bekerja saja banyak yang kena PHK massal. Penjarahan terjadi di kota besar, berdampak pada perekonomian hampir semua rakyat.

Sebagai tulang punggung keluarga, tidak mungkin saya membiarkan ibu dan adik saya terus berhutang dan kelaparan. Sementara mendapatkan pekerjaan di pabrik tidak juga mendapatkan panggilan. Saya harus segera mengambil keputusan atau semua akan berantakan.

Saat itu banyak calo tenaga kerja dengan iming-iming uang dan mudahnya pekerjaan. Meski banyak diberitakan jika nasib TKW banyak yang menyedihkan. Saya dilema. Saya berpikir keras. Harus bekerja, mendapatkan uang yang cukup, tapi tidak beresiko seperti TKW di Timur Tengah.

Setelah istikharah, saya merasa ingin lebih memperlancar bahasa Inggris. Nah, mantap lah saya nekat gak apa jadi TKW, asal ke negara yang minim perlakuan buruknya majikan. Kawasan Asia dan Asia Pasifik saat itu jadi negara penempatan yang minim kabar buruknya. Meski ada, tapi peran pemerintah kedua belah pihak bisa diandalkan, tidak seperti di Arab Saudi dimana pemerintah kalah oleh kuasa majikan karena di sana sistemnya pekerja sudah dibayar oleh majikan jadi majikan mau berbuat apa, orang luar tidak bisa ikut campur.

Singapura jadi tujuan saya karena belum ada pengalaman jadi tidak diperkenankan bekerja langsung ke Taiwan atau Korea. Hidup prihatin berjauhan dari saudara dan orang tua pun saya jalani. Mendapatkan gaji hasil dari tetes keringat sendiri itu rasanya luar biasa. Apalagi ini pengalaman kerja yang pertama.

Selanjutnya saya berminat bekerja lagi ke negara lain, menambah pengalaman sekaligus nambah tabungan karena untuk kontrak kerja kali ini, hampir semuanya saya pakai untuk keluarga.

Di Hong Kong dengan gaji lebih besar dan kehidupan yang lebih bebas membuat saya mati-matian harus bisa menahan diri dan melawan arus. Tidak munafik, saya menikmati semuanya tentu saja selama dalam batas wajar. Menambah pengalaman hidup dan semua permasalahan menempa saya untuk menjadi pribadi yang lebih baik.

Di Taiwan, saya merasakan kecukupan. Puas melihat dunia luar karena saat bekerja di Taiwan internet sudah bisa diakses dengan mudah dan lebih baik. Badan saya bisa saja terkurung di rumah majikan, tapi jiwa saya sebenarnya berkelana. Belajar dan terus belajar hingga mata hati saya terbuka dengan sendirinya.

Jadi TKW memang jalan saya untuk bisa mendapatkan tiket menjelajahi banyak penjuru daerah dengan segala sisi uniknya.

Mengenal pergaulan dunia luar

Di Singapura setiap minggunya saya ikut kelas. Tidak boleh tidak, karena berangkat dan pulang dengan majikan. Di sana saya mendapatkan teman baik sesama TKW, maupun penduduk lokal. Tanpa mengurangi keimanan dan keyakinan, saya belajar bersosialisasi dengan orang yang berkeyakinan lain. Tidak ada yang buruk jika kita terus memperbaiki hati. Tidak pula ada yang sempurna karena semua memiliki kekurangan. Yang jadi poinnya saya harus bisa membawa diri.

Kelak saya akan begitu paham kenapa akidah dan akhlak harus ditanamkan sejak dini sehingga bisa kokoh dan terus berakar kuat. Karena godaan di luar sana, akan terus bertambah seiring dengan bertambahnya usia.

Di Hong Kong pergaulan bebas kembali saya temukan. Saya berteman dengan yang aktif di kegiatan keagamaan, tapi saya juga berteman dengan mereka yang mengakui (maaf) melakukan hubungan sejenis. Saya berteman dengan kaburan, berteman dengan pedagang, berteman dengan WNI yang menikah dengan warga negara lain, bahkan berteman dengan mereka yang bangga memiliki majikan sekaligus sebagai simpanannya. Ngeri bukan?

Di Taiwan, Tuhan mempertemukan saya dengan berbagai realita tentang rumah tangga. Mulai perselingkuhan; hak asuh anak; harta gono gini; hubungan anak, menantu dan mertua; kawin kontrak; pernikahan beda agama; termasuk kekuatan TKW dalam membeli majikan demi izin tinggal.

