Si Tidak Punya Ambisi itu adalah julukan seseorang kepada suami saya, gara-gara suami saya menolak menjadi bendahara sekolah.
Dulu, awalnya saya juga merasa heran. Kenapa suami saya tidak mau aktif di organisasi maupun di sekolah tempat mengabdi? Padahal dengan mengikuti berbagai kegiatan selain akan mendapatkan ilmu dan pertemanan juga akan mendapatkan bonus yang tidak disangka-sangka.
Kadang saya berpikir mungkin inilah keseimbangan yang Tuhan ciptakan untuk saya dan suami. Saya yang pecicilan, ingin eksis di berbagai kegiatan, memiliki jodoh yang pendiam, pemalu, dan justru tidak ingin terlibat dalam banyak hal. Kebalikannya. Saya dan suami sangat bertolak belakang, bukan?
Itu pemikiran dulu, sebelum saya mengetahui apa yang menjadi alasan kuat suami tidak mau menjadi bendahara sekolah.
Setelah melalui proses yang cukup lama, akhirnya saya tahu. Seiring mulai memahami bagaimana sikap dan watak suami, (saya dan suami tidak pacaran, jadi tidak mengenal banyak sifat masing-masing sebelum menikah) saya jadi tahu kalau suami sebenarnya tidak seperti yang saya duga sebelumnya.
Suami mengakui memang ia menolak keras jadi bendahara sekolah, alasannya ya karena merasa tidak sanggup. Meskipun rekan kerjanya memaksa, dengan alasan yang pegawai negeri yang belum menjabat sebagai bendahara itu tinggal Pak Iwan, tapi keukeuh suami tidak mau.
Sempat bersitegang dengan kepala sekolah yang baru, karena dianggap tidak mendukung program kepala sekolah tersebut. Tapi setelah dijelaskan kalau menolak jadi bendahara itu memang idealisme suami, bahkan sudah sejak jaman suami baru diangkat jadi Pegawai Negeri Sipil, baru kepala sekolah memahami.
Suami bukan tidak ingin bekerja memajukan sekolah sebagaimana guru-guru lainnya. Toh untuk jabatan lain seperti kurikulum, sarana dan prasarana, pembina Pramuka dan pembagian kerja lainnya tetap diterima dan dijalankan suami dengan baik. Yang ditolak suami memang yang berkaitan dengan keuangan saja…
Kenapa? Kalau harus jujur, ya karena hidup ini tidak seperti novel Indonesia yang bisa disetting pengarang. Sementara suami tidak sanggup menjalankan apa pun yang tidak sesuai dengan kenyataan. Itu saja sih alasannya.
Melihat situasi dan kondisi di sekolah di sini pada umumnya, juga berdasarkan pengalaman bendahara yang dijabat teman-teman suami sebelumnya, membuat tekat suami makin bulat ia tidak akan sanggup kalau harus melakukan kebohongan yang berkelanjutan. Paham mungkin ya maksudnya?
Bukan sok alim, sok bersih, justru karena merasa sudah bukan orang yang benar-benar baik maka memilih menghindari hal-hal yang kemungkinan besar bisa menjerumuskan diri pada hal yang sejatinya selalu kami berusaha hindari. Sebagai makhluk lemah, suami hanya berusaha untuk mengikuti alur yang dibuat penulis skenario yaitu Allah SWT.
Buat manteman yang sebelumnya sudah baca artikel saya Menyikapi Tabur Tuai Kehidupan, kisah dimana saat suami menolak ketika diserahi uang kas masjid kampung, mungkin bisa lebih paham ya karena di sini dijelaskan lebih detail kenapa suami menolak (meski pada akhirnya amanah tersebut kami terima).
Jadi itulah karena tetap mempertahankan penolakan untuk menjadi bendahara sekolah, sampai ada temannya yang bilang Pak Iwan mah si tidak punya ambisi.
Karena katanya, kalau ia yang dimintai untuk jadi bendahara akan diterimanya, secara selain mendapatkan honor, mendapatkan kesempatan juga diajukan naik pangkat (what? Dikira naik pangkat salah satu syaratnya harus jadi bendahara dulu gitu?)
