Saya tahu suami dan anak kecewa pas mau makan, nasinya agak lembek kaya berair. Tapi mau gimana lagi daripada perut nanti kelaparan dan nasinya jadi mubadzir?
“Ini beras yang kita giling kemarin itu, ya?”
“Iya. Ini beras Bromo hasil bagi panen musim ini.”
“Masa tanam nanti coba kita bicarakan sama panyawah biar cari bibit lain yang lebih bagus. Ini kalau tahu begini kemarin mending dijual semua saja ya?”
Saya hanya mengangguk. Gak begitu tahu banyak soal benih padi dan perintilannya. Tahu jenis padi Bromo saja setelah dibilangin tetangga ketika melihat kami sedang menjemurnya di halaman pabrik penggilingan. Tetangga bilang jenis Bromo mah kurang bagus, berasnya pecah-pecah, nasi nya jadi kurang pulen.
Selama ini saya beras biasa beli di pasar. Jadi gak pernah merasakan komplen apa-apa karena emang beli beras harga standar, hasilnya lumayan pulen.
Kali ini aja mendapatkan beras pembagian hasil panen dari sawah yang kami gadai. Dan hasilnya ternyata tidak maksimal. Waktu dipanen memang belum kuning maksimal karena takut keburu masuk bulan Ramadan. Sebagian malah masih ada yang hijau tapi ya tetap dipanen. Daripada, nanggung nanti Ramadan saat puasa harus mengerjakannya.
Kebanyakan petani di kampung menghindari melakukan pekerjaan di sawah saat Ramadan. Ya biar ibadah puasa gak terganggu saja.
Sebenarnya tahun lalu juga sudah pernah sekali panen, masih dari sawah yang sama. Tapi saat itu kena serangan hama tikus. Dari lima petak sawah yang biasanya bisa menghasilkan satu ton setengah, hanya bisa terkumpul sekitar 700 kintal gabah saja. Merugi memang. Tapi daripada hangus sama sekali. Kala itu jenis padinya Sriwedari.
Terbayang rumitnya jadi petani kalau gagal panen seperti itu. Kami saja yang bukan petani dan tidak terjun langsung ke sawah udah merasa banyak khawatir dan kecewa. Dipikirin terus bisa stress dan jadi tekanan. Gak dipikirkan ya sayang banget kalau terus merugi. Bisa-bisa sering bolak-balik ke dokter buat cek kesehatan mental dan konsultasi psikiater.
Menggadai sawah di kampung memang untung-untungan. Hasil panen yang diimpikan tidak bisa diprediksi. Kalau boleh curhat, selama beberapa kali menggadai sawah belum ada satu pun yang memuaskan. Mulai kena tipu, kena hama, kena rugi, banyak banget deh drama dan fenomenanya.
Tidak sedikit bikin makan hati dan berujung percekcokan. Bikin sakit hati lah. Hanya saja sampai tidak berantem apalagi ngajak gelut. Saya dan suami memilih mengalah dan menyerahkan kepada pihak pemilik lahan untuk bisa membawanya dunia dan akhirat kalau memang sama sekali tidak bisa diselesaikan secara kekeluargaan.
Dipikir lagi dari sekian banyak proses akad gadai sawah yang kami jalankan mungkin kali ini yang terbilang lumayan. Merugi hanya karena faktor alam, bukan human eror seperti pengalaman sebelumnya.
Kalau sebelum-sebelumnya bisa dibilang lebih tragis. Ada yang ngajak akad, ternyata sawah yang digadai bukan sawah miliknya, melainkan sawah pemerintah desa. Jadi boro-boro bisa bagi hasil, yang ada kami kesulitan menagih uang kembali. Sampai dicicil hingga tahunan, melibatkan keluarga dan memberikan tekanan melalui tempat mereka si suami istri itu bekerja supaya bisa mengembalikan uang kami.
Sampai uang semuanya berhasil kami ambil, hubungan kami jadi kurang baik. Jarang membalas sapaan kami kalau bertemu. Mungkin mereka marah dan malu kasusnya kami angkat ke muka umum. Padahal seharusnya kami yang harus marah, mereka yang sudah jelas-jelas menipu kami. Menggunakan aset negara buat kepentingan pribadi didukung RT dan Kades. Gak mikir memang…
Jadi bisa dibilang proses akad kali ini jauh lebih baik. Kali saja hasilnya kurang bagus, mungkin tinggal komunikasi lagi yang intens supaya bisa didiskusikan mencari bibit padi yang baik, mendapatkan pupuk yang bagus dan sesuai, termasuk pengairan dan perawatan yang maksimal.