Semua interaksi itu saya lalui dengan perasaan sangat beruntung. Pengalaman yang sangat berharga, kemungkinan tidak akan saya dapatkan jika saya tidak nekat jadi TKW.

Interaksi penduduk lokal Singapura, Hongkong dan Taiwan

Merasa mimpi ketika bingung bagaimana berkomunikasi, nenek majikan yang asli keturunan Chinese bisa berbahasa Indonesia. Belakangan saya ketahui kalau itu sebenarnya bahasanya Upin Ipin alias bahasa Melayu. Jadi ketakutan saya kesulitan berkomunikasi mulai memudar. Meski banyak yang beda, tapi bisa paham.

Tidak hanya Ama dan Bobo yang bisa bahasa Melayu. Tapi juga hampir semua orang tua yang seangkatan usia dengan mereka bisa cakap bahasa Melayu. Itu saya ketahui ketika main di pasar malam dan food court. Berbagai kalangan ada di sana baik termasuk etnis Chinese, Pakistan dan India yang bisa berbahasa Melayu. Konon, mereka bisa interaksi cakap Melayu karena dulu selalu bersama-sama menghadapi kolonial penjajah. Selama itu banyak mendengar dan mulai paham hingga bisa mengucapkan.

Sikap mereka warga lokal ini mayoritas baik terhadap para pekerja dari Indonesia. Karena selain merasa berasal dari satu rumpun nenek moyang yang sama bagi etnis Melayu, pekerja dari Indonesia juga banyak yang sama beragama Islam.

Di Hong Kong cukup sulit untuk mengenal masyarakat lokal. Kecuali para lansia, orang yang katanya miskin, atau justru orang yang berpendidikan tinggi sekalian, dalam arti mereka yang memiliki pemikiran yang sudah terbuka dan modern. Tidak lagi membedakan kasta pekerja dan dirinya.

Mungkin karena etos kerja yang sangat tinggi dan kesibukan lainnya, sehingga masyarakat lokal Hong Kong pada umumnya tidak ada waktu untuk sekedar berbasa-basi dengan tetangga flat. Hanya pengangguran dan lansia saja yang bisa kita temui dan justru mereka terlihat senang jika kita sapa. Merasa ada yang memberi perhatian, mungkin.

Di Taiwan saya beruntung diajak majikan bisa mengenal masyarakat asli Taiwan dari suku aborigin. Ada sekitar lima belas suku lebih, saya lupa lagi. Kebetulan majikan perempuan berasal dari Taitung Taiwan Selatan. Ketika liburan berkunjung ke sana, saya diajak berinteraksi langsung dengan mereka. Sebagian saya lihat, mereka mirip suku Dayak di Indonesia. Dulu saya ngerti bahasa daerah suku mereka sebagian. Sekarang lupa semuanya. Haha …

Bertambahnya teman dan saudara

Ke Singapura, teman satu kelas yang akrab di penampungan ada lima orang, Silvia Valentino Dark Worang, Ani, Lufi, Tuti Pujianti Astuti, dan Maria (siapapun kalian yang saya maksud dan baca artikel ini, tolong hubungi saya ya…) Selama di Singapura kami sempat bertemu beberapa kali karena libur kami tidak bersamaan.

Saya lebih dekat dengan Maria. Setiap hari kami berkirim surat (saat itu belum ada hp) pakai telepon rumah gak dibebaskan kecuali jika ada kepentingan saja.

Sepulangnya ke tanah air, saya hanya sempat ketemu dengan Tuti. Tapi karena saya kembali bekerja ke Hong Kong, semua hilang kontak sampai sekarang.

Di Hong Kong seleksi alam pertemanan dan saudara mulai terlihat jelas. Sekian banyak teman saat suka, tapi hanya segelintir orang yang mau tetap berteman saat kita berduka bahkan sedang celaka.

Saya tidak akan lupa dengan teman dari Jakarta. Lupa nama aslinya siapa, tapi kami memanggilnya pakde (meski ia seratus persen ibu-ibu). Ketika saya belum gajian, tetapi butuh uang untuk kirim ke Indonesia, pakde memberi pinjaman uang gajinya seribu HKD$ tanpa syarat. Ya Allah, serasa mimpi. Padahal saat itu sedang marak pinjam meminjam uang bermodalkan paspor dan itu berbahaya karena banyak yang terjerat akhirnya jadi kasus. Pakde malah menawarkan lagi ketika saya gajian dan membayar hutang saya.