Saya hanya tertawa. Saya paham kalau naik pangkat yang dimaksud teman suami adalah posisi menjadi kepala sekolah. Dan saya tahu beberapa rekan senior suami, khusunya yang telah sampai di golongan 3C ke atas, memang banyak yang berambisi untuk menjadi kepala sekolah. Entahlah kalau apa hubungannya antara jadi bendahara sekolah sama ambisi jadi kepala sekolah, saya juga tidak tahu. Tapi yang pasti saya tahu, kalau suami saya emang tidak berambisi jadi kepala sekolah.
Menjadi guru sampai masa pensiun tiba akan tetap dijalankan suami daripada harus mengeluarkan uang sekian banyak supaya bisa menduduki posisi kepala sekolah. Saya percaya itu karena keuangan suami memang sepenuhnya saya yang pegang. Kalaupun ada uang, lebih baik dipakai untuk biaya pendidikan anak kelak, atau sebagai cadangan dana darurat.
Kalau tidak punya ambisi, mana mungkin sampai sekarang suami masih terus belajar demi meningkatkan kemampuan dan bisa mengimbangi perkembangan teknologi? Tidak ngebet jadi kepala sekolah bukan berarti tidak punya ambisi dong?
Dipikir jadi kepala sekolah itu senang? Disertai kejujuran saja banyak yang mengaku pusing mengatur keuangan dana biaya operasional siswa apalagi yang disertai kecurangan, bagaimana bisa bahagia dalam mempertanggungjawabkan nya?
Karena itu ketika ada yang bilang suami saya tipe si tidak punya ambisi saya hanya tertawa saja. Tidak benar dan tidak salah juga. Jadi ya biarkan saja.
Jangankan suami, saya saja kalau posisinya seperti itu ya sama akan bersikap asertif juga. Saya akan berusaha menyampaikan suatu kebenaran walau dalam kondisi terintimidasi oleh pihak lain.
Saya akan lawan siapapun yang menuntut hal-hal di luar kemampuan namun tentu saja dengan tidak merugikan diri sendiri.
Sebagai manusia kita juga berkesempatan mengeluarkan sikap atau perilaku yang menunjukkan kemampuan untuk menyampaikan keinginan, perasaan, dan pendapat dengan jujur, tegas, dan lugas, tanpa menyerang atau merugikan orang lain.
Meski sekilas seperti orang egois yang mementingkan diri sendiri, namun sebenarnya sikap asertif ini memiliki banyak manfaat, lho. Seperti dapat membantu menyelesaikan konflik, menjadi jalan dalam menyuarakan hak, mengembangkan kesan yang baik terhadap diri sendiri, dan bisa memberikan manfaat bagi diri sendiri maupun lawan bicara.
Sikap asertif tidak hanya secara spontan bisa kita munculkan, namun dapat dibentuk melalui pembelajaran dan pembiasaan dalam kehidupan sehari-hari.
Cara-cara untuk mewujudkan sikap asertif ini bisa dilakukan dengan sikap menolak dengan tegas, tetapi tidak bersikap kasar atau mengabaikan orang lain juga ya.
Berkomunikasi dengan menggunakan bahasa tubuh yang baik, seperti postur tubuh yang tegak, kontak mata yang pantas, dan ekspresi wajah yang positif walaupun kita menyimpan kekesalan.
Dibarengi dengan kejujuran saat mengungkapkan perasaan atau pendapat, tetapi tidak sampai menyalahkan pihak mana pun. Jadi saat ada yang bilang kejujuran itu menyakitkan, ya sudah kita terima saja dulu. Hehe…
Seperti julukan si tidak punya ambisi dari seseorang kepada suami, ya kami terima saja dulu. Yang penting suami bisa selamat tidak ditodong jadi bendahara sekolah lagi, hal yang paling dihindarinya.
Perbedaan dalam hubungan memang seringkali menjadi bumbu yang menarik. Namun, di balik perbedaan itu, ada keindahan dalam saling melengkapi. Kisah ini mengingatkan saya bahwa setiap individu memiliki keunikannya masing-masing. Komunikasi yang terbuka memang kunci utama dalam membangun hubungan yang harmonis.
Jadi bendahara itu tanggung jawabnya berat bangettt. Saya paham sih mengapa beliau menolak jadi bendahara. Tapi kok gemes aja dibilang gak punya ambisi. Kan ada opsi penolakan, mengapa malah maksa gitu diaaa.
