Pelajaran dari Pilih-pilih Teman

Pernahkah kamu belajar dari orang yang justru sebenarnya tidak kamu sukai? Hikmahnya apa?

Saya pernah. Meski ini bagian dari masa masa ABG alias masa dimana emosi masih menguasai diri, belum bisa berpikir jernih apalagi menggunakan nalar akal dan pikiran.

Jadi ceritanya saat usia sekitar 15 tahun, diantara teman-teman saat sekolah dan mengaji itu biasa lah ya suka ada yang namanya teman baru. Teman yang kami anggap anak kota karena memang dia pindahan dari kota Bandung ke perbatasan Kabupaten Garut dan Tasikmalaya.

Selayaknya anak kota zaman itu, kebiasaan serta sifatnya yang tidak pantas diterapkan di lingkungan tempat kami tinggal kami anggap berlebihan. Anak itu menurut kami sok tahu dan songong. Tidak bisa menyesuaikan diri dengan kondisi kampung yang serba sederhana dan terbatas.

Tapi meski begitu kami tetap berteman. Saat hendak berangkat sekolah kami berangkat jalan kaki sama-sama dari kampung menuju jalan raya dimana angkutan pedesaan bisa kami tumpangi. Jarak 1 km berjalan itu tidak terasa melelahkan karena kami lalui sambil ngobrol, sambil mendengar cerita dia si anak kota. Hampir demikian setiap hari, pulang dan pergi. Kecuali kalau hujan, dia si anak kota biasanya diantar jemput oleh sepeda motor saudaranya.

Saat sore tiba, kami datang ke rumah neneknya si anak kota. Mengajak mengaji bersama. Awalnya si anak kota tidak pernah ikut. Mungkin malas, tidak biasa dengan kebiasaan anak desa dimana setiap sore menjelang magrib sampai beres isya menghabiskan waktu di pengajian. Tapi lama-lama dia mau juga. Meski di madrasah tempat kami mengaji, kesombongan serta sifat-sifat bawaannya dari kota tidak hilang juga.

Perlahan teman-teman banyak yang malas bermain sama dia. Termasuk aku. Iyalah rasanya capek harus berpura-pura terus di hadapan dia. Berpura-pura kalau kami ini anak kampung yang bodoh, yang tidak tahu perkembangan di luar, di hadapan dia seolah kami ini anak desa yang tertinggal zaman.

Oke kami memang anak kampung, tapi kami tidak kampungan. Kami memang tidak punya mainan kota seperti ninetendo, gimbot, atau apalah istilahnya karena kami memang merasa tidak memerlukannya. Ada uang kami lebih memilih membeli kitab Safinah, Jurumiah, Tijan, Sulam Taufik dan sebagainya yang memang kami perlukan.

Perbedaan kami dan dia si anak kota itu membuat kami seolah punya batasan dalam berteman. Lama-lama kami tidak lagi berjalan bersama saat mau berangkat sekolah. Kami tidak lagi mampir ke rumah neneknya untuk mengajak dia mengaji bersama. Kami tidak sejalan. Kami berbeda. Dunia kami antara anak kampung dan anak kota jelas berbeda.

Sampai menjelang kelas tiga saya kebetulan satu-satunya anak kampung yang satu kelas dengan dia di sekolah. Anak kampung lainnya justru beda kelas. Ini mau tidak mau membuat saya harus mengenalinya lagi. Apalagi ketika kerja kelompok karena tahu kami satu kampung, guru sering menjadikan saya dan dia si anak kota sebagai satu kelompok.

Selama satu tahun itu, saya yang awalnya malas jumpa dia tiba-tiba dipaksa harus bersama. Harus belajar bareng, harus diskusi dan melakukan banyak hal bersama-sama. Hingga hal-hal terkecil akhirnya sering kami lakukan bersama.

Dari sana saya mulai mengenal dia si anak kota lebih jauh. Meski dia bersifat modern tapi saya jadi tahu kalau hatinya sangat baik. Justru selama saya bisa bareng dengannya, saya jadi ikut belajar banyak tentang bagaimana cara sistem belajar dia, yang katanya itu sudah biasa dia lakukan di kota.

Yang tidak saya sangka sama sekali, ternyata justru dia si anak kota diam-diam menikmati kebiasaan anak-anak desa yang selama ini seolah tidak dipedulikannya.

“Kamu tahu, kenapa aku pindah ke kampung dan sekolah disini? Bukan karena orang tuaku tidak mampu lagi, tapi aku memilih di sini supaya aku bisa terhindar dari pergaulan bebas serta hidup urakan di kota. Sekarang aku betah. Aku sudah bisa dan terbiasa hidup dengan lingkungan pedesaan yang sebelumnya sulit aku pahami.”

Saya hanya bisa bengong saat itu. Dalam hati tidak menyangka kalau dia si anak kota yang awalnya kami hindari sebenarnya punya hati yang jujur dan bersih.