Ada Septi, Sumsiyah, Silo, Andi, Aldi dan Muji yang selalu bareng saat kita libur. Belajar bareng di kantor IMWU dan Kotkiho. Makan tidak makan kami tetap kumpul. Rela jalan kaki dari Causeway Bay kemanapun termasuk ke Jordan daripada naik teng-teng. Padahal jauh dekat ongkosnya cuma 2 HK$. Alasannya dua dolar nya mending dibelikan nasi bungkus bisa dimakan bersama. Meleleh pokoknya kalau ingat kebersamaan ini.

Saya diperbolehkan main ke rumah Romi, kontrakan yang disewa secara patungan setelah dikenalkan Kevin, anak flat depan yang sering main ke taman bawah rumah majikan, karena ia kerjanya mengurus hewan peliharaan yang setiap hari harus dibawa jalan-jalan. Meski saya tidak punya pasangan, Alhamdulillah saya bisa dianggap keluarga oleh mereka. Bisa main, istirahat, dan cerita bebas ketika memiliki masalah.

Setelah selesai kontak kerja di Hong Kong, yang masih komunikasi dengan saya hingga saat ini hanya Septi, Andi, Aldi, dan Sumsiyah.

Pertemanan dan persaudaraan di Taiwan lebih erat hingga kini karena saat itu selain komunikasi sudah menggunakan ponsel juga sudah mengenal akun sosial media. Meski saat itu belum ada komunitas blog seperti Blogger Bandung, tapi saya sendiri sudah belajar banyak terkait blog dan lingkupnya dari blogger Multiply.

Tidak disangka di Taiwan saya jumpa lagi dengan Sumsiyah, Aldi dan Septi. Tidak setiap libur ketemuan karena tempat kerja berjauhan juga kami sudah punya nomor telepon masing-masing dan berteman di sosial media.

Semakin bertambah umur, semakin mengerucut lingkaran pertemanan saya. Bukan lagi para ABG melainkan para ibu rumah tangga, para nenek dan para janda yang jadi teman saya. Mbak Yati asal Yogyakarta sampai sekarang masih komunikasi. Saat gempa Cianjur kemarin ia tercepat beberapa setelah teman blogger yang ngontak saya bertanya kabar.

Teh Lia yang sekarang menikah dan jadi warga Taiwan, tidak akan terlupakan ia ikut mengumpulkan pernak pernik berbau tengkorak gara-gara ia baca blog saya yang di sana saya ceritakan saya mengoleksi apapun tentang tengkorak.

Aldi yang sempat ketemu di Masjid Daan Taipei sepulangnya ke kampung halaman ia tahu saya akan menikah mengirim kado peralatan masak anti pecah. Ia tahu kalau saya dan suami katanya akan sering naik gunung.

Nani dan Alin yang tidak sengaja saya kenal waktu di acara Indosuara di Taipei ternyata asal Cianjur juga. Meski hanya kontrak pertama bareng sama mereka (karena mereka kaburan jadi blacklist masuk ke Taiwan lagi) tapi setelah di kampung halaman kini kami sudah seperti adik kakak. Saling mengunjungi dan selalu saling support.

Masih ada banyak teman rasa saudara yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu di blog ini. Tapi percayalah semua kalian tertulis dan teringat indah di hati saya ini.

Bertambah Orang Tua

Majikan saya di Singapura sangat disiplin, pelit dan keras. Tapi begitu karena ia memang mendidik saya sebagai anak tertua. Saya saat itu berusi 18 atau 19 dianggap sebagai anak tertua dari anak kandung mereka yang berusia 12, 9 dan 5 tahun.

Sampai sekarang semua sistem pengasuhnya melekat kuat dalam benak saya. Yang bagus saya praktikan yang tidak sesuai saya adopsi untuk bisa diambil sisi baiknya.

Majikan di Hong Kong malah seusia dengan saya. Orang tua majikan baik dari pihak laki-laki maupun perempuan yang justru menganggap saya sebagai anak mereka juga.

Kakak majikan perempuan, Sanjo cukup akrab dengan saya. Ia pintar berbahasa Inggris jadi kami lebih mudah ngobrol.

Saat saya bekerja di Taiwan mereka liburan dan menghubungi saya. Sampai saya finish kontrak di Taiwan, keluarga majikan di Hong Kong ada tiga kali liburan ke Taiwan dan kami berjumpa.

