Kenapa Tidak Perlu Membandingkan Imbalan antara Cerpenis dan Blogger?

Nunggu busway ke Harmoni iseng sambil beli koran Kompas. Kalau hari Minggu bacaan Klasika nya bagus-bagus buat referensi tulisan atau bahan cerita ke anak.

Kirain dua ribu rupiahan, ternyata sekarang jadi tiga ribuan. Karena itu juga aku sempat tertinggal satu bus Transjakarta jurusan Harmoni. Abis kelamaan nyari-nyari duit recehan seribuannya buat bayar ke si bapak yang jualan koran.

Tapi untung tak lama datang juga busway yang menuju tujuan yang sama. Malah yang ini kosong banyak. Aku jadi bisa duduk leluasa dan baca koran Kompasnya.

Di rubrik Seni, ada cerpen miliknya Pak Tri yang dimuat. Huh! Aku narik nafas dalam-dalam. Kapan ya cerpenku bisa naik cetak di Kompas? Berkali-kali kirim hasilnya selalu ditolak!

Terbayang Pak Tri akan menerima honor tulisan cerpennya yang berkisaran 1,2 jutaan itu. Lagi-lagi aku hanya bisa narik nafas dalam-dalam.

Sempat terlintas pikiran Tuhan kenapa “memilih” penulis cerpen untuk dimuat di Kompas. Kenapa terkesan hanya orang-orang tertentu dan ternama saja yang karyanya dihargai sampai jutaan rupiah dalam satu kali hasil karya.

Hush! Astagfirullah… Aku segera istigfar saat tersadar. Kenapa aku jadi punya pikiran buruk seperti itu?

Ya Allah, maafkan hamba-Mu ini. Aku bukannya bersyukur atas semua nikmat yang telah diberikanNya padaku, eh, malah mikir yang tidak-tidak. Bukankah milikku juga jika ditekuni dengan profesional bisa menghasilkan nilai nominal yang sama bahkan lebih?

Ya, harusnya kamu syukuri itu, Okti!

Bersyukur saat aku gagal mengikuti suatu even tetapi di even lain justru tanpa diduga aku terpilih dan tanpa harus susah payah dengan resiko ditolak redaksi karyaku justru bisa dipastikan bakal menghasilkan.

Harusnya aku bersyukur saat aku gagal masuk audisi menulis antologi bersama ibu-ibu yang doyan menulis, tetapi Allah menggantikannya dengan memilihkan aku sebagai salah satu ghost writer untuk kampanye salah satu produk dan perusahaan asuransi dengan imbalan senilai 25 kali lipat dari imbalan di even yang gagal aku ikuti.

Harusnya aku bersyukur saat cerpenku tak lolos dari para redaktur Kompas tetapi di lain kesempatan aku bisa manjadi blogger yang tulisanku bisa langsung diasese Badan Narkotika Nasional (BNN) lewat evennya Indonesia Bergegas. Yang mana nilai honornya jika aku serius membuat beberapa artikel dalam satu bulan bisa dua kali lipat dari honor naskah cerpen dimuat di Kompas.

Ya, harusnya kamu bersyukur, Okti!
Bukan hanya bisanya mengeluh dan membanding-bandingkan. Jangan melihat ke atas, tapi lihatlah ke bawah…

Terus tingkatkan karya dan prestasimu maka dengan secara sendirinya karyamu akan bernilai dan membawakan untukmu imbalan…

Amin!

Suka Duka Blogger dari Ujung Dunia Menuju Kopdar Ibu Kota

Duka Blogger dari Kampung
Kecewa sekali rasanya hari minggu pagi ini…

Sesuai rencana aku mau menghadiri acara Blogger Bicara yang diadakan oleg Blogdetik di Jakarta. Tentu saja seperti biasa, berangkat dari rumah jam tiga dini hari.

Naik Elsa Kang Oyan yang sudah biasa dari Terminal Sukanagara. Selama perjalanan aku memilih tidur karena memang sangat ngantuk sekali. Semalam tidur hanya satu jam. Itu juga bangun-bangun karena Fahmi nangis terus.

Fahmi sedang kena flu dan batuk. Hidungnya mampet, pernafasannya terganggu. Karenanya Fahmi nangis saat lapar mau minum susu, tapi mulut ga bisa nutup karena ga bisa nafas. Akhirnya gak minum susu. Dalam keadaan ngantuk, setengah tidur sedikit-sedikit nangis, soalnya lapar tapi gak kesampaian minum susu maksimal. Ditambah mungkin nyeri badan karena efek dari flu dan demamnya.

Sampai di Campaka tidurku terganggu karena mobil Kang Oyan menyeruduk batas jalan saat berselisih jalan dengan mobil lain dari arah berlawanan. Aku hanya membaca istigfar saking kagetnya, tapi lanjut kembali tidur.