Sepasang kekasih memang biasanya saling melengkapi, kalau kita nya diam, suami yang lebih rame, begitu juga sebaliknya. Coba kalau diam semua, nanti kan jadi mengheningkan cipta nih hehehe
Sebenarnya setiap orang itu punya ambisi, namun kadarnya berbeda-beda. Dan suami Mbak Okti ini, ambisinya tidak besar dan ambisinya disesuaikan dengan kadar kemampuannya. Kan ada orang demi ambisi menghalalkan segala cara.
Dan saya suka dengan ambisi suami Mbak Okti. Termasuk soal kedudukan jadi bendahara sekolah. Kalau tidak nyaman, memang sudah bagus tidak diambil.
Jadi bendahara sekolah itu memang beban yang berat sekali. Mengelola keuangan BOSS dari pemerintah untuk sekolah dan diminta laporan pertanggung jawaban sesuai peruntukan seperti hal lumrah, namun fakta di lapangan kadang jauh berbeda. Bendahara BOSS pasti paham dengan kondisi ini, maka tak heran jika ada yang tak mau menjadi bendahara sekolah untuk menjaga kehati-hatian juga
Kadang Slow Living itu penting mbak. Bukan berarti nir ambisi, tapi ya berproses sesuai kadarnya saja. Hidup terlalu banyak keinginan juga jadinya gak tenang.. buat apa
Bukan tidak ambisi karena memang tanggungjawabnya berat banget ya, Teh. Masya Allah memang harus mikir ke depannya bagaimana, bukan hanya sekedar ambisi pribadi semata. Tapi soal tanggungjawab dan merasa tidak mampu. Bagus banget punya idealisme seperti ini, kebanyakan malah main sikat sana sini untuk mendapatkan atau mencapai sesuatu, hiks seram.
Punya ambisi yang positif dan kitanya mampu, ya gak apa. Kalau memang diri sanggup karena mungkin akan ada mudharatnya, memang sebaiknya gak perlu dilanjutkan. Jadi biar bekerja lebih happy dan nyaman
Jadi ikutan gemes sama seseorang itu, kayak yg paling tau aja suaminya teh Okti, haha..
Duh aku sempet sebel banget sama suamiku yang keliatan gak ada ambisinya sama sekaliiii. Tapii sebenrnya mengejar ambisi tanpa melihat kapasitas diri itu jg capek yaa mbaa hiks, thanks banget tulisannya
Aku skrg jg dlm posisi spt suaminya mbak kok. Lbh enak tanpa ambisi di tengah bnyk anak muda di desaku justru berlomba2 pgn dpt posisi di pemerintahan meski dlm lingkup kecil.
Akhirnya ya saling menilat dilakukan. Smua demi mendpt posisi. Ujung2nya ya tetap saja cuan yg diinginkan. Selain dr keberlanjutan usaha yang dilakukannya.
Ah sya lbh pgn hdp tentram. Mengurus diri sendiri dan keluarga saja. Lbh tenang. Tanpa ambisi.
Saya jadi paham dari perspektif suami teh Okti.
Karena lebih baik menolak di awal daripada setelah diterima amanah bendahara tersebut, tetapi ingin berhenti di tengah jalan karena gak sanggup.
Ini lebih payah lagi nanti.
Jadi belajar dari sikap suami teh Okti bahwa lebih baik pahit tetapi mengatakan kebenaran daripada menerima tetapi tidak mampu bertanggungjawab.
The real jodoh itu saling melengkapi ya Kak. Bisa jadi pelajaran buat saya, mungkin suatu hari nanti suami saya juga merupakan orang yang berbeda jauh sifatnya dengan saya. BTW, suami Kakak keren sih, tegus dalam berprinsip.
Wah aku baru tahu kalau tindakan seperti itu disebut “asertif” 🙂
Tapi betul sih, aku juga sependsapat dengan suami teteh. Mungkin kelihatannya nggak punya ambisi, tapi dibaliknya malah memiliki misi tersendiri dimana tidak mau melakukan sesuatu yang bukan seharusnya.
Justru suami teh okti komitmennya kuat banget ya teh..mau apapun dan siapapun tetap berpegang pada prinsip..langka nih orang begini di jaman sekarang..
Kebetulan aja ambisinya di bagian lain ya, teh. Sukses selalu buat suami dan keluarga