Majikan di Taiwan ini yang menjadi orang tua kedua saya. Hingga saat ini. Usia majikan tiga tahun di atas saya. Perlakuan orang tuanya ke saya seperti ke anaknya juga. Ibunya majikan yang aktif di Yayasan Tzu Chi Pusat, merekomendasikan saya bekerja di Yayasan Tzu Chi Indonesia di Jakarta. Hanya dengan berat hati saya menolak karena sudah nyaman bekerja di Indosuara.

Sebelum covid-19 kalau ke Jakarta atau Bali majikan selalu menelepon dan jika memungkinkan kami bertemu. Pernah mereka liburan bersama anak-anak ke Indonesia dan saya beserta anak dan suami diundang mereka ke sana untuk liburan bareng. Majikan sering membaca berbagai review hotel untuk memudahkan rencana liburan kami.

Boss besar saya di Indosuara adalah malaikat tidak bersayap versi saya. Ia katanya bisa melihat kelebihan saya sejak saya masih berstatus migran di Taiwan. Saat itu saya dikenal karena kasus perpanjangan paspor KDEI Taiwan yang terbongkar bersama aktivis Ade Ipang dan Elis Lee. Nama saya juga mulai menghangat manakala tulisan saya terkait mie instan sudah bikin gaduh pembaca Kompas di tanah air.

Saat saya tidak bisa menghadiri undangan jumpa presiden RI yang masih dijabat SBY saat itu karena tidak mendapatkan cuti kerja, saat saya batal jadi TKW teladan karena job kerja tidak sesuai dengan kontak kerja, maka boss besar ini berani mengajak saya bergabung menjadi kontributor biro Indonesia untuk Indosuara. Seolah ia menjamin kehidupan saya selanjutnya sepuluh tahun kemudian di tanah air ini.

Saat saya menikah ia memberikan kenaikan gaji. Saat saya hamil dan melahirkan, istri boss besar mengirimkan pakaian bayi dan anak dan pernak pernik lainnya.

Setiap pondok mengaji yang saya dan suami kelola membutuhkan dana, dengan dalih menyisihkan sebagian uang jajan anaknya, boss besar dengan segera mengirim dengan harapan apa yang bisa dilakukannya bisa membantu banyak orang. Luar biasa, bukan?

Terakhir kemarin saat Cianjur kena Gempa, meski saya sudah tidak bekerja sejak April 2022 majikan langsung hubungi saya via messenger. Karena saya tidak install aplikasinya jadi pesan itu agak terlambat saya baca. Dikiranya saya jadi korban bencana. Mereka sangat mencemaskan kami. Setelah saya jelaskan mereka mengerti dan langsung kirim bantuan. Padahal saya bingung, saya kan gak minta?

Pendidikan

Lingkungan dengan adat dan kebiasaan yang berbeda dengan sendirinya sudah membentuk saja menjadi pribadi yang menjunjung tinggi toleransi dan keberagaman. Tiga negara yang berbeda, beberapa keluarga beda atnis dan adat istiadat yang jadi tempat saya tinggal sudah menjadikan tuntutan saya untuk bisa mempelajari semua.

Di Singapura saya berkesempatan belajar banyak tentang kepribadian di Sekolah Minggu, memperdalam bahasa Inggris, mempelajari banyak pekerjaan rumah tangga, dan pola pengasuhan dengan sistem demokratis.

Di Hong Kong saya berkesempatan bergaul, belajar pertama kali mengenal internet dan gadget, belajar jurnalistik sistem jarak jauh, magang menjadi kontributor dan ikut berbagai kursus saat memiliki waktu luang.

Sementara di Taiwan, berbekal pelajaran yang sudah saya miliki sejak awal, saya bisa lanjut memperdalam ilmu pola pengasuhan anak, perawatan lansia, belajar menjadi pribadi yang lebih baik dengan terus mengasah pola management diri dan keluarga. Disamping terus belajar ilmu kehidupan melalui menulis dan membaca.

Lebih dari satu dasawarsa saya habiskan untuk merantau ke luar negeri, pulang tidak hanya bertambah usia, tapi juga harus bertambah skill dan kemampuan!

Financial

Niat awal berangkat ke luar negeri karena memang kerja untuk mendapatkan uang. Alhamdulillah, bisa bayar hutang, bisa memperbaiki perekonomian keluarga, dan sedikit tabungan.

Dari kesemuanya, yang sangat berharga adalah pendidikan finansial yang bisa saya pelajari baik secara langsung dari materi para penyuluh pembekalan akhir pemberangkatan (PAP) maupun secara otodidak saya pahami dari pengalaman sendiri.