Sampai daerah Kebun Pinus, Kang Oyan bilang ada masalah dengan kupling. Wah, gawat! Itu artinya ini mobil Si Dukun yang aku tumpangi mengalami kemogokan. Duh! Padahal hari Minggu aku dalam keadaan terburu-buru.

Benar saja, Erik sang kondektur Si Dukun sampai mendorong mobil demi bisa mengantarkanku ke sekitar Alun-alun Cibeber yang mana di sana sudah banyak angkutan kota yang bisa membawaku langsung je Jebrod.

Berhasil naik angkot, wah! Penumpangnya hanya aku sendiri! Dan sebelnya itu angkot jalannya kaya sepeda. Pelan banget! Duh! Ga tahu apa aku lagi buru-buru? Aku hanya bisa menggerutu dalam hati.

Sampai di Pom Bensin, sopir angkot membelokkannya ke dalam. Isi bensin dulu. Mana ngantri… Sabar. Mungkin setelah isi bensin angkotnya bisa ngebut. Kembali hatiku menghibur diri.

Boro-boro! Abis selesai isi bensin, sopir malah matiin mesin dan dia bilang, masih jam limaan. Niis dulu lah…

Tentu saja aku gak terima. “Pak, aku lagi buru-burun (Bapak malah enak-enak bilang santai dulu) aku turun di sini aja ya? Aku mau terus ke Jakarta nih…” Ucapku sambil siap-siap turun.

“Eh! Bayar dulu dong! Bayar!” Si sopir juga ga terima rupanya.

“Iya, pasti aku bayar,” jawabku sambil memberikan uang dua ribu rupiah. “Terimakasih ya, Pak!” Meski kesal, aku berusaha tetap ramah.

Saat melewati angoktnya mau nyegat angkot yang lain, itu sopir dengan sengajanya menjalankan mobil, hampir saja menyenggolku! Ih… Semakin kesal lagi saat aku minggir, itu angkot ternyata malah jalan dan ngebut ke arah kota.

Ya Allah! Aku sempat tertegun. Si sopir sengaja manas-manasin kali ya? Kenapa dia menurunkan aku kalau mau jalan ngebut begitu ke kota?

Ya Allah, sabarkanlah hatiku. Semoga ada hikmah dari semua ini. Aku tak henti berdoa sebisa-bisa selama menanti angkutan lainnya yang lewat. Dalam benak sudah terbayang bakalan kesiangan sampai di Jebrod dan semakin lama perjalanan karena terhalang Car Free Day. Belum lagi nanti macet di Puncaknya…

Benar saja. Sampai di Jebrod jam enam lewat sepuluh. Sampai di Rancagoong bus sudah tidak bisa lewat, akhirnya balik lagi keliling ke arah kota. Sampai di Panembong jam menunjukkan angka tujuh. Duh! Semoga di puncak nanti masih kebagian lancarnya…

Sedih nian rasanya jadi warga terisolir dengan sarana dan prasarana yang sangat kurang. Mau manghadiri acara kopdar blogger saja dukanya serasa tidak ketulungan 🙁

Ulang Tahun: Jangan Jadikan Pemicu Kesenjangan Sosial

Saat membawa Fahmi menghadiri ulang tahunnya Rima, tetangga rumah di Pagelaran, pikiranku langsung melesat ke masa kecilku saat tinggal di Bandung.

Ada kisah yang menyedihkan sekaligus menyakitkan di sana. Aku dan adikku alami. Masalahnya masih berkaitan dengan acara ulang tahun.

Kami punya tetangga namanya Pak Lukman. Mereka mempunyai anak 4. Tiga perempuan dan satu laki-laki. Dua anak terbesar mereka sudah menikah dan mempunyai anak. Usianya hampir sebaya denganku juga adikku. Hanya berselisih beberapa tahun mungkin.

Setiap keluarga Pak Lukman merayakan ulang tahun cucunya, diantara anak-anak satu kampung, selalu hanya aku dan adikku yang tidak mereka undang. Sementara Nia, Angga, Desti, Hany, Hendi, Wawang, Meike, Asep, Lutfi, Mimi, Aden, dan masih banyak teman sebaya kami satu kampung yang sekarang aku lupa lagi namanya semuanya mereka undang!

Padahal, rumah yang kami tempati bersebelahan. Bedanya rumah keluarga Pak Lukman sudah permanen dan megah, sementara rumah yang aku tempati hanya rumah kontrakan, itu pun berdinding bilik bambu dan berlantai tanah.

Saat itu setiap ulang tahun dirayakan anak-anak lain juga banyak yang bertanya kenapa aku dan Agus tidak diundang? Kenapa selalu tiap ulang tahun aku dan Agus yang tidak mereka undang?