Saya saat itu langsung minta maaf kepadanya. Saya sudah salah sangka. Sudah menghindari hanya karena merasa tidak suka dengan sikapnya yang kekota-kotaan. Entah deh kalau zaman sekarang bisa-bisa ujungnya kami saling jatuh cinta kaya kisah anak sekolahan di serial tv gitu kali ya. Hehehe. Tapi menurut saya saat itu persahabatan kami murni tanpa dikotori pikiran macam-macam. Sampai kami lulus dan berpisah.

Sampai sekarang kami belum berjumpa lagi. Hanya kabar dari media sosial kalau sekarang dia sudah berkeluarga dan tinggal di luar Jawa. Dari sikap dan tingkah lakunya, sampai gaya hidup dia sekarang dan keluarganya dia memang telah berubah.

Sebuah pelajaran hidup yang bisa saya ambil, bagaimanapun kondisi dia, teman saya baik dan buruk (yang terlihat) kita tidak boleh berburuk sangka apalagi membuat penilaian tanpa bukti. Maafkan saya ya, sahabat…

19 thoughts on “Pelajaran dari Pilih-pilih Teman”

  1. Hiduup penduduk desa..malah emang enak hidup di desa waktunterasa lambat hehe..aku blm pernah sih benci orang trus harus blajar dr dia..pernah si ada justru orang itu yg bully aku eh pas di sma ketemu lg dia berubah nice

    Reply
  2. Memang kita harus pilih-pilih teman kok mbak, mau orang kota atau desa, bisa aja keduanya sepele sama kita, kalau menebar ke negatif an terus kan males

    Reply
  3. Sebagai anak yg sejak SD sampai gede tinggal di desa sy mrs sekali jd anak kota spt cerita diatas. Bukan anak kota sih sbnrnya saya. Cm ortu sy bkn penduduk asli desa tsb dan sy kurang bs bergaul dg anak desa krn kalai mrk main agak kasar. Pergaulan didesa dan kota dkt sy sih sbnrnya lbh enak dikota, mrk lbh tenggang rasa. Di desa it anak2nya pada serem semua menurutku. Mkny dulu di SD sy pendiam krn mrk nganggap ak sombong. Pdhl ak g suka dg pola pikir mrk yg negatif thinking duluan sm ak yg seolah g mau menerima mrk. Ah, malah curhat. Haha

    Reply
  4. Aku gak pilih-pilih dalam berteman. Tapi kalo emang si teman ini sudah terlalu menebarkan aura negatif, aku pasti menjauh. Yaaa intinya liat situasi dan kondisi juga ya teh..

    Reply
  5. Teh, temennya berarti lugu banget ya, sampai pengen melarikan diri dari kehidupan di kota supaya terjaga perilakunya…. Mungkin itu cara Alloh supaya teteh bisa re-framing ke sosok anak kota itu, dibuat sekelas dan sekelompok tugas.

    Reply
  6. aku juga pernah nih ngerasain gap-gapan anak kota dan anak desa di lingkungan pertemanan hehe tapi kalo aku cuek sih, apalagi kayak jaman sekarang anak desa bisa lebih update tentang informasi terkini daripada anak kota hehe, justru jadi “anak desa” malah memotivasi supaya bisa lebih maju dari mereka yang berasal dari kota hehe

    Reply
  7. Mungkin si anak kota awalnya juga kesulitan beradaptasi dengan lingkungan barunya jd kesannya jd agak2 gmn gtu kali ya mbak? Tapi setelah kenal ternyata orgnya baik kan… .

    Reply
  8. Ahh bener banget ini mbak. Aku dulu juga pernah di posisi ini. Mainnya cuma kalo sama temen yang “sepemikiran”. Mungkin semua cewek juga pernah mengalami pilih2 teman juga dalam pertemanan. Kalo soal anak kota anak desa, sekarang terpukul rata, soalnya akses internet semakin mudah diakses. Info jg semakin banyak.

    Reply
  9. Boleh kok pilih-pilih teman, asal yang memang bisa dijadikan teman. Kriterianya apa? Relatif. Masing-masing orang punya pendapat. Hal lain yang penting adalah jangan mudah menjudge seseorang, yang berawal dari pikiran kita sendiri ^^

    Reply
  10. Anak kota anak desa, hehe, aku termasukny anak desa, teman2 sepermainan yg anak desa justru banyak yang kekota-kotaan, dan aku suka dijauhi krn gaya hidupnya gk sama. Kalo aku dulu, dr pd beli gimboat atau sepatu berlampu, ya mending beli buku tulis atau pulpen buat sekolah. Itu jg aku mesti kerja dulu jadi buruh di ladang. Ah, jd mengenang masa lalu. Haha.

    Reply

Leave a Comment

Verified by ExactMetrics