Sebagai TKW alias pekerja perempuan, sekuat apapun peran suami dalam rumah tangga, tetap harus bisa mandiri dengan tidak mengenyampingkan peran suami sebagai kepala rumah tangga. Setidaknya, miliki rekening pribadi, sisihkan uang gaji sesuai dengan pos yang sudah ditentukan, lakukan sistem pembagian supaya tidak jomplang, seberapa persen untuk tabungan, berapa persen untuk kebutuhan dan berapa persen untuk investasi.

Jodoh

Seluruh warga kampung tahu jika hampir belasan tahun di luar negeri membuat saya dengan sendirinya mendapatkan gelar perawan tua. Bagaimana tidak, teman seangkatan saya semua sudah pada menikah, pada memiliki anak, dan bahkan ada yang sudah menjanda, dan menikah lagi!

Saya sih percaya kalau jodoh adalah takdir. Memasuki usia tiga puluh untuk warga di pedesaan wajar dianggap perawan tua. Ya emang saya juga mengakui kalau saya sudah tua. Hehe. Tapi bukan berarti tidak laku juga. Gini-gini mantan saya ada beberapa. Haha… Saya harus minta maaf kepada mereka, karena bukan mereka yang tidak serius, tapi memang saya yang memilih tetap bekerja dan malah tambah kontrak.

Hingga jodoh itu datang, kami dipertemukan dan menikah tahun 2012 silam. Semoga saja langgeng sampai maut memisahkan. Aamiin.

Kemanapun pilihanmu untuk bepergian asal jangan pergi untuk menghindari kenyataan

Banyak suka duka selama saya bekerja di luar negeri. Apalagi saat itu belum ada pembenahan sistem ketenagakerjaan seperti sekarang. Saya pun beberapa kali tersandung kasus, mulai perdagangan manusia (human trafficking), job di luar kerja, sampai overstay alias kelebihan izin tinggal dan harus segera angkat kaki karena kalau tidak bisa dideportasi. Semengerikan itu?

Tapi tidak ada yang lebih berharga dari sebuah pengalaman. Benar kata pepatah, Pengalaman adalah guru yang paling berharga. Sepuluh tahun lebih saya bekerja, tidak percuma saya melancong selama itu karena kini saya sendiri bisa dengan lega merasakan semua manfaatnya.

25 thoughts on “Menjelajah Tiga Negara Dapat apa?”

  1. Teteh, sangat kaya pengalaman di berbagai bidang.
    Godaan harta, pergaulan itu dimana-mana ada yah. Begitulah diingatkan pondasi agama harus kuat, ditanamkan sejak dini, dimulai dari keluarga.
    Alhamdulillah di beberapa tempat dapat majikan yang baik dan bisa menambah skill.

    Reply
  2. Dimanapun kita berada harus berpegangan pada akidah dan akhlak agar tidak terjerumus pada hal yang buruk ya, Teh. Kalau kita memiliki itu, insyallah dipertemukan dengan orang-orang yang baik walau beda agama dan kebangsaan.

    Reply
  3. Pengalaman hidup yang sangat luar biasa Teh Okti, banyak pesan yang bisa diambil dari tulisan teteh, dimanapun kita menginjakkan kaki, kita harus tetap berpegang teguh pada akidah akhlak, agar tidak terjerumus kedalam jurang yang buruk ya Teh. Jika kita punya perbekalan tersebut. Insyaallah dimanapun kita berada kita akan dipertemukan oleh orang – orang yang baik dan menuntun kita ke jalan yang lebih baik lagi tentunya.

    Reply
  4. Masya Allah pengalaman hidup yang tidak terbayarkan dengan apapun ya teh, luar biasa teh Okti sudah melanglang buana gitu. Yang pasti menanamkan kebaikan ya teh , dari kita untuk orang sekitar kita.

    Reply
  5. selalu suka baca cerita-ceritanya teh Okti. Nah salah satu cerita yang pengalaman teh Okti di beberapa negara ini pasti kaya akan pengalaman dan bisa jadi pembelajaran buat yg baca blog. Perempuan superwoman banget teh

    Reply
  6. Berasa diajak jalan-jalan sambil belajar sosial budaya Singapura, Hongkong dan Taiwan nih sama si Teteh.

    Seperti biasa, tulisan Teteh yang mengalir, kudu dinikmati pelan-pelan, biar nancep!

    Btw,
    Suka banget sama quote jodoh di atas!