Pertanyaan yang tidak bisa pasti terjawab. Hanya jawabanku sendiri saja yang menjadi jawaban buat mereka yang bertanya. Keluarga Pak Lukman tidak mengundang aku dan Agus adikku mungkin karena kami anak orang miskin, yang tak pantas mereka undang. Toh jika diundang pun kami tak bisa memberikan apa-apa kepada cucunya yang ulang tahun. Tentu mereka akan rugi jika memberi aku dan adikku makanan atau bingkisan seperti yang dibawa dan dimakan teman-temanku lainnya yang mereka undang.

Meski aku baru berusia antara kelas 3 sampai kelas 6 SD, tapi aku sudah bisa merasakan betapa sedih dan tidak berartinya saat dibeda-bedakan seperti itu. Apa salah kami? Apa kemiskinan itu pilihan yang kami inginkan?

Hingga kami pindah (Agus dan Ibu ke Cianjur; sementara aku diantar Ayah ke Tasikmalaya) belum pernah kami menghadiri ulang tahun cucu-cucu Pak Lukman, karena kami memang tidak pernah diundang.

Kejadian masa kecilku itu seakan terungkap kembali saat kini aku punya anak dan menghadiri perayaan ulang tahun anak tetangga yang mengundang Fahmi.

Aku dan suami bukan orang berada. Fahmi dibesarkan dalam keadaan kesederhanaan atau mungkin bisa dibilang serba kekurangan. Tapi dalam hatiku berjanji, jika kami memiliki kelebihan, sekecil apapun itu, akan kami bagi dengan teman-teman Fahmi, tak terkecuali siapapun (anak siapa, bagaimana tingkatan perekonomiannya).

Aku tak ingin ada anak kecil lain yang merasakan kecewa sebagaimana kekecewaanku dan adikku dulu saat di Bandung…

Saat Fahmi Mempersiapkan Kado untuk Rima

Tak tahu bagaimana menjabarkan perasaanku sebagai ibunya, saat sore tadi kami menerima undangan ulang tahun untuk Fahmi, dari Rima (3) anak tetangga yang tempatnya terhalang enam rumah dari rumah kami.

“Fahmi sudah besar ya, Nak?” Ucapku dalam hati sambil memandangnya yang sedang asyik bermain dengan kartu undangan. Tampak Fahmi bahagia dengan kertas itu di tangannya. Anakku rupanya sudah “diakui” keberadaannya oleh orang sekitar.

Undangan untuk hari jumat tanggal 14 Maret itu akan menjadi undangan pertama yang diterima Fahmi. Rasanya baru kemarin kami meniupkan lilin ulang tahun pertama untuknya, dan kini Fahmi akan aku bawa untuk pertama kalinya pula menghadiri acara ulang tahun temannya. Subhanalloh…

Perasaan ini benar-benar tidak bisa dilukiskan…
Hanya aku menyadari bahwa salah satu proses dalam hidup dan kehidupan dimana manusia mau tidak mau akan dan harus menjalaninya ini kini tengah aku alami.

Sore tadi juga aku diantar suami bersama Fahmi mencari mainan untuk dijadikan kado yang akan diberikan Jumat sore besok. Fahmi malah senang memeluk boneka barby yang aku pilih untuk dibungkus sebagai kado.

Aih! Masa anak laki-laki suka juga barby, Mi? 🙂

Saat di rumah Ayah Fahmi membungkuskan kadonya pun, Fahmi terlihat enerjik bukan main. Gembira sekali. Dikira mainan itu untuk dirinya kali ya? Ah, lucunya…

Kini dalam benakku sebagai ibunya, untuk pertama kalinya pula harus memikirkan, besok Fahmi memakai baju yang mana? Sendalnya atau sepatunya yang mana? Sekaligus kepikiran pula ada gak baju yang masih cocok buatku untuk membawa fahmi ke acara ulang tahun temannya?

Pikiran seorang ibu muda apa memang demikiankah adanya?

Menghadiri Dialog Publik: Saat Menatap Okky Asokawaty Membeberkan Kinerjanya di Komisi IX DPR MPR RI

Beruntung Mba Lia dari bagian media Migrant Institute mengabarkan infonya jauh sebelum acara. Undangan aku terima hari jumat sore, jadi masih bisa mempersiapkan untuk hadir di acaranya yang bertempat di Caffe Galery, Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat, Selasa, 4 Maret 2014. Waktu di undangan tertera jam 9 pagi sampai jam satu siang. Wah, harus … Read more

Pahlawan Devisa dan Narkoba

Mari kita ungkap fakta yang selama ini tersembunyi berkaitan dengan pahlawan devisa atau sebutan lain untuk Buruh Migran Indonesia (BMI) dan atau Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang ternyata ada affair dengan narkoba. TKI otomatis tinggal di luar negeri yang kondisi alam, kultur serta gaya hidupnya jauh berbanding terbalik dengan di Indonesia, khususnya di kampung halaman … Read more

Verified by ExactMetrics