Saya tidak ingin anak dan suami makan nasi yang kurang bagus meski itu gratis hasil panen akadan gadai. Kalau masih bisa diupayakan hasil lebih baik, kenapa tidak?
Di tempat saya juga ada perihal gadai sawah teh, tapi kurang tahu gimana tata caranya karena belum ada pengalaman langsung, selain gadai disekitar sini juga banyak yang garap dengan sistem bagi hasil dengan si tuan sawah
semoga ada jalan terbaik untuk hasil nasi yg baik untuk dikonsumsi ya teh. Kenapa ya yg kayak gini masih ada teh. Sedih. Belum ada satu pun yg memuaskan, ya Allah smoga Allah ganti dari arah yg lain ya teh. Lihat sawah jadi pengin main ke sawah
Aku sampai baca dua kali untuk memastikan posisi keluarga teh okti, sebagai penggarap atau penggadai. Di awal tulisan, aku nangkepnya pak suami yang menggadaikan lahan, jadi dapat bagi hasil. Namun, di akhir2 tulisan, terutama yg tanah milik desa, kok aku nangkepnya teh okti yang menggarap?
Haha, apa lagi lambat loading ya ini…eta terangkanlah hehehe
Kami tidak memiliki lahan sawah Mbak. Dan tidak punya kemampuan mengerjakan pekerjaan petani. Semua dikerjakan pemilik sawah, dan kami terima hasil secara bersih setelah dipotong biaya benih, pupuk, tukang, dll
Tapi memang sih bulan Ramadan kali ini tuh panasnya gak ada lawan sih. Panas banget sungguh, jadilah di rumah aja gak mau keluar-keluar. Terus ya aku baru tau dengan fenomena gadai sawai.
Sedih memang ketika perangkat desa menggunakan jabatannya dengan sembrono, bukannya berpihak sama penduduk, malah seringnya nggendutin kantong sendiri. udah jadi rahasia umum :(.
baru tahu ternyata ada sistem gadai sawah, tapi harus hati hati juga ya, kalau dapat sawah yang berkasus, apalagi kalau sudah melibatkan perangkat desa yang bermain.
Kalau di kampung yg masih banyak lahan sawah, gadai sawah sudah terbiasa dan memang ada bab aturannya dalam hukum Islam juga
Mamak mertua juga sawahnya disewakan dan bagi hasil panenya, sayang ya pernah banjir dan itu gagal panen. Semoga Teh Okti ke depan bisa berhasil panen yang bagus.
Iya, kalau bisa pilih benih yang lebih baik kenapa tidak ya teh
Kalau mertua aku, sawahnya di gadaikan ke saudara jadi lumayan lancar g banyak makan hati, hehe
di tempatku juga masih ada kegiatan gadai sawah ini, mbak. Tapi biasanya gadainya dipercayakan kepada orang terdekat gitu loh, yang masih saudara. Jadi biar sama-sama tahu dan mantau bagaimana perkembangan sawahnya
Emang kadang kalau makan nasi yang agak lembek tuh gimanaaa gitu
Sedih memang jadi petani kadang sudah perhitungan kalo panen mau beli ini, itu, tapi kemudian alam berkata lain…kecewa tapi tak bisa berbuat apa-apa
Gadai menggadai sawah memang kerap terjadi. Di desa saya juga banyak. Yang penting jelas akadnya, dan itu sawahnya sendiri yang digadai. Bukan sawah milik desa atau orang lain.
Iya bener teh,, Menggadai sawah di kampung memang untung2an tergantung. Hasil panen tidak bisa diprediksiya..
Kakakku punya sawah di cirebon juga yg ngolah orang lain, kadang bagus kadang gak hasilnya
Di benakku, konsep gadai sawah ini adalah kita menyerahkan sawah dan kita mendapatkan uang serta hasil. Etapi, gimana sama pihak yang menerima gadai ya…
Hihih…aga lola mikirnya.
Tapi semoga sawah-sawah yang ada hamanya bisa segera ditemukan jalan keluarnya. Karena yang namanya gagal panen ini pastinya bikin sedih karena berkurangnya penghasilan.
Semoga kedepannya berjalan lancar ya, Mba. Beras Bromo memang kurang bagus, semoga petaninya juga bisa pilih benih yang lebih bagus. Entah itu, karena hama atau faktor cuaca, benih yang bagus, pasti berasnya juga bagus.
Duh…beneran bikin enggak nyaman proses gadai sawahnya, ya. Apalagi sampai membuat hubungan enggak baik.
Beneran banyak belajar dari fenomena ini.