    Reply
  7. Pengalaman yang luar biasa kalau menurutku, karena tidak semua orang bisa dan mampu juga seperti teh Okti. Tapi dengan membaca cerita teh Okti jadi membuka mata juga bahwa semua itu bisa jika kita memang mau dan memiliki keinginan ya kak.

    Reply
  8. Luar biasa sekali Teh pengalamannya. Semoga Allah mudahkan di langkah berikutnya. Punten Teteh Okti berarti bisa 4 bahasa ya? Bahasa Sunda, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dan Bahasa Cina?

    Reply
    • Eh saya lama di penampungan, belajar bahasa Mandarin bergabung dengan orang Jawa, bukannya bisa bahasa Mandarin, justru lebih cepat bisa paham bahasa Jawa lho, hehehe

      Reply
  9. Iya kebayang ya kalau akidahnya nggak kuat, jauh dari ortu dan keluarga, bergaul dengan banyak orang jadi bisa terjadi apa saja ya Teh kalau nggak kuat iman, Alhamdulillah pengalamannya banyak banget ya Teh merantau ke negeri orang dan bikin kita lebih kuat dan berwawasan luas

    Reply
  10. Kalau baca postingan ini, menurutku Mbak Oktober tuh salah satu TKW yang sukses. Bukan soal uangnya, tapi pengalamannya, ikut kelas ini dan itu. Beberapa mantan TKW di kampungku, mereka pulang, dari yang sakit, balik kerja di kampung dan tidak ada perkembangannya

    Reply
  11. Luar biasa mbak pengalaman hidup selama jadi TKW di tiga negara yang berbeda. Banyak hal yang bisa diamati dan dipelajari, memperkaya wawasan dan juga dalam memandang kehidupan.

    Suami saya dulu juga jadi TKI di Korea, saya pun banyak dapat cerita lika liku tenaga kerja Indonesia di luar negeri

    Reply
  12. Alhamdulillah ya teh..
    Dengan keikhlasan teteh, semua ada buahnya dan semoga terus beberkah hingga memanjang.
    Yang mahal dari semua ini adalah pengalaman dan koneksi atau link yang baik terhadap orang-orang yang pernah hadir di dalam hidup.

    Reply
  13. Kakk okti kereen banget aku menunggu tulisan kisahmu spt ini ternyata kita satu angkatan lulus 1999…

    Aq share ke tmnku yg dl pernah jd tkw arab dan taiwan juga supaya bs ikut jejakmu menulis.

    Reply
  14. Masya Allah pengalaman yang sangat berharga bisa didapatkan karena keberanian Teh Okti menjadi pekerja migran. Bekerja di luar negeri butuh keberanian dan pasti nggak hanya mendapatkan uang tapi juga pertemanan dan kenalan baru

    Reply
  15. Setiap orang punya pengalaman hidup yang berbeda-beda. Saya salut ama Teh Okti yang begitu kuat ditempa dunia. Alhamdulillah sekarang sudah bisa berkumpul di tanah air ya Teh. Sekarang sudah berkeluarga dan punya anak. Apapun yang terjadi, perjalanan hidup di masa lalu pasti banyak hikmahnya.

    Reply
  16. Serem juga ya Arab hukumnya hiks.
    Wah ternyata Hongkong godaannya banyak ya mbak. Aku selalu penasaran dengan Hongkong dan Taiwan, khususnya Taiwan ya, negara bagus dan konon hidup bisa lbh enak di sana, meski sebaiknya emang fasih bahasa mandarin jg kali ya?
    Hoohh ya Yayasan Tsu Chi di Jkt, suamiku sering ke sana karena salah satu klien perusahaannya.
    Pengalaman bekerja di tiga negara sungguh kaya, jd makin banyak tahu karakter orang juga budaya org yaa. TFS.

    Reply
  17. Semua perjalanan hidup harus disyukuri ya. Walaupun Teh Okti ke 3 negara itu sebagai TKW, tapi setidaknya udah pernah ke luar negeri. Saya malah belum pernah sama sekali padahal dulu pengen banget ke Hongkong ketemu artis mandarin xixixi

    Reply
  18. Banyak hal pastinya ya yang didapat dengan pergi dan tinggal di negara orang lain. Pengalaman, teman, dan mindset tentang ini itu. Beruntung banget deh Teh Okti bisa mendapatkan semuanya. Aku sendiri, belom pernah ka mamana. Kurung batok, Teh. Jadinya gak kaya pengalaman kayak Teh Okti. 😀

    Reply

Leave a Reply to Nia Haryanto Cancel reply

Verified by ExactMetrics