Kejadulan yang Ngangenin

Kejadulan yang Ngangenin

 

 

Benar kata orang, bahagia banget jadi generasi yang lahir di tahun 80-90an. Karena saat itu maih transisi dari berbagai generasi dan jaman. Jaman peralihan teknologi, sinyal, pulsa dan internet sudah ada tapi belum merata. Itu pun di kota.

Kami yang di kampung cukup menikmati semuanya dengan kesederhanaan saja. Tapi sungguh meski begitu saya teramat bahagia. Alhamdulillah.

Kini 40 tahun sudah usia saya, masuk di group kenangan tahun 80-90an banyak banget hal-hal yang bisa mengingatkan kenangan masa silam. Khusus nya masa kecil yang indah, tidak akan terlupakan.

Berikut gambar dari group 80-90an yang membangkitkan kenangan saya:

1. Korek api

Jaman saya kecil, belum ada kompor gas di kampung. Orang terkaya di desa saja paling banter punya kompor minyak tanah, merek hook. Apinya biru. Bersih. Kami di rumah cukup pakai hawu saja, alias perapian dengan bahan bakar kayu bakar.

Korek api ini jadi salah satu kebutuhan primer. Ya ga ada korek api mau gimana bisa nyalain apinya? Sejak kecil saya sudah terbiasa ngahurungkeun seuneu (menyalakan api) supaya korek api irit, saya disuruh mamah membakar dulu kertas, kararas (daun pisang kering), atau barangbang (daun kelapa kering).

Supaya api bertahan hidup saya tiup menggunakan song-song. Semacam bambu sepanjang 30cm. Kenangan terindah saat ini jika membayangkan saat itu asap menggulung saya hingga menangis. Perih. Tapi pastinya lebih perih mereka yang sekarang sedang mengalami kabut asap di sana.

Nah, korek api yang tidak tahu apa mereknya itu, kalau sudah habis, bungkusnya saya simpan. Koleksi kali ya kalau istilahnya sekarang mah. Bukan hanya gambarnya bagus. Tapi juga senang karena balok balok itu bisa buat bahan mainan lain juga. Ada yang ngalamin seperti saya?

 

2. Patromax

Hidup di kampung sebelum listrik masuk desa itu pernah saya alami juga. Sampai listrik masuk desa tapi keluarga saya tidak mampu bayar biaya pemasangan nya.

Supaya bisa terang, kami “nyolok” listrik kepada orang kaya. Bayar ke mereka setiap bulan. Hanya tidak bebas. Menggunakan bohlam lampu 5 watt yang jika menyala merah warnanya pada jam tertentu saja. Siang malah colokannya dicabut pemilik.

Lama-lama keluarga tidak nyaman. Sepulang kakek, bapak dan paman merantau mereka patungan beli patromax. Lampu dengan bahan bakar spirtus yang menggunakan “kaos”.

Saya sangat suka kalau kakek atau bapak mau menyalakan lampu patromax. Selain harus dipompa dulu, dan saya suka momen itu, juga cahayanya yang putih jelas lebih terang daripada lampu 5 watt itu. Kaya lampu neon saat ini. Lebih terang malah.

Sayangnya tidak bisa setiap malam juga menyalakan patromax. Selain biar hemat, juga perempuan ga bisa menyalakan. Hahaha… Padahal kalau mau dan berani sih pasti bisa. Lah sekarang saja saya biasa ganti air galon dispenser sama pasang tabung gas sendiri kok. Saat itu pasang lampu patromax kalau kakek atau bapak ada di rumah saja. Kalau sedang merantau kerja, patromax ya tidak nyala.

Setelah menikah dan tinggal di Cianjur Selatan, tidak menyangka di rumah mertua masih ada patromax! Kondisi listrik yang sering mati membuat patromax jadi penerangan utama untuk anak-anak mengaji di rumah.

 

3. Penghapus

Ini kenangan jaman SD di Gatot Subroto Bandung. Membeli penghapus ini bukan buat dipakai, karena kalau dipakai pun hasilnya jelek. Kertas jadi hitam dan bahkan kertas bisa sobek.

Saat itu anak-anak beli penghapus ini karena suka dengan wanginya saja. Hahaha… Jangan-jangan sejenis permen narkoba jaman sekarang ya? Hihihi entahlah…

 

4. Permen karet Yosan

Kalau permen karet ini saya ingat biasa beli di Mang Encang, Jalan Gumuruh. Masih di Bandung, yang sekarang jadi Jalan Terusan Martanegara. Dari belum bisa mengunyah permen karet (pernah tertelan beberapa kali) sampai mahir bisa meniup gelembung seperti balon bak tokoh Lupus dalam serial jaman itu, wah saya terus ketagihan. Bisa lima biji sekaligus sekali kunyah.

 

5. Bulu Tangkis

Namanya juga jaman dulu. Ide dan kreasi sudah ada, cuma kendala ada di biaya. Sama sih sekarang juga hehehe cuma kalau sekarang udah kerja, alat ada dan banyak yang menyediakan. Jadi tinggal maunya dan beli aja. Jaman dulu? Boro-boro…

Hebohnya Alan Budi Kusuma dan Susy Susanti jadi juara dunia bikin badminton alias bulu tangkis jadi olahraga favorit. Banyak anak muda mau belajar. Anak di kampung kami termasuk juga. Hanya boro-boro beli raket, beli baju sekolah saja satu setel saja dipakai sampai tidak muat. Uang susah, bagi kami di desa.

Solusinya? Bikin raket sendiri dari triplek. Sementara kok nya minta dari kakaknya teman yang sudah merantau ke kota. Konon itu kok yang menurut kami cukup bagus dapat mungut dari gor di kota.

 

6. Kertas Surat

Hahaha langsung bayangan sang mantan pada keluar deh. Secara kertas surat jaman itu identik dengan pemberian dari orang yang mencintai dan dicintai. Meski saat itu cintanya banyak cinta monyet.

Saya sendiri beli kertas surat begitu malah dikoleksi. Sayang kalau ditulisi. Masih ingat saja dengan Deris, teman di Bandung yang suka barengan beli kertas surat dari Toko Kapuas di depan lokasi Trans Studio Mall sekarang. Iya, dulu kan di daerah Binong Maleer itu kami sekolah.

 

 

7. Boneka Kertas

Kami nyebutnya bepe. Saat itu kami belum mengenal boneka barbie. Kalaupun ada kami gak mungkin membeli. Jadi mainan tokoh putri perempuan yang bisa dimiliki ya boneka kertas alias bepe.

 

 

Masih banyak lagi barang jadul kenangan yang mengingatkan saya kepada masa kecil di tahun 80-90 an. Permainan tradisional, permainan jadul koleksi barang-barang, semuanya memiliki cerita tersendiri.

Semoga sampai usia berakhir, akan ada banyak momen bahagi yang sekaligus bermanfaat menjalaninya. Amin.

2 thoughts on “Kejadulan yang Ngangenin”

Leave a Comment

Verified by ExactMetrics