Duka Gaji Pertama

Duka Gaji Pertama

 

Gaji perbulan RP. 1juta. Itu tahun 2000 lho! jadi masih bernilai besar dan bisa jadi andalan memenuhi kebutuhan hidup tiap bulan. Apalagi saat itu buat saya si anak kampung yang baru pernah punya/megang uang terbesar hanya Rp.100 ribu saja!

Tahun 2000 bulannya sudah lupa. Saat itu saya kerja jadi pengasuh anak di Singapura. Kondisi ekonomi keluarga yang morat-marit, ditambah susahnya lapangan kerja di negara sendiri karena imbas krisis ekonomi membuat saya nekat memilih kerja merantau ke luar negeri. Awalnya bertujuan ke Arab Saudi, namun penyalur tenaga kerja mengarahkan saya justru ke Singapura.

Mengingat ibu dan adik butuh biaya buat makan dan kebutuhan hidup lainnya di kampung, bayangan gaji pertama sebesar Rp. 1 juta (lebih sebenarnya kalau dikurskan saat itu) seperti yang tertera dalam Perjanjian Kerja selalu terbayang setiap malam. Saat tubuh lelah dan pikiran gundah, seolah terobati dan menjadi segar lagi manakala membayangkan uang 1 juta akan segera dipegang.

Namun satu bulan masa kerja lewat, gaji pertama tidak juga kunjung diterima. Majikan seolah tidak merasa bersalah. Begitu juga agency yang menyalurkan saya kerja. Mereka acuh-acuh saja. Sementara saya merasakan betapa ibu dan adik di kampung mengap-mengap mengharap kiriman yang tidak kunjung sampai.

Mendapat saran dari teman-teman dan didorong oleh rasa iba membayangkan ibu dan adik yang kelaparan tidak punya uang buat beli makan saya nekat bertanya kepada agency tentang gaji. Dan betapa lunglainya sekujur tubuh saya ketika mendengar jawaban dari agency.

“Kamu jangan tanya-tanya gaji. Kerja saja yang baik. Kamu masih punya hutang 7 bulan. Jadi selama itu gaji kamu habis buat bayar hutang, ngerti?”

Ya Allah, mampukah ibu dan adik saya di kampung bertahan hidup selama 7 bulan ke depan?

“Tapi keluarga saya butuh uang buat makan, tolong saya mau kirim uang…” Saya memberanikan diri menyela. Apapun akan saya  perjuangkan demi ibu dan adik.

Agency yang orang Melayu itu sepertinya tidak tega juga dengan rengekan saya. Ia bilang akan bicarakan soal itu dengan majikan.

Majikan saya orang Chinese dengan kepelitan tingkat tinggi. Tidak perlu dikisahkan bagaimana masa-masa kerja saya yang menyakitkan diluar soal tema “gaji pertama” ini. Tapi meski pelit saat saya bilang saya mau kirim uang yang jadi hak saya kalau tidak saya akan lapor polisi majikan langsung mengiyakan.

Majikan menyodorkan uang sebesar $SGD 30 dari jumlah gaji saya semua 230 saat itu. Ternyata setiap bulan selama masa potongan gaji saya hanya nerima 30 dolar saja. Sisanya yang 200 dolar itu diambil agency sebagai pelunasan hutang saya atas biaya keberangkatan kerja ke Singapura.

Meski hati menjerit, membayangkan 30 dolar (kalau dirupiahkan sekitar Rp. 130 ribu) yang bisa saya kirim setiap bulannya ke kampung mana cukup buat bayar hutang dan biaya hidup namun saya terima dengan bahagia. Menetes air mata saya sambil memegang tiga lembar uang 30 dolar.

“Ya Allah, ini uang meski kecil semoga jadi berkah dan manfaat. Ini hasil tetes keringat saya bekerja sebulan. Ini uang halal, ini uang lebih berharga dari segalanya. Semoga sesampainya di tangan ibu di rumah bisa menjajdi sumber kebahagiaan dan barokah.”

Ketika mengirim uang di pengiriman uang yang sudah terkenal di Ang Mo Kio, uang 30 dolar itu harus dipotong lagi biaya pengiriman sebesar $SGD 5. Yah, berarti hanya 25 dolar saja yang akan sampai ke tangan ibu. Batin saya menangis dan menjerit lagi. Maafkan anakmu ini Bu, kerja jauh-jauh mengorbankan segalanya ternyata hanya bisa memberi sebesar Rp. 100 ribu saja.

Padahal anak tetangga di kampung yang bekerja di Tegallega Bandung (tidak jauh dari Cianjur) bisa bawa uang jutaan rupiah setiap minggu.

13 thoughts on “Duka Gaji Pertama”

    • Saya sudah pulang Mbak…
      saat itu saya kerja 1 kali kontrak saja. Tidak kuat sih tapi saya paksakan.
      tahun 2002 saya pulang. selanjutnya saya cari peruntungan lain ke Hong Kong dan Taiwan
      alhamdulillah sekarang saya sudah lebih baik. Terimakasih 🙂

      Reply

Leave a Comment

Verified by ExactMetrics